Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)

Mengenal Teknologi 5G

Teknologi 5G yang diperkirakan akan dirilis pada tahun 2020 ini diprediksi sebagai teknologi yang tidak hanya menghubungkan manusia dengan manusia tapi juga mesin dengan mesin. Berbagai negara sedang mengembangkan 5G sebut saja Amerika, Jepang, India, Australia, dan Korea Selatan. Pelaku industri telekomunikasi menyatakan bahwa eksperimen 5G akan dilakukan pada Olimpiade Musim Dingin 2018 di Korea Selatan (CNN Indonesia, 2015). Sementara itu, Nokia dan NTT Docomo menyatakan bahwa teknologi 5G akan dirilis pada Tokyo Olympics 2020 (Kompas, 2014).

Ada berbagai prediksi mengenai kecepatan teknologi 5G, mulai dari lebih cepat 40 kali, 100 kali, hingga 1.000 kali dari teknologi 4G. Untuk kecepatan 40 kali dari 4G, teknologi 5G mampu mengunduh film 3D resolusi 8.000 pixel dalam waktu 6 detik, sementara teknologi 4G membutuhkan waktu 6 menit (CNN Indonesia, 2015). Teknologi 5G Korea Selatan bahkan sedang menyiapkan implementasi jaringan nirkabel 5G dengan kecepatan 1.000 kali lebih tinggi dari 4G, yaitu sekitar 10gigabit per detik (Kompas, 2014). Dengan kecepatan itu, film berukuran 800 MB dapat diunduh kurang dari 1 detik. Sangat jauh jika dibandingkan dengan teknologi 4G yang membutuhkan 40 detik untuk mengunduh file yang sama.

Teknologi 2G 3G 4G 5G
Tahun 1990an 2000an 2010 2020

Tabel 1. Perkembangan Teknologi Internet dari Masa ke Masa

Kelebihan lain teknologi 5G dari generasi sebelumnya adalah jaringan ini jauh lebih cepat, lebih pintar, lebih hemat energi, dan dapat diaplikasikan di berbagai perangkat pintar lainnya seperti ponsel, televisi, mobil kemudi otomatis, drone otomatis, dan bidang kesehatan (CNN Indonesia, 2015). Karakteristik lainnya adalah kemampuan 5G dalam membaca perintah. Dengan kata lain, akan lebih cepat membuka situs, aplikasi, video, dan pesan.  Hal-hal yang beberapa dekade lalu dianggap fiksi ilmiah, kini sedang menuju tahap menjadi nyata.

Dengan semua teknologi 5G yang sedang dibuat prototipe dan diuji, tentu akan ada dampak pada masyarakat.  Bank Dunia menyatakan bahwa hanya 40% penduduk dunia yang memiliki akses teknologi internet (Chakhoyan, 2016). Negara-negara berkembang dianggap mendapatkan manfaat dari akses internet. Menurut temuan riset World Economic Forum, akses terhadap teknologi membantu meningkatkan kualitas hidup dan percepatan pembangunan di semua level seperti kesehatan (mHealth), pendidikan (e-learning), dan keuangan (mobile financial service) (Chakhoyan, 2016). Menurut Aicha Evans, wakil presiden direktur Intel, meskipun teknologi 5G memberikan banyak kemudahan untuk terkoneksi satu sama lain, provider dan jaringan yang kuat (Landau, 2015). Pertanyaan besarnya adalah, apakah negara berkembang khususnya Indonesia mampu mengimbangi atau tertinggal di belakang?

 

Siapa Pengguna Internet?

Sebelum berangkat pada model edukasi publik, perlu diketahui siapa pengguna internet di Indonesia. Secara garis besar, Prensky (2001) membagi pengguna internet ke dalam dua kelompok besar yaitu digital natives dan digital immigrants. Digital natives adalah generasi atau orang-orang yang lahir sebelum teknologi ditemukan. Mereka adalah penutur asli teknologi yang mampu menggunakan teknologi sama alaminya dengan bernapas (Tapscott, 2009). Sementara itu, digital immigrants adalah generasi atau orang-orang yang lahir setelah teknologi ditemukan. Mereka adalah generasi yang terpesona oleh internet sekaligus mengadopsinya dalam berbagai aspek (Prensky, 2001). Inilah yang dikatakan oleh Alan Kay, seorang visioner Komputer, bahwa teknologi adalah teknologi hanya bagi orang-orang yang dilahirkan sebelum teknologi itu ditemukan (Tapscott, 2009).

Sumber: https://c1.staticflickr.com/9/8325/8378990781_df819522a4_b.jpg

Sebagai contoh, jika digital natives membeli gawai baru, mereka langsung menggunakannya. Berbeda dengan digital immigrants yang perlu membuka buku petunjuk atau bertanya pada orang lain sebelum mengoperasikan gawai tersebut. Selain itu, ada “aksen” tertentu yang dimiliki digital immigrants yang tidak ditemukan di digital natives. Digital immigrants lebih menyukai membaca dalam bentuk cetak daripada digital dan lebih menyukai pertemuan tatap muka daripada melalui aplikasi seperti Skype.

Tapscott (2009) menyatakan bahwa “jika Anda memahami generasi internet, maka Anda akan memahami masa mendatang”. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan fokus pada model edukasi publik bagi para digital natives atau generasi internet. Generasi yang disebut juga sebagai generasi internet ini terbagi menjadi dua yaitu Generasi Y (disebut juga Millenials) dan Generasi Z. Sebenarnya ada satu generasi lagi setelah Generasi Z yaitu Generasi Alpha. Namun karena usia mereka masih sangat muda, yaitu kelahiran tahun 2010 sehingga belum banyak yang bisa dieksplorasi dari mereka.

