[Masyarakat & Budaya, Volume 21, Nomor 18, September 2021]

Oleh Septianto Aldiansyah (Mahasiswa Magister Ilmu Geografi UI)

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Hal tersebut membuat Indonesia sangat kaya akan keragaman budaya dan tradisi. Keragaman budaya dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dijaga dengan baik hingga saat ini melalui kearifan lokal.

Kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia (Wahono, 2004). Kearifan lokal tidak hanya berorientasi pada etika, namun juga norma dan tindakan serta tingkah laku. Dengan demikian, kearifan lokal dapat menjadi panduan dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.

Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam memaknai arti kearifan lokal yaitu pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal (local wisdom) dan kecerdasan setempat/lokal (local genius). Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang melekat dalam diri komunitas, masyarakat atau bangsa yang diturunkan dari leluhur yang berakar dari nilai, norma dan kebudayaan nenek moyang sesuai perubahan lingkungan (Sardjono & Samsoedin, 2001). Kecerdasan setempat/lokal dalam konteks kebudayaan adalah kesatuan utuh kebudayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat atau bangsa (Wales, 1951). Local genius adalah potensi lokal yang menentukan perkembangan suatu daerah.

Dengan demikian, kearifan lokal, pengetahuan local dan kecerdasan lokal/setempat memiliki makna yang sama yaitu landasan yang secara bersama-sama menjadi pegangan bagi manusia dalam mengambil kebijakan dan memandang kehidupan sesuai nilai-nilai, norma-norma dan/atau aturan-aturan.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia digunakan untuk menyelaraskan diri dengan alam tanpa mengganggu dan merusak alam. Hal ini didasarkan pada kepercayaan sebagian besar masyarakat bahwa bencana tidak akan datang jika bukan manusia yang mengundangnya.

Suja (2010) membagi kearifan lokal menjadi dua yaitu kearifan sosial dan kearifan ekologi. Kearifan sosial menekankan pada pembentukan makhluk sosial menjadi lebih arif dan bijaksana. Sementara itu, kearifan ekologi merupakan pedoman manusia agar arif dalam berinteraksi dengan lingkungan alam.

Kearifan Lokal Ekologi

Kearifan lokal dapat dilihat dari bangunan (rumah) dimana masyarakat adat sangat memperhatikan teknik sambung dan ikat bangunan, bahan, kerangka, dinding hingga atap. Sebagai contoh, kearifan lokal yang ditunjukkan masyarakat Baduy dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa (lini) ini terdapat pada konstruksi, teknik sambung dan ikat bangunan, serta penggunaan umpak (Permana et al., 2011). Hal ini juga terlihat pada bangunan suku Baduy yang banyak dijumpai di Provinsi Jawa Barat. Menurut Triyadi dan Harapan (2008: 133-134) bangunan tradisional di Jawa Barat memiliki kearifan lokal dalam merespon gempa.

Contoh lain dapat dilihat pada beberapa rumah tradisional seperti rumah Gadang (Minangkabau) rumoh krong bade(Aceh), Rumah Baghi/Basemah (Sumatera Selatan) dan Rumah Omo Hada (Nias). Telah banyak publikasi yang membuktikan bahwa rumah-rumah tersebut merupakan rumah yang tahan gempa. Oktaviani & Prihatmaji (2019) menemukan bahwa tektonika struktur konstruksi rumah Gadang yang merupakan bangunan lama terbukti merupakan struktur konstruksi ramah gempa dan bisa diterapkan pada bangunan pada daerah tropis rawan gempa. Kuatnya struktur rumah Gadang bahkan sampai diterapkan pada beberapa struktur hotel resor di Kawasan Wisata Mandeh, Sumatera Barat (Rizantana et al,, 2017). Kearifan lokal yang terkandung pada rumah tradisional di Sumatera Selatan juga masih relevan dengan kondisi saat ini dan dapat dipergunakan dalam pembangunan lingkungan binaan. Kearifan lokal tersebut berkaitan dengan pemahaman arsitektur, konstruksi bangunan, fungsi bangunan, penggunaan bahan bangunan dan penyelesaian tapak (Rinaldi et al, 2015).

