Oleh Riwanto Tirtosudarmo
Muhamad Hisyam adalah sejarawan LIPI yang menekuni Sejarah Islam. Beliau wafat hari Minggu pagi, 18 Juli 2021 karena tertular Covid-19. Kepergiannya merupakan kehilangan yang besar bagi dunia ilmu sosial Indonesia dan pengkaji Sejarah Islam. Tesis doktor yang diselesaikannya di Universitas Leiden, Belanda tahun 2000 mengupas peran penghulu di Jawa pada Zaman Kolonial. Tesis itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh INIS, Jakarta–Leiden pada tahun 2001 dengan judul Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu under the Dutch Colonial Administration 1882– 1942. Kajiannya yang didasarkan pada pembacaan arsip-arsip Belanda itu memperlihatkan krusialnya posisi penghulu pada masa itu, karena selain mengemban tugas sebagai birokrat yang diberi kewenangan administrasi mengurus soal keagamaan, penghulu juga adalah seorang pemimpin umat Islam.
Periode pengkajiannya yang berhenti persis sebelum pendudukan tentara Jepang di Indonesia yang berlangsung cukup singkat itu (1942-1945) menjadi pendahulu kajian Harry J. Benda tentang Islam di Zaman Jepang, yang kemudian terbit sebagai buku The Cresent and Rising Sun: Indonesian Islam under Japanese Occupation, 1942-1945. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1958 oleh penerbit W. Van Hoeve, Bandung. Studi yang dilakukan oleh Muhamad Hisyam dan Harry J. Benda merupakan studi yang penting tentang hubungan Islam dan negara, yang hingga hari ini masih menjadi persoalan yang terus perlu dikaji. Dr. Muhammad Hisyam, yang telah dikukuhkan sebagai profesor riset pada 18 September 2012 setelah memberikan orasi ilmiah yang berjudul “Dinamika Pelaksanaan Syariah Islam di Indonesia”, adalah seorang peneliti yang telah menunjukkan komitmen akademiknya untuk terus menekuni hubungan antara Islam dan negara.
Profesor Muhammad Hisyam, yang biasa kami panggil Mas Hisyam di antara kolega peneliti di LIPI, adalah seorang yang selalu membawa rasa teduh, meskipun kadang-kadang, bagi yang mengenalnya dari dekat, mengeluarkan guyonan lucu yang bisa mengejutkan. Ketika mendengar beliau sakit beberapa waktu lalu karena tertular Covid saya mengirim pesan singkat menanyakan keadaannya.Pesan singkat saya tidak dibalas dan saya merasa ada yang tidak pada tempatnya karena biasanya dia selalu membalas pesan singkat saya meskipun sekedar untuk “say hello”. Ketika Dedi Adhuri, salah satu kolega LIPI, kemudian memberitahu kalau Mas Hisyam mangkat, sesuatu yang saya rasakan tidak pada tempatnya itu menjadi jelas duduk perkaranya. Mangkatnya Mas Hisyam menambah panjang korban Covid yang susul menyusul dalam pekan-pekan terakhir ini. Di kampung saya di Rawamangun, Jakarta Timur hampir setiap hari ada pengumuman dari Masjid tentang warga yang meninggal. Keadaannya memang kritis karena kita semakin terkepung oleh wabah yang mematikan ini. Teman dan saudara dekat kita semakin banyak yang tertular, sebagian melakukan isolasi mandiri, sebagian di rumah sakit, dan sebagian meninggal. Mangkatnya Mas Hisyam sahabat dekat kita menambah besarnya rasa kehilangan itu.
Saya tidak mungkin melewatkan momen mangkatnya Mas Hisyam begitu saja. Meskipun di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI saya tidak pernah satu tim penelitian bersama Mas Hisyam, tapi hubungan kami dekat. Saya menghormati beliau karena kesantunan dan kesabarannya yang bagi saya mengagumkan. Saya hampir tidak pernah melihat Mas Hisyam emosi atau marah. Kehadirannya selalu membawa kesejukan, dia bisa mengatasi persoalan yang bagi saya sudah menjengkelkan atau menyebalkan dan menurut saya ditinggalkan saja. Namun, Mas Hisyam dengan caranya selalu bisa mencari jalan yang aman dan damai.
Saya menjadi dekat karena Mas Hisyam adalah orang yang seharusnya menjadi Kapus—yang kemudian jabatan tersebut terpaksa saya duduki—ketika pada tahun 1998 Pak Hilman Adil sakit dan menjelang pensiun dan memerlukan pengganti. Mas Hisyam saat itu masih menyelesaikan penulisan tesis doktornya di Universitas Leiden, Belanda. Pak Ardjuno Brodjonegoro, Deputi Ketua LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK) saat itu, meminta saya menggantikan Pak Hilman Adil sebagai Kapus PMB. Setelah Mas Hisyam pulang dari Belanda, saya merasa lega karena Kapus PMB yang sedang ditunggu-tunggu telah tiba. Saya tidak saja bertukar peran dengan Mas Hisyam sebagai Kapus, tetapi juga bertukar kamar kerja. Mas Hisyam dengan baik hati menawari kamarnya di Lantai 9 Gedung Widya Graha LIPI untuk saya, dan dia pindah ke ruang kapus di Lantai 6. Sebagai pemimpin lokal Mas Hisyam berhasil melanjutkan apa yang telah menjadi tradisi di PMB, antara lain perhatiannya yang besar pada penelitian agama dan kebudayaan pada umumnya.