Digital natives Generasi Y

(1980-1994)

Generasi Z

(1995-2009)

Generasi Alpha

(2010-…)

Digital immigrants Tradisionalis

(sebelum 1945)

Baby Boomer

(1946-1964)

Generasi X

(1965-1979)

Tabel 2. Pembagian Pengguna Internet

Model Edukasi Publik untuk Digital Natives

Untuk menentukan model edukasi publik, perlu diperjelas siapa audiens yang akan menerima edukasi tersebut. Apakah digital natives atau digital immigrants atau keduanya. Sebab, dua pengguna teknologi ini memiliki karakteristik yang berbeda, dengan kata lain menerima model edukasi yang berbeda. Sebagai bagian dari Millenialls, saya merasa lebih baik untuk berbicara dari sudut pandang para generasi internet.

Pada Agustus 2016, saya melakukan mini survei mengenai model edukasi internet yang sesuai dan mengena bagi para digital natives khususnya generasi Y dan Z. Sementara generasi Alpha belum dapat dieksplorasi karena usianya masih muda yaitu paling tua berusia 6 tahun. Responden adalah mahasiswa program sarjana yang berdomisili di Jakarta. Dengan jumlah responden 54 orang, data yang diperoleh dapat dilihat dalam gambar berikut:

Model Edukasi Internet Digital Natives (Sumber: Olahan data peneliti (Ranny Rastati))

Dari gambar di atas, terlihat 67% responden menyukai bentuk edukasi internet dalam bentuk video viral dengan alasan (i) bentuk audio visual lebih dengan konten yang menarik, (ii) menghibur, (iii) lebih mengena, (iv) unggul dalam visualisasi, dan (v) mudah diingat dan dipahami. Selain itu, ada 17% responden yang menyukai dalam bentuk meme denngan alasan (i) isu yang disampaikan dapat terlihat lebih menarik dan lucu, (ii) menghibur masyarakat, dan (iii) mudah viral di sosial media seperti Instagram (gag.com). Bentuk sosialisasi lain yang muncul dalam jawaban adalah (i) social experiment agar dapat mengetahui respon khalayak terhadap suatu hal, (ii) sosialisasi karena ada kesempatan bertukar pikiran bersama teman serta orang lain, dan (iii) vlog, digital campain, dan foto konten karena berbentuk visual sehingga lebih menarik. Untuk model edukasi publik teknologi 5G bagi digital natives, dapat mengadopsi bentuk edukasi internet tersebut. Namun, perlu kajian lebih jauh mengenai model edukasi publik untuk digital immigrants. Serta kombinasi yang sesuai semua pengguna internet, baik digital natives dan digital immigrants.

*) Disampaikan di kegiatan FGD Penelitian Tim II Bidang SDPPI “Kajian Lanjutan 5G Indonesia: Model Edukasi Publik”, pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Perangkat dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Kementerian Kominfo pada Kamis, 13 Oktober 2016 di Ruang Arnold Mononutu, Kantor Kominfo Jakarta

Daftar Pustaka

Berita Satu. (2016). Telkomsel Gelar Edukasi Internet di Perbatasan. http://www.beritasatu.com/digital-life/385737-telkomsel-gelar-edukasi-internet-di-perbatasan.html

Chakhoyan, Andrew. (2016). How will 5G internet change the world?. https://www.weforum.org/agenda/2016/03/how-will-5g-internet-change-the-world

CNN Indonesia. (26 Desember 2015). Jaringan 5G Diprediksi 40 Kali Lebih Cepat Dari 4G. http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20151226101218-213-100418/jaringan-5g-diprediksi-40-kali-lebih-cepat-dari-4g/. Diakses pada 9 Oktober Pk.19.21 WIB

Kompas. (27 Januari 2014). Jaringan 5G Korsel 1.000 Kali Lebih Kencang dari 4G. http://tekno.kompas.com/read/2014/01/27/1202117/Jaringan.5G.Korsel.1.000.Kali.Lebih.Kencang.dari.4G. Diakses pada 9 Oktober 2016 Pk14.00 WIB

Landau, Deb Miller. (2015). How 5G will Power the Future Internet of Things. https://iq.intel.com/how-5g-will-power-the-future-internet-of-things/

Prensky, Mark. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants. MCB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001

PPP. (2013). Advanced 5G Network Infrastructure for the Future Internet Public Private Partnership in Horizon 2020: Creating a Smart Ubiquitous Network for the Future Internet. https://5g-ppp.eu/wp-content/uploads/2014/02/Advanced-5G-Network-Infrastructure-PPP-in-H2020_Final_November-2013.pdf

Rastati, Ranny. (8 Agustus 2016). Darurat Edukasi Berinternet. Koran Jakarta. www.koran-jakarta.com/darurat-edukasi-berinternet/

________________________________________________

TENTANG PENULIS

Ranny Rastati, often called Chibi, is a Researcher at Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). She received her bachelor’s in Japanese Studies at University of Indonesia and master’s in Communication Studies at University of Indonesia. Publications include popular books such Ohayou Gozaimasu (2014) and Korean celebrity: Daehan Minguk Manse (2015); articles journal on hijab cosplay (2015) and cyberbullying (2016). Her research interests include cosplay, Japan and Korean pop culture, also media studies. She also manages a nonprofit organization for social activity and voluntary service, Chibi Ranran Help Center (www.chibiranranhelpcenter.com), since 2013. Her works can be viewed via personal blog rannyrastati.wordpress.com. She can be contacted at ranny.rastati@gmail.com.