Contoh kearifan lokal di Nias memperlihatkan bahan penyambung yang digunakan Rumah Adat Nias adalah penadan pasak kayu (rumah bongkar pasang) dengan kayu yang elastis. Bentuk penyangga juga berbentuk X yang disebut Ndriwa. Selain itu terdapat tiang tengah yang disebut simalambou. Hal ini membuat rumah mengikuti arah gempa saat terjadi bencana sehingga masyarakat setempat tetap aman. Pernah terjadi gempa yang melanda Nias di tahun 2005 dan rumah adat Nias bahkan dapat bertahan dari gempa yang berkekuatan 8,2 SR (Bratmantyo, 2012). Selain itu, rumah adat Aceh yang disebut rumoh krong bade selain ramah bencana, juga penuh dengan aspek kesehatan, lingkungan, sosial dan filosofi keagamaan. Bentuk struktur rumah yang tinggi dapat melindungi penghuningnya dari arus banjir dan gempa bahkan rumah ini dapat bertahan dari gempa yang pernah dialami Aceh pada tahun 2004 (Widosari, 2010).

Kearifan Lokal Sosial

Kearifan lokal dalam mitigasi bencana juga terdapat dalam masyarakat Dayak Kenyah di Kalimantan timur. Masyarakat Dayak menganggap alam sebagai sumber kehidupan yang tidak ternilai harganya. Terdapat tradisi tane’ olen yang mana hutan beserta segala isinya merupakan milik masyarakat adat dan tidak boleh ada masyarakat diluar masyarakat Dayak yang ikut campur. Masyarakat Dayak berpegang teguh pada keyakinan bahwa merusak alam akan mempengaruhi kehidupan dan kesalamatan manusia. Tindakan yang dilakukan masyarakat ini dapat menjaga kelestarian alam, meminimalisir bencana alam hingga menjadi mitigasi bencana khususnya bencana banjir dan kekeringan (Pramova et al, 2013). Begitu juga dengan masyarakat Manggarai Barat di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki kearifan lokal “konsep” puar cama atau menjaga hutan. Sistem yang diterapkan adalah sistem lodokatau lahan dibuka secara bersama-sama oleh satu keluarga dan apabila tidak digunakan lagi maka akan dikembalikan ke bentuk liarnya.

Umat beragama di Bali juga memiliki beberapa kearifan lokal yang dijaga secara turun temurun seperti matilesang raga (toleransi), nawang lek (tolong menolong), dan menyama braya (hidup rukun). Disisi lain, masyarakat Poso pun memiliki kearifan lokal yang disebut sintuwu maroso yang jika dipahami lebih dalam berarti hidup rukun antar sesama manusia. Masyarakat Poso memang terkenal heterogen sehingga tidak heran masyarakat disana menjaga keharmonisan melalui kearifan lokal agar menciptakan masyarakat yang penuh dengan kekeluargaan dalam rasa kebersamaan yang disebut komunitas. Terdapat juga kearifan lokal sambatan (masyarakat jawa) dan mapalus(masyarakat Minahasa) yang mana keduanya memiliki makna yang sama yaitu gotong royong.

Kearifan lokal juga dapat berbentuk cara masyarakat dalam membaca alam seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Pulau Simuelue melalui teriakan smong (Umim, 2019). “Andai ada gempa kuat, disusul air laut surut, jangan ke tepi pantai memungut ikan, berlarilah ke gunung, bawalah anak-anak, orang tua dan perempuan berlari menjauhi pantai dan berteriaklah, smong.. smong… smong…”. Teriakan tersebut merupakan bentuk peringatan dini akan terjadinya bencana tsunami. Budaya yang diselalu diturunkan melalui dongen atau lagu ini merupakan bentuk trauma masyarakat akan masa lalu hingga menjadikan teriakan smong mendarah daging dalam hati masyarakat tersebut.

Dalam studi terhadap masyarakat Baduy, bentuk kearifan lokal yang dimiliki terlihat pada bagaimana masyarakat dalam menghindari kebakaran. Seperti yang ditunjukkkan oleh tradisi ngahuru atau ngaduruk (Permana et al., 2011). Beberapa bagian tebasan atau potongan dipilih dan dipisahkan dengan tujuan untuk menghindari penjalaran api dari daun, dahan hingga ranting yang telah kering. Selain itu, ada pula kepercayaan yang dipegang oleh suku Mentawai untuk menjaga hutan yang disebut Sabulungan. Sa berarti seikat dan bulung berarti daun. Makna dari sabulung sendiri mengajarkan arti keseimbangan alam dan manusia. Alam, tumbuhan, air dan hewan yang ada saat ini untuk terus dijaga.

