[Masyarakat dan Budaya: Volume 12, Nomor 23, 2 Desember 2020]

Oleh Satwiko Budiono (Peneliti bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)

Indonesia memiliki kekayaan dan keberagaman warisan budaya dan bahasa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementeian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) mencatat ada 718 bahasa yang terindentifikasi. Jumlah tersebut membuat Indonesia menduduki peringkat kedua dengan bahasa daerah terbanyak di dunia (Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig, 2019). Adanya kondisi demikian, pemerintah selalu berupaya menjaga kekayaan negara dengan cara melakukan pelindungan bahasa daerah. Upaya pelindungan bahasa daerah tertuang dalam (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya Pasal 45 dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Bahkan, amanat menjaga bahasa daerah juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan. Berbagai peraturan tersebut menandakan bahwa bahasa daerah sangat penting untuk dilindungi sebagai salah satu kekayaan negara takbenda.

Bahasan pelindungan bahasa ini pun menjadi menarik karena bahasa termasuk ke dalam penanda identitas dan jati diri suatu kelompok. Tanpa adanya bahasa yang berbeda, suatu kelompok dianggap sama atau bagian dari kelompok yang memiliki bahasa yang sama. Terlebih lagi, adanya program otonomi dan desentralisasi dari pemerintah membuat beberapa daerah seakan mencari pembeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dari berbagai aspek tak terkecuali dari segi bahasa demi legalitas sebuah wilayah supaya dapat berdiri sendiri sebagai sebuah desa atau tingkatan lebih tinggi lainnya. Kondisi tersebut dikuatkan lagi dengan adanya program dana desa sejak tahun 2015 sehingga beberapa daerah semakin ingin memisahkan diri dari wilayah yang kurang memiliki kesamaan dari segi budaya, termasuk bahasa. Bahkan, pembahasan identitas dan jati diri yang erat kaitannya dengan budaya dan bahasa ini menjadi pembahasan yang sensitif pula di kalangan masyarakat Indonesia.

Contoh Kasus Sensitif Perihal Bahasa Daerah di Indonesia

Salah satu contoh kasus sensitif perihal bahasa daerah di Indonesia terjadi pada adanya perdebatan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam pemberitaan media nasional tentang bahasa daerah pada tahun 2018 lalu. Perdebatan tersebut bermula pada tahun 2018 saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy menghadiri acara Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di Universitas Sebelas Maret (UNS). Dalam kesempatan tersebut, Mendikbud mengungkapkan keinginannya untuk membuat rekomendasi kebijakan terkait dengan keberagaman bahasa yang ada di Papua dan Papua Barat. Namun, pemaparan Mendikbud tersebut menuai perdebatan dengan mencuatnya wacana penyederhanaan bahasa daerah di berbagai media (Media Indonesia, 8/8/2018). Adanya perdebatan tersebut, Dadang Sunendar selaku Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) saat itu memberikan klarifikasi terhadap wacana penyederhanaan bahasa yang diwacanakan Mendikbud. Dalam klarifikasinya, Kepala Badan Bahasa meminta semua pihak tidak perlu khawatir terhadap hal tersebut karena bahasa daerah dilindungi oleh undang-undang (Tempo, 14/8/2018).

Sebenarnya, hal yang membuat khawatir masyarakat dalam hal mencuatnya penyederhanaan bahasa daerah adalah adanya dugaan penghilangan bahasa daerah yang secara tidak langsung terkait kepada aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam lamannya meluncurkan artikel tentang komitmen Kemdikbud dalam melindungi bahasa daerah (14/8/2018). Dalam upaya melindungi bahasa daerah di Indonesia dan mengatasi mencuatnya perdebatan penyederhanaan bahasa daerah yang timbul dalam pemberitaan di berbagai media nasional sebenarnya telah ada berbagai peraturan yang menaunginya. Peraturan tersebut mulai dari UU, PP, Permendagri, Permendikbud, hingga Perda pada beberapa wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menunjukkan keseriusan melindungi bahasa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional dengan adanya berbagai peraturan tentang upaya pelindungan bahasa daerah tersebut sehingga perdebatan yang muncul murni hanya kesalahpahaman awak media menanggapi pernyataan Mendikbud.

