Sumber gambar: www.matamatapolitik.com

Pada tahun politik menjelang Pilpres 2019, ada banyak hal yang bisa menjadi polemik panas di tengah sensitifitas masyarakat yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, karena bisa berdampak pada keamanan Negara. Salah satu polemik panas yang booming adalah terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut RUU PKS). RUU PKS adalah RUU yang naskah-nya dibuat berdasarkan kegelisahan serius Komnas Perempuan melihat peningkatan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia memang menunjukkan tren meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2017 misalnya, terdapat  348.446 kasus kekerasan seksual, dan angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus (nasional.tempo.co, 14 Februari 2019). Selain itu, RUU PKS ini juga penting diadakan karena KUHP masih sangat minim mengatur tentang hal tersebut. Sementara itu bentuk-bentuk kekerasan seksual terus berkembang. Salah satunya adalah kasus Baiq Nuril yang menjadi korban pelecehan secara verbal dari atasannya  seorang kepala sekolah SMA 7 Mataram. Oleh karena bentuk pelecehan verbal tidak diatur didalam KUHP, Baiq Nuril yang seharusnya diperlakukan sebagai korban, malah menjadi pelaku pelanggar hukum di mata pengadilan. Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya, Baiq Nuril malah dijerat UU ITE dan dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda 500 juta.

RUU PKS yang diajukan Komnas Perempuan sejak tahun 2015, sejatinya sudah siap ketuk palu. Menurut Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, RUU tersebut akan disahkan sebelum Pemilu 2019 (nasional.tempo.co, 14 februari 2019). Keseriusan DPR untuk segera mensahkan RUU PKS ini tampak jika kita melihat website DPR RI. RUU PKS masuk dalam klasifikasi program legislasi nasional prioritas 2019. Menurut Firman Soebagyo Ketua kerja Prolegnas, sebuah RUU dapat ditetapkan sebagai prolegnas prioritas karena 1; Sudah lengkap naskah akademik dan pasal-pasal dalam RUU nya 2) Agar tidak terjadi kekosongan hukum 3) RUU memiliki efek domino terhadap Undang-Undang lainnya (www.cnnindonesia.com, 10 Februari 2015).

Namun, diluar optimisme Bambang Soesatyo akan proses legislasi RUU PKS. Ternyata secara substantif masih terdapat penolakan dari fraksi PKS.  Hal ini kemudian menjadi lelucon satir yang diangkat sebagai judul tulisan ini ‘Fraksi PKS menolak RUU PKS’. Yang menjadi pertanyaan, bagian RUU PKS mana yang ditolak Fraksi PKS? Berdasarkan penelusuran berita daring. Tampaknya Fraksi PKS Menginginkan perubahan definisi dan cakupan kekerasan seksual, serta perspektif yang menempatkan pancasila dan agama dalam RUU. Fraksi PKS menganggap definisi kekerasan seksual terlalu liberal. Selain itu fraksi PKS menganggap RUU PKS berpotensi membuka ruang sikap permisif terhadap seks bebas dan LGBT (nasional.tempo.co, 14 Februari 2019).

Tidak semua penolakan Fraksi PKS akan dibahas dalam tulisan ini, yang paling menarik adalah pernyataan Fraksi PKS yang menganggap RUU PKS berpotensi membuka ruang permisif terhadap seks bebas.  Hal inilah kemudian menjadi kebuntuan perdebatan antara fraksi PKS dengan Komnas Perempuan sebagai pengusung naskah RUU ini.

Sebagaimana kutipan terhadap pasal 1 RUU PKS diatas, yang disebut sebagai kekerasan seksual adalah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan bebas dari salah satu pihak. Kata “PERSETUJUAN” dalam definisi diatas yang kemudian memunculkan perdebatan sengit dari fraksi PKS. Kalau begitu jika dilakukan dengan persetujuan maka diperbolehkan? Apakah itu artinya RUU ini pro terhadap seks bebas?

Sebelum kemudian kita bisa menyimpulkan apakah RUU ini pro pada seks bebas. KUHP sebagai satu-satunya undang-undang yang selama ini mengatur tentang kekerasan seksual telah mengaturnya didalam buku kedua bab ke 16 pasal 281 sampai 303 yang di-istilahkan ‘kejahatan terhadap kesusilaan’. Pemahaman kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP dan kekerasan seksual dalam RUU PKS memiliki kesamaan. Yaitu dapat disebut sebagai kejahatan atau kekerasan  apabila dilakukan tanpa persetujuan salah-satu pihak, kecuali jika dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah. Tetap dikatakan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan walaupun berlandaskan suka sama suka hanya jika dilakukan oleh laki-laki atau wanita yang sudah menikah. Sepertinya Belanda pada masa itu berpikir, bahwa perbuatan tersebut menimbulkan korban yaitu pasangan suami/istri yang diselingkuhi.