Dari sini terlihat suku Mentawai dengan budaya yang masih kental menyakini hutan adalah rumah bagi dewa-dewa dan tentu harus dihormati. Jika tidak maka akan memberikan malapetaka bagi suku Mentawai. Inilah kepercayaan yang dipegang teguh oleh suku Mentawai sehingga mereka benar-benar memperlakukan hutan dengan sebaik mungkin. Dalam kegiatan pemanfaatan alam seperti pohon yang akan ditebang, suku Mentawai tidak semata-mata langsung menebang pohon melainkan harus melalui punen mulia untuk meminta izin dan memberikan ucapan terima atas kelimpahan hutan yang diberikan. Air juga sangar dijaga oleh suku ini, mengotori air maka harus membayarnya dengan denda adat berupa seekor babi. Babi pada suku ini merupakan harta yang paling berharga.

Indonesia sendiri memiliki berbagai bentuk kearifan lokal yang masih dipengang teguh oleh masyarakat/suku hingga saat ini. Kearifan lokal tersebut dapat terlihat dari bentuk rumah, struktur bangunan, sambungan dan cara masyarakat meletakan rumah dalam suatu wilayah. Nilai-nilai yang telah diturunkan oleh nenek moyang terbukti dapat menolong masyarakat dalam menghadapi bahaya dan bencana.

Beberapa resor atau bangunan dengan konsep sederhana juga ikut menerapkan konstruksi serta struktur bangunan adat, selain bentuknya unik juga dapat memberikan rasa aman pada penghuni jika saat terjadi bencana. Hal ini membuktikan kekuatan dari bangunan zaman dulu. Kita sebaiknya mulai belajar bagaimana nenek moyang memahami mitigasi yang bersinergi dengan alam. Pengetahuan tersebut dapat dipelajari dan diterapkan sembari memberi cita rasa sentuhan modern (Editor Ranny Rastati).

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Bramantyo, B. (2012). Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional Nias Selatan dan Perubahannya. Jurnal Permukiman, 7(3), 151-161. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, 18, 123-134.

Oktavia, A. M., & Prihatmaji, Y. P. (2019, February). Tektonika Rumah Gadang Sebagai Bentuk Struktur Konstruksi Yang Ramah Gempa. In SENADA (Seminar Nasional Desain Dan Arsitektur) (Vol. 2, pp. 655-663).

Permana, R. C. E., Nasution, I. P., & Gunawijaya, J. (2011). Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada masyarakat Baduy. Makara Human Behavior Studies in Asia, 15(1), 67-76.

Pramova, E., Locatelli, B., Mench, A., Marbyanto, E., Kartika, K., & Prihatmaja, H. (2013). Mengintegrasikan Adaptasi ke dalam REDD+: Dampak Potensial dan Rentabilitas Sosial di Setulang, Kabupaten Malinau, Indonesia (Vol. 114). CIFOR.

Rinaldi, Z., Purwantiasning, A. W., & Nur’aini, R. D. (2015). Analisa Konstruksi Tahan Gempa Rumah Tradisional Suku Besemah di Kota Pagaralam Sumatera Selatan. Prosiding Semnastek.

Rizantana, R. D., Haripradianto, T., & Yatnawijaya, B. (2017). Penerapan Struktur Rumah Gadang terhadap Hotel Resor di Kawasan Wisata Mandeh, Sumatera Barat. Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur, 5(1).

Sardjono, M. A., & Samsoedin, I. (2001). Traditional knowledge and practice of biodiversity conservation. People Managing Forests, 116-134.

Suja, W. (2010). Kearifan Lokal Sains Asli Bali, Surabaya: Paramita.

Triyadi, S., & Harapan, A. (2008). Kearifan Lokal Rumah Vernakular di Jawa Barat Bagian Selatan dalam Merespon Gempa.

Umin, M. (2019). Mitigasi terhadap Tsunami Berbasis Kearifan Lokal di Pulau Simeulue. Jurnal Samudra Geografi, 2(1), 9-11.

Wahono, Francis dkk. (Editor). 2004. Pangan, Kearifan Lokal, dan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Wales, H.G, 1951, “Cultural Change in Greater India”, in Jurnal of Royal Asiatic Society.

Widosari, W. (2010). Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Pasca Gempa dan Tsunami. Local Wisdom: Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal, 2(2), 27-36.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Saat ini, penulis sedang menempuh studi magister ilmu geografi di Universitas Indonesia sejak tahun 2020. Penulis tertarik terhadap bidang kajian geografi mengenai geografi fisik dan geografi manusia. Email: septianto.aldiansyah@ui.ac.id