Beberapa Upaya Pembelajaran Bahasa Daerah sebagai Bagian Pelindungan Bahasa

Ramainya pemberitaan di atas memperlihatkan bahasa daerah masih sangat diperhatikan masyarakat Indonesia. Wacana penyederhanaan muncul karena banyak yang berasumsi untuk mengadakan pelajaran muatan lokal bahasa daerah di daerah yang karakteristik masyarakatnya heterogen. Jika hal tersebut terjadi, ada bahasa daerah yang dipilih dan ada pula bahasa daerah yang ditinggalkan atau dihilangkan. Padahal, pelajaran muatan lokal di sekolah bukanlah satu-satunya solusi dalam pembelajaran bahasa lokal daerah setempat jika merujuk pada upaya pelindungan bahasa. Pelajaran muatan lokal sekolah dapat dilaksanakan jika karakteristik masyarakat dalam lingkup sekolah, baik sekolah dasar atau sekolah menengah tersebut masih terbilang homogen. Akan tetapi, jika karakteristik masyarakatnya sudah heterogen atau dapat dikatakan ada lebih dari satu pengguna bahasa daerah, maka pelajaran muatan lokal di sekolah tidak dapat dilaksanakan. Kondisi tersebut membuat kekhawatiran dalam hal pemilihan bahasa apa yang diajarkan di sekolah sehingga rawan sekali terjadi konflik antarsuku nantinya. Sebelum hal buruk tersebut terjadi, masyarakat yang heterogen ini perlu masukan lain selain pelajaran muatan lokal di sekolah sebagai sarana pembelajaran bahasa daerah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, muatan lokal yang dapat berupa (1) seni budaya, (2) prakarya, pendidikan jasmani, kesehatan, dan kesehatan (PJOK), (3) bahasa, dan/atau (4) teknologi sehingga muatan lokal memang tidak harus dalam aspek bahasa saja. Bahasa daerah tidak harus masuk ke dalam pelajaran muatan lokal mengingat ada empat hal lain yang dapat dijadikan pelajaran muatan lokal. Kalau memang tidak mencapai kesepakatan atau persetujuan dari masyarakat dalam memilih satu bahasa di antara beberapa bahasa lebih baik memilih muatan lokal bidang lain. Namun, pembelajaran bahasa daerah dapat diajarkan pada tingkat ekstrakurikuler dalam bentuk seni yang memuat bahasa daerah jika tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah pelajaran. Selain itu, ada peraturan diversifikasi kurikulum satuan pendidikan yang memungkinkan pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan kurikulum konteks lokal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Selain itu, pembelajaran bahasa daerah dapat pula masuk ke dalam ranah pelestarian budaya daerah seperti yang dilakukan pamong budaya dalam sanggar budaya dari Direktorat Jendral Kebudayaan. Bahkan, pembelajaran bahasa daerah dapat pula dikembangkan melalui pembuatan lagu berbahasa daerah sehingga bahasa daerah dapat lebih populer di tengah masyarakat.

Pustaka Acuan

Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (eds.). 2020. Ethnologue: Languages of the World. Twenty-third edition. Dallas, Texas: SIL International.

Kemdikbud. (2018). Diakses pada 20 November 2020 dari https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/08/konservasi-dan-revitalisasi-komitmen-kemendikbud-dalam-pelindungan-bahasa-daerah

Media Indonesia. (2018). Diakses pada 20 November 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/177300-mendikbud-wacanakan-penyederhanaan-bahasa-daerah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia

Tempo. (2018). Diakses pada 20 November 2020 dari https://nasional.tempo.co/read/1116955/kemendikbud-jangan-khawatir-soal-penyederhanaan-bahasa-daerah/full&view=ok

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

Tentang Penulis:

Satwiko Budiono merupakan peneliti bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Latar pendidikan S-1 Sastra Indonesia dan S-2 Linguistik Peminatan Bahasa dan Kebudayaan dari Universitas Indonesia. Memiliki minat yang besar terhadap penelitian bahasa daerah di Indonesia, khususnya pemetaan bahasa (dialektologi), sosiolinguistik, leksikografi, revitalisasi bahasa, maupun bahasa terancam punah. Penulis dapat dihubungi melalui pos-el satwiko.budiono@kemdikbud.go.id