Oleh karena itu, di dalam tulisan ini kemudian seks bebas yang dimaksud adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki atau wanita yang belum ada ikatan pernikahan. Namun, agar penulis tidak terjebak sebagai polisi moralitas yang subjektif, yang tentu sulit ditegakkan dari satu perspektif, karena Indonesia adalah negara yang penduduknya heterogen baik agama maupun budayanya. Maka, saya dalam opini ini akan berpegang pada perspektif hukum yang mungkin lebih dekat dengan obyektivitas.

Perangkat hukum Indonesia dalam  pandangan  saya tidak menganut seks bebas. Hal ini terindikasi dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang Perkawinan. Undang-Undang ini dibuat salah satunya untuk mengakomodir keyakinan agama-agama di Indonesia bahwa hubungan (seks) antar manusia didahului dengan pernikahan. Namun, mengapa RUU menggunakan kata ‘tanpa persetujuan’ yang dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual. Karena jika memang terjadi tanpa persetujuan, maka peristiwa tersebut secara hukum baru bisa disebut kekerasan yang mengandung unsur kriminalitas dalam bentuk ketidaksadaran dan pemaksaan yang dapat ditindak secara pidana. Oleh karena itu, dalam konteks kekerasan, negara jadi tidak memiliki kewenangan untuk menghukum hubungan seksual yang dilakukan ‘suka sama suka dan disengaja dengan persetujuan kedua belah pihak. Hal tersebut menjadi pilihan bebas setiap individu, yang kemudian dikenal sebagai ranah privasi bukan publik.

Oleh karena itu, ke depannya jika fraksi PKS merasa penting untuk dibuat aturan terkait seks bebas secara hukum hal tersebut dimungkinkan. Karena hukum bersifat resultante yaitu dapat terjadi dengan kesepakatan bersama. Sifat ini juga didukung secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J Ayat (2) bahwa Negara melalui secara otoritatif bisa membuat pembatasan-pembatasan berdasarkan pertimbangan moral, agama dan ketertiban umum. Itu artinya jika kekhawatiran terhadap seks bebas dapat dijelaskan urgensinya dari perspektif moral agama dan demi menjaga ketertiban umum, maka aturan tentang pelarangan seks bebas dapat diadakan dengan catatan merupakan kesepakatan bersama.

Referensi

Stefanie, Christie. “Syarat Rancangan Undang-Undang Masuk Daftar Prioritas”, CNN Indonesia, 10 Februari 2015, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150210201646-32-31156/syarat-rancangan-undang-undang-masuk-daftar-prioritas, diakses pada 15 Februari 2019.

Putri, Budiarti Utami. “Ketua DPR Targetkan RUU PKS Disahkan Sebelum Pemilu”, Tempo Nasional, 11 Februari 2019, https://nasional.tempo.co/read/1174618/ketua-dpr-targetkan-ruu-pks-disahkan-sebelum-pemilu/full&view=ok.

Diakses pada tanggal 14 Februari 2019 Sumber Gambar: https://www.matamatapolitik.com/in-depth-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-hadapi-oposisi-agama/

Tentang Penulis:

Maulida Illiyani, merupakan seorang peneliti di Kelompok Kajian Hukum Dan Masyarakat di Pusat Penelitian Masyarakat Budaya-LIPI. Beberapa publikasi hasil penelitian yang dihasilkan antara lain; Hak Belajar Napi anak di LP Kutoarjo, Over Capacity melanggar Hak Napi di LP Cipinang, Penetapan Desa Adat berdasarkan UU Desa sebagi langkah pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat, Hak atas kebudayaan (Sultan Ground di Yogyakarta). Pernah bergabung dalam Tim penelitian kerjasama antara LIPI dengan Aliansi Petani Indonesia (API) dengan judul “Dari Petani Lokal ke Pasar Global (Model Usahatani Beras Organik di Boyolali dan Tasikmalaya”. Saat ini sedang bergabung dalam tim penelitian Pemenuhan Hak Atas Kesehatan di Kota Yogyakarta dan Tim Penelitian Prioritas Nasional terkait pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Email maulidailliyani@gmail.com