[Masyarakat & Budaya, Volume 24, Nomor 23, December 2021]

Oleh Alfin Dwi Rahmawan (Konsultan The Fitri Center)

Kekerasan atau pelecehan seksual merupakan perilaku terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya secara verbal maupun fisik yang merujuk kepada seks (Sujadmi, Febriani & Herdiyanti, 2018). Perilaku pelecehan seksual di Indonesia diibaratkan seperti fenomena gunung es.  Banyak kasus yang tidak terkuak dan mencuat ke publik, khususnya kasus pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki. Kasus pelecehan yang melibatkan korban laki-laki bukannya tidak ada. Kasus seperti ini jarang muncul ke publik dan juga tidak berproses secara hukum. Penyebabnya, masih banyak anggapan yang menganggap bahwa laki-laki tidak mungkin mendapatkan perilaku seperti pelecehan seksual karena dianggap lebih kuat daripada perempuan (rainn.org).

Salah satu contoh tindakan pelecehan seksual terhadap laki-laki yang sempat menarik perhatian nasional adalah kasus pelecehan seksual terhadap pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pada awal bulan September 2021 viral sebuah utas yang dibuat oleh MS, pegawai KPI. Utas tersebut menceritakan tentang pelecehan seksual yang dialami MS pada tahun 2015 di tempat korban bekerja. Contoh lain adalah penyambutan meriah terhadap Saipul Jamil, mantan narapidana pelecehan seksual terhadap anak, yang baru keluar dari penjara. Tak hanya itu, ia pun mendapatkan tawaran tampil di stasiun televisi Indonesia.

Dari kasus MS dan Saipul Jamil, memperlihatkan adanya framing yang mengganjal terkait perlakuan masyarakat, lembaga, dan media terhadap pelaku dan korban tindakan pelecehan seksual. Dalam kasus MS misalnya, saat MS melapor ke polisi tentang kasus pelecehan yang ia alami, pihak kepolisian hanya memberikan saran agar MS melapor ke atasannya sehingga dapat ditindaklanjuti secara internal. MS kembali melapor pada tahun 2020, namun hasilnya nihil (Tempo, 2021).

Selain itu, pengacara terduga pelaku menyatakan bahwa perundungan yang dialami MS masih dilakukan dalam tahap wajar, MS pun dianggap terlalu bawa perasaan atau baper (Kompas, 2021). Dari pernyataan ini kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah ada sebuah tindakan perundungan yang wajar? Pernyataan yang ditampilkan di media yang kemudian dilihat oleh banyak orang tentu memunculkan kemarahan publik.

Di Indonesia payung hukum untuk menangani kasus pelecehan seksual memang sudah ada untuk menjerat pelaku. Hal ini dijelaskan pada pasal 285 KUHP  yang menyebutkan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memerkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.” Dan untuk menjerat kasus yang menimpa korban laki-laki hanya bisa digunakan dengan pasal 289 KUHP yang “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”. Di dalam pasal 285 KUHP sejatinya pengertian perkosaan hanya membatasi kejahatan perkosaan yang hanya bisa terjadi oleh laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya.  Sehingga, perkosaan oleh perempuan kepada laki-laki atau sesama jenis (perempuan kepeda perempuan dan laki-laki kepada laki-laki) dikeluarkan dari pengertian perkosaan (Republika.co.id). Sedangkan di dalam pasal 289 KUHP pengertian perkosaan atau pelecehan seksual tidak dikaitkan, dan hanya dianggap sebagai tindakan cabul dan melanggar norma kesopanan saja.

Oleh Karena itu, dari kasus dugaan pelecehan yang dilakukan di KPI memperlihatkan bahwa Indonesia masih perlu legalitas hukum yang khusus membahas kekerasan dan pelecehan seksual. Seperti pentingnya pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) yang khusus mengatur tindak pidana pelecehan seksual, baik secara fisik maupun non fisik. Kemudian jika ini dilakukan tentu setiap lembaga, kementerian, badan publik atau perusahaan-perusahaan kerja memiliki sebuah payung hukum untuk membuat suatu SOP mengenai penanganan dan pencegahan tindak kekerasan seksual di dalam dunia kerja. Kalaupun RUU ini tidak tetap disahkan dan tetap berpatokan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perkosaan menjelaskan hanya mengenal perbuatan laki-laki yang memaksa perempuan bersetubuh dengan kekerasan dan ancaman saja. Sedangkan laki-laki terutama laki-laki dewasa korban perkosaan atau pelecehan seksual tidak memiliki akses keadilan, serta mengalami trauma yang besar karena pembuktian kasus yang cukup rumit (Nikodemus, 2021).

