[Masyarakat & Budaya, Volume 23, Nomor 21, November 2021]

Oleh Sartono (Tim Perencanaan Badan Bahasa Kemendikbudristek)

Tahun 2022 sudah berada di depan mata. Agenda-agenda internasional pada tahun itu telah diberitakan di berbagai media. Qatar, misalnya, akan menjadi tuan rumah pesta akbar Piala Dunia 2022. Indonesia diamanati untuk menjadi presiden G-20. Namun, ada pula agenda yang belum banyak diekspos, yaitu ihwal 2022 sebagai titik awal dari periode yang dicanangkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai International Decade of Indigenous Languages (Dekade Internasional Bahasa Daerah) 2022—2032.

Pencanangan Dekade Internasional Bahasa Daerah (DIBD) melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/74/135 merupakan salah satu respons dunia terhadap isu tentang bahasa daerah -di sini ada generalisasi terhadap istilah local, regional, and indigeneous languages (bahasa lokal, bahasa daerah, dan bahasa adat/pribumi). Fokus DIBD diarahkan pada dukungan terhadap hak asasi penutur untuk berbahasa daerah, termasuk mendapatkan pendidikan dalam bahasa daerah dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat menggunakan bahasa daerah.

Pencanangan DIBD juga tidak lepas dari keprihatinan atas punahnya bahasa-bahasa. Linguist List mendata sebanyak 573 bahasa yang sudah punah dari berbagai rumpun, seperti Austronesia, Afroasiatik, dan Indo-Eropa (Linguistlist, tt). Kepunahan bahasa tersebut dibarengi dengan hilangnya akumulasi pengetahuan dan sejarah komunitas tuturnya. Bahkan, jika merujuk pada manifesto Foundation for Endangered Language (Yayasan untuk Bahasa-Bahasa Terancam Punah), lebih dari 50% bahasa yang ada saat ini tidak tertransmisikan ke generasi selanjutnya sehingga mayoritas bahasa diramalkan hilang dalam rentang waktu dua generasi ke depan.  Oleh sebab itu, PBB kembali menyeru warga dunia untuk berpartisipasi dalam melindungi bahasa-bahasa yang saat ini masih ada.

Selayang Pandang Pelindungan Bahasa di Luar Negeri

Di pelbagai belahan dunia dapat dijumpai upaya-upaya pelindungan dan pelestarian bahasa. Contoh klasik yang sering dirujuk sebagai keberhasilan ialah kebangkitan bahasa Ibrani sebagai bahasa modern Israel pada abad ke-19 setelah berabad-abad tidak digunakan dalam pertuturan. Kebangkitan itu tidak terlepas dari jasa linguis visioner Eliezer Ben-Yehuda dan teman-temannya yang pada tahun 1881 menginisiasi penggunaan bahasa Ibrani dalam komunikasi mereka. Selain Ibrani, Stephen Wurm (dalam Crystal, 2014) menyebutkan peluang keberhasilan membangkitkan bahasa Kaurna di Australia yang sudah punah sekitar seabad lalu. Bahasa itu dapat dibangkitkan karena sistem kebahasaannya telah terdokumentasi dengan baik. Pada awal abad ke-20 terdapat pula contoh upaya membangkitkan kembali bahasa Kernowek (Cornish) di Inggris yang dianggap sudah mati pada abad sebelumnya.

Namun, selain contoh keberhasilan dalam pelestarian/pembangkitan kembali sebuah bahasa, terdapat pula contoh ketidakberhasilan. Upaya yang dilakukan terhadap bahasa Irlandia, misalnya, dikatakan tidak berhasil karena pengaruh bahasa Inggris yang terlalu kuat di sana (Moelijono, 1985). Berbeda dari pendapat itu, Spolsky (2019) menengarai bahwa ketidakberhasilan intervensi terhadap bahasa Irlandia disebabkan caranya yang sentralistis (dikendalikan oleh negara), berbeda dari keinginan membangkitkan bahasa Ibrani yang tumbuh dari berbagai lapisan dan ranah di masyarakat.

Selayang Pandang Pelindungan Bahasa di Indonesia

Ethnologue (2021) menempatkan Indonesia pada urutan kedua sebagai pemilik bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini. Tercatat Papua Nugini memiliki 840 bahasa daerah, sementara Indonesia memiliki 712 bahasa daerah. Ratusan bahasa yang tersebar di ribuan pulau tersebut menegaskan fitrah kebinekaan yang sejak awal melekat pada negara-bangsa ini. Selain ratusan bahasa daerah tersebut, kebinekaan bahasa di Indonesia juga diwarnai oleh hadirnya satu bahasa nasional dan puluhan bahasa asing.

Karena menyadari bahwa kebinekaan bahasa menyimpan potensi persatuan sekaligus perpecahan, negara hadir melalui berbagai regulasi, antara lain, Undang Undang Dasar (UUD) 1945, Undang Undang (UU) 24/2009, UU 23/2014, UU 5/2017, Peraturan Pemerintah (PP) 57/2014, Peraturan Presiden (Perpres) 63/2019, dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 42/2018. Selain regulasi yang bersifat nasional di atas, tak kurang dari 20 peraturan daerah disahkan dalam rangka mengelola bahasa daerah di berbagai wilayah di Indonesia. Kehadiran regulasi-regulasi tersebut merupakan angin segar dan indikator nyata keseriusan negara dalam mengelola bahasa.

