Home Artikel Metaverse, Ruang Ideal bagi Etnografi Virtual?

Metaverse, Ruang Ideal bagi Etnografi Virtual?

0

[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 17, Maret 2022]

Oleh Ibnu Nadzir, M.Sc.  (Peneliti Antropologi-BRIN)

Ketika Zuckerberg mengumumkan rencananya mengubah Facebook menjadi Metaverse, muncul pertanyaan dalam benak saya, “Bagaimana perubahan ini akan berpengaruh pada cara kerja ilmuwan sosial khususnya antropolog di masa yang akan datang?” Pertanyaan tersebut muncul bukan karena Metaverse menawarkan perubahan yang radikal, sebaliknya platform ini seperti memutar ulang jam bagi antropolog yang melakukan studi terkait teknologi digital. Jauh sebelum media sosial seperti Facebook berkembang, antropologi sudah menaruh perhatian pada semesta di dunia maya. Para perintisnya bahkan secara khusus menyusun metodologi yang kemudian banyak dikenal sebagai etnografi virtual. Etnografi virtual sempat jadi perangkat metodologis yang cukup populer, sebelum kemudian sempat sedikit terlupakan dengan perkembangan beragam platform Internet seperti media sosial. Maka ketika Zuckerberg menjanjikan semestanya maya miliknya sendiri, saya jadi terpikir apakah tren tersebut juga akan menjadi momentum kebangkitan etnografi virtual?

Antropologi memang sudah cukup lama memiliki ketertarikan pada perkembangan teknologi digital. Bahkan ketika fitur Internet masih amat terbatas, antropolog sudah membayangkan pengaruh keberadaan teknologi ini pada perubahan tatanan masyarakat. Appadurai (1996) membayangkan bahwa kemampuan teknologi dalam mentransmisikan gambar dan suara punya andil terhadap banyak fenomena sosial yang terjadi. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika kemudian berkembang beragam variasi kajian terhadap fenomena sosial dan budaya di Internet. Etnografi, yang secara tradisional identik dengan antropologi pun masuk ke wilayah kajian baru dengan sejumlah penamaan baru seperti: etnografi Internet, etnografi digital, termasuk juga etnografi virtual (Varis, 2014).

Bagi para pengusungnya, etnografi virtual memiliki kekhasan tersendiri yang menjadikan metode penelitian ini sedikit berbeda dengan kajian Internet lainnya. Praktisi etnografi virtual tertarik mendalami platform dalam Internet yang memang secara khusus membangun semesta maya. Semesta ini bukan sekadar ruang komunitas yang bisa ditemukan seperti dalam mailing list  ataupun ruang chat, melainkan jagad yang memiliki kelengkapan seperti penghuni, bangunan, atau hewan menyerupai dunia di luar Internet. Platform semacam ini dikenali sebagai dunia virtual atau maya, istilah yang digunakan sebagai kontras dengan dunia nyata.

Dalam dunia semacam ini, para penggunanya dapat menciptakan kehidupan baru yang terputus dari hidup mereka di balik layar. Penggunanya dapat menjadi sosok dengan identitas baru dalam kelompok umur, gender, etnis yang mereka kehendaki. Dalam beberapa platform permainan daring, pengguna bahkan bisa memilih untuk tidak menjadi manusia, melainkan ras-ras imajiner lain yang lebih disukai. Dalam game seperti Warcraft, para pemain bisa memilih menjadi Orc yang tampak seperti monster tapi memiliki kekuatan jauh di atas manusia biasa. Atau sebaliknya, pengguna bisa menjadi Elf yang terlihat elegan dan memiliki kemampuan sihir yang tinggi. Semesta semacam ini memberikan semacam kebebasan untuk penggunanya seluas  kemungkinan yang disediakan oleh pengembang semester tersebut.

Karakteristik khas semesta semacam ini menuntut teknik yang juga khusus dalam riset. Pada umumnya, pelaku etnografi terkait teknologi digital meyakini bahwa prinsip-prinsip etnografi tradisional tetap relevan dalam ruang yang baru. Hal ini didasari oleh pendekatan antropologi yang pada mulanya juga amat meyakini kekhususan praktik dan nilai budaya di berbagai wilayah. Prinsip ini juga berlaku ketika diterapkan dalam membaca praktik penggunaan Internet. Teknologi yang berkembang tidak dipahami sebagai teknologi yang menyeragamkan, melainkan ruang bagi ekspresi sosial dan budaya yang amat beragam dan tidak terlepas dari akar primordial masing-masing.

Pengusung etnografi virtual punya pendekatan yang sedikit berbeda. Dengan bangunan semesta yang amat menyeluruh, ruang maya dapat dipahami dengan terpisah dari praktik sosial dan budaya yang ada di luarnya (Boellstorff et al., 2012). Dengan demikian, masing-masing platform dapat menawarkan keragaman semesta beserta praktik sosial dan budayanya tersendiri tanpa perlu dibebani ekspektasi dari dunia di luarnya. Asumsi ini diterapkan ke dalam beragam platform sederhana yang sudah membangun semestanya sendiri. Boellstorff (2008) misalnya, melakukan etnografi dalam platform Second Life yang sesuai namanya, diperuntukkan bagi pengguna Internet yang hendak menciptakan kehidupan kedua dalam ruang digital. Nardi (2010) menuliskan risetnya sebagai pemain game online Warcraft dalam karya yang juga menjadi rujukan penting bagi etnografi virtual. Riset-riset ini menarik batas dari praktik tradisional etnografi ke dalam ruang yang baru.