Kemudian ketika kita melihat kasus yang kedua, dimana pelaku tindakan pelecehan seksual Saipul Jamil yang disambut layaknya seperti pemenang. Euforia kebebasan yang disiarkan secara langsung di televisi ataupun di jejaring Youtube banyak disesalkan oleh masyarakat. Bagaimana tidak, seorang pelaku pelecehan seksual disambut dengan begitu meriah seolah-olah menggambarkan Saipul Jamil menjadi seorang yang teraniaya yang baru saja keluar dari penderitaan dan kemudian memperoleh sebuah kemenangan. Glorifikasi penayangan tersebut dinilai tidak layak untuk ditampilkan, mengingat tindakan yang dilakukan oleh Saipul Jamil ialah pelecehan seksual apalagi pelecehan seksual terhdap anak laki-laki.

Pandangan masyarakat terhadap pelecehan seksual hingga saat ini masih dirasa sempit. Tidak hanya korban laki-laki, korban perempuan pun masih disalahkan dan mendapatkan stigma negatif walaupun sudah berstatus menjadi korban. Kalau biasanya korban perempuan selalu dikaitkan dengan gaya berpakaian yang mengundang nafsu sedangkan laki-laki dihadapkan dengan konteks maskulinitas. Seringkali ketika pelecehan seksual yang dilakukan oleh laki-laki kepada laki-laki akan membuat korban terganggu secara identitas sosial karena kegelisahan, apakah dirinya akan menjadi penyuka sesama jenis setelah menjadi korban pelecehan seksual oleh laki-laki?

Selain itu juga, pemikiran seperti ini mungkin juga dirasakan oleh masyarakat apakah perilaku pelecehan seksual sesama jenis ini melibatkan korban yang juga menyukai sesama jenis. Seperti kasus pelecehan yang dilakukan oleh Saipul Jamil, yang diungkapkan oleh salah satu selebriti di dalam story Instagram yang menyebutkan bahwa tindakan itu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Saipul Jamil, dan menyebutkan tindakan boikot Saipul Jamil terlalu berlebihan. Dia menilai bahwa kenapa korban yang berstatus sebagai penonton bayaran mau saja diajak ke rumah Saipul Jamil. Bahkan dia beranggapan bahwa bisa saja korban yang melapor itu penyuka sesama jenis seperti halnya Saipul Jamil, dan menilai perkara ini hanya karena tidak dibayar mahal oleh Saipul Jamil saja.

Tindakan pelecehan seksual dan juga orientasi seksual pada dasarnya tidak dapat disamakan. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian (Niko & Rahmawan, 2020) yang menyebutkan bahwa seksualitas adalah ranah privat yang tidak dapat menentukan seseorang mau menjadi orang baik atau orang jahat. Sedangkan kasus perkosaan atau pelecehan seksual merupakan tindak pidana yang sama sekali berbeda dengan seksualitas, dimana tindakan pelecehan seksual dan pemerkosaan ini terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang.  Bukan perihal orientasi seksual seseorang saja.

Pada realitasnya, selain perempuan pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja. Baik usia, Gender, ataupun orientasi seksual seseorang. Baik laki-laki, anak-anak, ataupun transgender yang menjadi korban dari tindakan pelecehan seksual tentu mengalami dampak yang sama seperti korban yang lainnya. Tetapi pandangan dan persepsi yang berbeda ketika yang menjadi korban ialah seorang laki-laki. Korban laki-laki dihadapkan oleh stereotip masyarakat terutama tentang laki-laki dan konsep maskulinitas. Laki-laki yang kemudian dihadapkan dengan pandangan maskulinitas akan merasa malu atau ragu untuk melapor atau berbicara ketika dirinya menjadi seorang korban pelecehan seksual. Padahal pelecehan seksual mungkin terjadi ketika ada relasi kuasa, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Di sisi korban, ada faktor ketidakpahaman mengenai apa saja yang termasuk pelecehan seksual, kemana harus mencari advokasi, serta adanya pemakluman terhadap tindakan ini dari berbagai level (Kirnandita, 2017).