Namun, kuatnya dukungan regulasi bukan berarti selesainya persoalan kebahasaan. Jurang antara kondisi ideal yang diharapkan dalam regulasi dan praktik di lapangan masih tampak dengan jelas. Sebagian besar dari bahasa daerah yang ada belum terkaji daya hidupnya. Sebagian besar bahasa tersebut juga belum terkodifikasi sistem kebahasaannya. Sikap bahasa penutur (kognitif, afektif, konatif) terhadap bahasa-bahasa tersebut juga belum diketahui dengan pasti. Ringkasnya, masih banyak persoalan kebahasaan yang menuntut kepedulian banyak pihak.

Penanganan persoalan kebahasaan tentu saja tidak mudah mengingat sifatnya yang kompleks dan luasnya cakupan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi, berbagai upaya telah ditempuh baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah. Sebagian dari upaya tersebut, misalnya kajian kebahasaan, bahkan telah dilaksanakan sejak masa prakemerdekaan. Strategi-strategi baru juga selalu dikembangkan, misalnya melalui konservasi dan revitalisasi bahasa. Konservasi dilaksanakan dalam bentuk pendokumentasian dan pengembangan sistem bahasa, sedangkan revitalisasi dilaksanakan dalam bentuk peningkatan daya hidup bahasa, misalnya melalui proses pembelajaran.

Salah satu strategi yang akan ditempuh oleh pemerintah pada tahun 2022 ialah revitalisasi bahasa berbasis sekolah dengan melibatkan pemerintah pusat, pemda, penutur, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Mekanisme revitalisasi tersebut diuraikan secara detail oleh Kepala Badan Bahasa dalam Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Daerah I yang berlangsung pada 24-26 Agustus 2021 dan dapat dilihat melalui kanal Youtube Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah.

Dekade Internasional Bahasa Daerah 2022—2032 dalam Perspektif Pembangunan Nasional

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyebutkan lima alasan yang menjadikan tahun 2022 sebagai tahun strategis bagi kementeriannya. Salah satunya ialah pemaknaan bahwa tahun 2022 merupakan masa-masa akhir periode Pembangunan Jangka Panjang Nasional (PJPN) 2005—2025. Pemerintah harus mengambil kesimpulan awal tentang pencapaian Indonesia selama  hampir 20 tahun ini sebagai bahan penyusunan rencana pembangunan jangka panjang selanjutnya. Dekade 2022—2032 akan menandai peralihan antar-PJPN menuju momen yang digadang sebagai Indonesia Emas Tahun 2045.

Dari aspek pelindungan bahasa daerah, tonggak apa yang dicapai dalam kurun PJPN 2005—2025? Salah satunya ialah penambahan sebanyak 300 bahasa daerah yang terpetakan sampai akhir 2019. Sebelumnya diketahui bahwa 412 bahasa daerah telah dipetakan pada tahun 1972. Dengan penambahan 300 tersebut, total bahasa daerah yang terpetakan oleh Badan Bahasa, Kemendikbudristek sebanyak 718. Jumlah itu masih mungkin bertambah sekiranya dilaksanakan aktivitas pemetaan bahasa, terutama di bagian timur wilayah Indonesia. Terhadap sebagian dari 718 bahasa daerah itu telah dilakukan intervensi berupa kajian daya hidup (vitalitas) bahasa, konservasi, dan revitalisasi. Intervensi tersebut dilakukan dalam rangka menahan laju kepunahan bahasa daerah sekaligus mengembangkannya agar selaras dengan perkembangan zaman.

Dekade Internasional Bahasa Daerah 2022-2032 dapat dimaknai oleh semua pihak sebagai momentum untuk meningkatkan kepedulian dan kolaborasi dalam melestarikan bahasa daerah. Kolaborasi antarinstansi pemerintah, misalnya, dapat diwujudkan melalui:

  1. Penggambaran sistematis program pelindungan bahasa dalam dokumen perencanaan pembangunan, baik dalam dokumen rencana pembangunan jangka panjang, menengah, maupun tahunan (RPJPN, RPJMN, rencana strategis, dan rencana kerja),
  2. Percepatan upaya pemutakhiran data kebahasaan di seluruh Indonesia,
  3. Penyertaan data bahasa dalam dokumen kependudukan (Maryanto, Wawancara, Agustus 2021)
  4. Penetapan dana alokasi khusus (DAK) fisik atau nonfisik untuk mendukung program pelindungan bahasa di daerah, dan
  5. Penyusunan perda bahasa daerah, pewujudan dalam program pemda, dan pengawasan dalam implementasinya.

Kelima contoh di atas memerlukan kolaborasi dari, sekurang-kurangnya, (1) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, (2) Kementerian Keuangan, (3) Badan Pusat Statistik, (4) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dan (5) pemerintah daerah. Kontribusi dari kementerian/lembaga lain yang relevan tentu juga akan mendukung keberhasilan program pelindungan bahasa daerah.