Dalam perkembangannya, platform dengan semesta maya hanya menjadi salah satu cabang perkembangan Internet. Media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram jadi ruang yang jauh lebih populer daripada simulasi semesta. Oleh karenanya, kajian-kajian terkait semesta virtual pun hanya menjadi salah satu opsi yang di antara antropolog yang menaruh perhatian pada fenomena sosial di Internet. Perkembangan Internet ini yang menjadikan etnografi virtual bahkan sempat diprediksi sebagai salah satu topik yang relatif tidak berkembang (Golub, 2014). Ada terlalu banyak perkembangan Internet yang sepertinya jauh lebih menarik bagi antropolog dan ilmuwan sosial lainnya, setidaknya sampai sebelum Zuckerberg mengumumkan bahwa perusahaannya akan mendorong Metaverse.

Dalam paparannya, Zuckerberg menawarkan Metaverse sebagai semesta masa depan. Di saat oligark teknologi lain seperti Elon Musk atau Jeff Bezos melihat luar angkasa sebagai terra incognita, Zuckerberg percaya bahwa masa depan masih ada bumi. Hanya saja ini bukanlah  bumi yang kita akrabi sehari-hari, melainkan ruang virtual. Dalam imajinasi Zuckerberg, di masa yang akan datang orang tidak perlu lagi berpayah-payah keluar dan melakukan aktivitas di ruang fisik. Kegiatan-kegiatan lama seperti bekerja, menikmati konser, beribadah, sampai dengan menikah cukup diwakili oleh tubuh kita dalam ruang virtual. Imajinasi ini dengan demikian, menyerupai aktivitas yang sudah dilakukan oleh pemain Warcraft atau pemilik akun Second Life pada tingkatan yang lebih tinggi. Jika di masa lampau orang masih mengandalkan keyboard dan tetikus untuk berselancar di dalam semesta, semesta ini akan memberikan pengalaman indrawi yang menyeluruh. Metaverse yang dibayangkan Zuckerberg bersandar pada teknologi yang sudah cukup lama yaitu virtual reality. Dengan menggunakan teknologi ini, penggunanya akan makin kesulitan untuk memilah antara pengalaman yang terjadi di dunia nyata dan dunia virtual. Terlebih karena teknologi ini terus berkembang pesat sehingga dapat memberikan sensasi fisik yang makin mendekati pengalaman di dunia nyata.

Pertanyaannya kemudian, apakah perkembangan Metaverse akan memicu kebangkitan etnografi virtual sebagai perangkat metodologis?  Perkembangan Metaverse kemungkinan besar akan memicu kembali minat antropolog dan ilmuwan sosial lainnya untuk menengok kembali etnografi virtual. Terlebih dengan teknologi yang ada saat ini, antropolog akan lebih memiliki kemampuan observasi dan peleburan yang sejak lama diharapkan dari praktik etnografi pada umumnya. Etnografi virtual juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang muncul dari perkembangan teknologi ini. Apakah ada batas kebudayaan yang berkembang antara ruang virtual dan kehidupan di luarnya? Sejauh mana teknologi ini memicu lahirnya praktik dan nilai budaya yang baru? Bagaimana kemanusiaan didefinisikan ketika interaksi antar penggunanya sepenuhnya terjadi dalam medium virtual? Pertanyaan-pertanyaan ini dan ribuan lainnya adalah tantangan yang luas bagi ilmuwan sosial untuk mempraktikkan juga mengembangkan etnografi virtual dalam semesta yang baru. Dalam hal ini, kemungkinannya hanya terbatas pada imajinasi yang dimiliki. (Editor: Al Araf Assadallah Marzuki)

Referensi:

Ilustrasi: Shutterstock

Appadurai, A. (1996). Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (7th ed., Vol. 53, Issue 9). University of Minessota Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Boellstorff, T. (2008). Coming of Age in Second Life: An Anthropologist Explores the Virtually Human. Princeton University Press.

Boellstorff, T., Nardi, B. A., Pearce, C., & Taylor, T. L. (2012). Ethnography and Virtual Worlds: A Handbook of Method. Princeton University Press.

Golub, A. (2014). The Anthropology of Virtual Worlds: World of Warcraft. Reviews in Anthropology, 43(2), 135–149. https://doi.org/10.1080/00938157.2014.903150

Nardi, B. A. (2010). My Life as a Night Elf Priest: An Anthropological Account of World of Warcraft. In American Ethnologist (Vol. 39, Issue 2). University of Michigan. https://doi.org/10.1111/j.1548-1425.2012.01374_1.x

Varis, P. (2014). Digital ethnography. In Tilburg Papers in Culture Studies (Vol. 104, Issue August). https://doi.org/10.4324/9781315694344

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

 

Tentang Penulis:

Ibnu Nadzir memperoleh gelar Master dari Departemen Antropologi Sosial dan Budaya di Universitas Amsterdam. Saat ini dia bekerja sebagai Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya-BRIN dengan fokus gerakan sosial dan penggunaan Internet. Beberapa publikasinya terakhir mencakup Hoax and Misinformation in Indonesia: Insights from Nationwide Survey. ISEAS, Singapore (2019), ”The Banning of Hizbut Tahrir: The Threat to Democracy and Islamic Diversity in Indonesiain Islam and Cultural Diversity in Indonesia. Tokyo University Foreign Studies (2021). Ia dapat dikontak melalui surel: ibnu.nadzir@gmail.com. Google Scholar: https://scholar.google.co.id/citations?user=Q9MwqLwAAAAJ&hl=en

 

 

 

NO COMMENTS

Exit mobile version