Tesis doktornya tentang penghulu di Zaman Kolonial yang dibimbing oleh sejarawan terkenal, Profesor Cornelis van Dijk, penulis buku tentang Darul Islam, membuktikan kualitas Mas Hisyam sebagai akademisi mumpuni dalam studi Islam. Saya beruntung menghadiri sidang promosi doktornya di Universitas Leiden, sekitar tahun 2000. Sebelum sidang dimulai saya kebetulan bertemu dengan Dijk van der Meij yang akan mendampingi Mas Hisyam saat diuji secara oral itu. Dijk memberitahu saya, dengan gaya lucu, kalau dia telah memberi tahu para profesor yang akan menguji supaya berteriak kalau mengajukan pertanyaan karena pendengaran Mas Hisyam bermasalah. Ujian itu berjalan lancar dan diakhiri makan bersama diiringi klenengan, dan saya melihat Mas Hisyam menari dengan sampur berduet dengan promotornya, van Dijk. Belakangan saya diberitahu masalah pendengaran itu disebabkan oleh penggunaan electric heater yang konon berdengung bunyinya.
Sebagai Kapus PMB yang cukup lama memimpin (2001-2008), Mas Hisyam cukup kenyang makan asam garam kehidupan lembaga penelitian pemerintah. Ketekunan dan kesabarannya juga tercermin dalam menghadapi keragaman gaya dan kepribadian para peneliti, senior maupun junior, dan staf administrasi yang dibawahinya. Ketekunan dan ketelitian dalam menulis merupakan kualitas tersendiri yang dimilikinya. Berbagai penulisan laporan penelitian dikerjakannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Pandangan bahwa Mas Hisyam adalah seorang yang akan menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dalam penglihatan saya tidak jarang sebetulnya telah membuat pekerjaannya melampaui batas-batas kemampuan yang dimilikinya. Ketika LIPI mendapatkan sebuah proyek pesanan dari Bappenas tentang sebuah topik penelitian yang menurut saya tidak begitu jelas tujuannya, orang seperti Mas Hisyam seperti terpaksa harus ikut mengerjakannya semata karena ada instruksi dari atas. Proyek pesanan itu disebut sebagai penelitian tentang Global Village yang terus terang sampai sekarang tidak tahu telah menghasilkan apa. Proyek itu adalah proyek besar karena pengumpulan datanya dilakukan tidak saja di Indonesia tetapi juga di Australia, Jepang, dan Belanda, dan melibatkan tidak sedikit peneliti. Dalam proyek itu, Mas Hisyam termasuk diserahi tugas yang cukup penting dan terlihat merupakan peneliti senior yang sibuk.
Mungkin karena dananya cukup banyak dari proyek Global Village itu sampai-sampai ada alokasi dana yang diperuntukkan bagi sebuah sub-proyek khusus penulisan buku bagi lima peneliti senior di PMB-LIPI yang sebentar lagi pensiun—saya dan Mas Hisyam termasuk di dalamnya. Sebagai orang yang sejak awal skeptis dengan proyek penelitian yang bernama Global Village itu, saya sebetulnya enggan terlibat dalam proyek penulisan itu. Namun, karena honorarium telah saya terima, saya terpaksa harus ikut dalam proyek itu. Memang terbukti kemudian saya orang yang paling lama menyerahkan pekerjaan penulisan itu. Saya merasa harus menyelesaikan tulisan setelah dua kolega dari lima pensiunan itu meninggal karena sakit. Karena besarnya rasa tanggung jawab, koordinasi pengeditan tulisan diambil alih oleh Mas Hisyam, dan berita terakhir yang saya peroleh dari Mas Hisyam adalah naskah itu sedang dalam proses review di penerbit Kompas Gramedia. Tidak disangka Mas Hisyam wafat, dan saya tidak tahu buku itu kapan akan terbit. Tiga dari lima para penulis buku itu telah mangkat.
Mengenang Mas Hisyam berarti tidak sekedar mengenang seorang sahabat yang sepanjang hidupnya mencerminkan kedamaian dan keteduhan, tetapi juga seorang pakar Sejarah Islam yang rendah hati. Sebagai seorang yang mendalami Sejarah Islam dan memahami dinamika hubungan antara negara dan Islam, Mas Hisyam memiliki kapasitas pengetahuan yang mencukupi untuk berbicara di ruang publik tentang sebuah isu yang menjadi semakin krusial karena ketegangan-ketegangan yang muncul terkait dengan isu radikalisasi, terorisme, dan politik identitas pada umumnya. Buku yang ditulis bersama tim penelitiannya yang berjudul Islam dan Radikalisme di Indonesia (LIPI Press, 2004) termasuk yang laris di pasaran, mungkin karena topiknya yang aktual. Sebagai peneliti Sejarah Islam, kepakaran Mas Hisyam tidak perlu diragukan lagi. Sifatnya yang rendah hati membuatnya tidak ingin menonjolkan diri meskipun kita tahu persoalan agama dan negara yang menjadi keahliannya bisa menjadikannya intelektual publik yang akan dikenal luas. Oleh karena itu, kepergian Mas Hisyam tentu merupakan kehilangan besar bagi kalangan pengkaji agama dan kebudayaan yang tentu masih membutuhkan kepakarannya.
Selamat jalan Mas Hisyam. Selamat menyongsong keteduhan dan kedamaian yang abadi.
________________________________
Tulisan ini dimuat pertama kali di jmb.lipi.go.id untuk mengenang berpulangnya Prof. Dr. Muhamad Hisyam
________________________________
Diunggah oleh