Sementara itu, kolaborasi dan kerja sama berbagai pihak di luar instansi pemerintah sangat menentukan keberhasilan pelindungan bahasa, terutama dari komunitas tutur dan lembaga masyarakat setempat. Berbagai program yang dirancang pemerintah akan sia-sia jika komunitas tutur tidak lagi bersedia untuk menggunakan bahasanya. Sehubungan dengan itu, Lauder (2017) menekankan pentingnya peran pemuda dan perangkat Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) dalam revitalisasi bahasa dewasa ini. Pemuda sebagai bagian dari komunitas tutur sebuah bahasa memiliki peran sentral untuk mentransmisikan bahasa yang mereka peroleh dari generasi tua. Kemampuan pemuda dalam mengakses dan menggunakan TIK sangat potensial dalam menghidupkan dan menentukan arah perubahan bahasa mereka di masa mendatang. Dengan demikian, bahasa daerah juga berorientasi masa depan, bukan semata sebagai cerminan dan warisan masa lalu.

Dekade Internasional Bahasa Daerah 2022-2032 dapat pula diisi dengan beragam aktivitas yang menarik perhatian publik terhadap isu pelindungan bahasa. Kerangka yang diusung oleh David Crystal (2007) tentang location, award, days, data, artworks (LADDA) dalam mengoptimalkan momen kebahasaan masih relevan untuk menyongsong dekade ini. Lokasi/tempat yang terasosiasi dengan bahasa daerah (misal, museum bahasa) perlu dikunjungi, penghargaan secara rutin perlu diberikan kepada para tokoh/aktivis/organisasi yang peduli pada bahasa daerah, hari bahasa tertentu perlu dimeriahkan, data kebahasaan perlu dimutakhirkan, dan karya seni yang menampilkan keunikan bahasa (misal lukisan, mural, patung) dapat digelar untuk masyarakat.

Walhasil, berdasarkan pengamatan terhadap kondisi saat ini, sudah saatnya pelindungan bahasa daerah diangkat menjadi sebuah gerakan bersistem yang melibatkan segenap komponen bangsa. Dengan menjadikannya sebuah gerakan, energi publik dapat difokuskan untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah. Dengan cara itu, semua pihak kembali diingatkan bahwa ihwal bahasa daerah bukan semata soal linguistik, melainkan juga soal identitas, hak berbahasa, relasi kuasa, cara berpikir, cara pandang, dan soal-soal mendasar lainnya.  Dengan cara itu pula negara menunjukkan kehadirannya untuk mengelola kebinekaan dan melaksanakan amanat yang ditegaskan dalam konstitusi: memelihara dan menghormati bahasa daerah (Editor Ranny Rastati).

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Crystal, David. (2007). What do we do with an International Year of Languages? Diakses pada 7 Mei 2021 dari http://www.davidcrystal.com/Files/BooksAndArticles/-4961.pdf.

Crystal, David. (2014). Language Death (Canto Classics Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Lauder, Allan F. 2017. A Strategy for Language Revitalization in Indonesia: Focus on Youth and ICT. Dalam Kongres Internasional dan Lokakarya Bahasa Daerah Maluku. Tema: Pelindungan Bahasa-Bahasa Daerah Sebagai Aset dan Jati Diri Bangsa. Ambon, Maluku, 7—8 September 2017. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

“List of Extinct Languages” Diakses pada 17 September 2021 dari https://linguistlist.org/forms/langs/get-extinct.cfm

“Lini Masa Pemetaan Bahasa di Indonesia”. Diakses pada 7 September 2021 dari https://www.instagram.com/p/CTORoRPlYju/

Maryanto (Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara), Wawancara, Agustus 2021

Moelijono, Anton. (1985). Pengembangan dan pembinaan bahasa: Ancangan alternatif di dalam perencanaan bahasa. Jakarta: Djambatan

“Resolution adopted by the General Assembly on 18 December 2019”. Diakses pada 6 September 2021 dari https://undocs.org/pdf?symbol=en/A/RES/74/135

Seminar Internasional Bahasa Daerah I. Diakses pada 6 September 2021 dari https://www.youtube.com/watch?v=n0TmZux-5F8.

Spolsky, B. (2019). A modified and enriched theory of language policy (and management). Language Policy, Vol. 18, hlm. 323—338.

“Suharso : 2022 merupakan tahun strategis bagi Bappenas” Diakses pada 7 September 2021 dari https://www.antaranews.com/berita/2367874/suharso-2022-merupakan-tahun-strategis-bagi-bappenas

“The FEL manifesto”. Diakses pada 6 September 2021 dari https://www.ogmios.org/manifesto/

“What countries have the most languages?” Diakses pada 6 September 2021 dari https://www.ethnologue.com/guides/countries-most-languages

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Penulis adalah anggota Tim Perencanaan di Badan Bahasa, Kemendikbudristek. Alumni S-1 Sastra Inggris UGM dan S-2 Ilmu Linguistik UI. Memiliki minat terhadap kajian pembangunan bidang kebahasaan. Dapat dihubungi melalui email: satoras@gmail.com.