Perilaku dari bebasnya pedangdut Saipul Jamil dan juga perilaku perundungan yang berujung kepada pelecehan seksual pada anggota KPI ini bukanlah perkara perilaku yang sembarangan. Ini lama kelamaan akan menjadi tindakan “pemakluman” dan menjadi hal yang biasa terhadap apa yang dirasakan oleh korban MS dan apa yang dilakukan oleh Saipul Jamil di khalayak setelah keluar menjadi pelaku tindakan pelecehan seksual. Penanganan hukum yang didapatkan oleh MS, framing media yang menyambut seorang pelaku pelecehan seksual, dan perlakuan masyarakat yang menyambut dengan semarak keluarnya Saipul Jamil merupakan bagian dari bukti sebuah supremasi patriarki atau dominasi pandangan patriarki yang masih cukup kental di dalam masyarakat kita. Kemudian jika dikaitkan dengan kasus KPI dan Saipul Jamil supremasi patriarki ini seperti menormalkan atau membiarkan kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki. Karena pada dasarnya pandangan dalam patriarki ialah laki-laki adalah sosok yang kuat, tidak mudah mengalami pelecehan seksual, dan jika pun terjadi maka laki-laki harus mampu menghadapinya sendiri.

Kita tahu bahwa patriarki ialah pandangan yang menempatkan bahwa laki-laki mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Patriarki merupakan bentuk kebudayaan di mana masyarakatnya menerapkan sistem yang menempatkan kaum laki-laki sebagai pemegang kekuasaan atau otoritas yang mendominasi berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial hingga aspek politik (Velopedia.com).  Patriarki pada umumnya seperti yang kita kenal menyebabkan kelompok perempuan menjadi kelompok yang tidak dapat bergerak secara bebas dan berperan aktif di dalam masyarakat. Tetapi ternyata patriarki juga dapat berdampak pada laki-laki. Sebab di dalam budaya patriarki laki-laki selalu ditempatkan sebagai kelompok yang kuat dan mendominasi, yang kemudian hal ini memberikan tuntutan yang besar terhadap kaum laki-laki. Sehingga ketika laki-laki tidak sesuai dengan pandangan masyarakat yang menganut budaya patriarki maka laki-laki itu diragukan maskulinitasnya, seperti halnya kasus KPI dan juga Saipul Jamil yang sudah dijelaskan di atas (Editor Al Araf Assadallah Marzuki).

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Arby, A Ivany. 2021. Saat Bullying di KPI Disebut Hal Biasa dan Pelecehan Seksual Dimungkiri. https://megapolitan.kompas.com/read/2021/09/07/12371361/saat-bullying-di-kpi-disebut-hal-biasa-dan-pelecehan-seksual-dimungkiri?page=all

Beritasatu.com. Menteri Bintang Puspayoga: Setop Tayangan Glorifikasi Pelaku Pelecehan Seksual. https://www.beritasatu.com/nasional/824021/menteri-bintang-puspayoga-setop-tayangan-glorifikasi-pelaku-pelecehan-seksual

Kirnandita, Patresia. (2017). Pelecehan Seksual Juga Dialami Laki-Laki. https://tirto.id/pelecehan-seksual-juga-dialami-laki-laki-czty  

Niko, Nikodemus. 2021. Tantangan Dalam Pengungkapan dan Penanganan Kasus Kejahatan Seksual Pada Setahun Pandemi COVID-19. The Conversation. https://theconversation.com/tantangan-dalam-pengungkapan-dan-penanganan-kasus-kejahatan-seksual-pada-setahun-pandemi-covid-19-159828

Niko, N. & Rahmawan, A. D. (2020) ‘SUPREMASI PATRIARKI: REAKSI MASYARAKAT INDONESIA DALAM MENYIKAPI NARASI SEKSUALITAS DAN PERKOSAAN KASUS REYNHARD SINAGA’, Jurnal Analisa Sosiologi.

Susetyo, Heru. 2016. Pria Korban Kejahatan Seksual. https://republika.co.id/berita/od864a/pria-korban-kejahatan-seksual.

Sexual Assault of Mens and Boys. https://www.rainn.org/articles/sexual-assault-men-and-boys.

Ramadhan, Fitra Moerat. 2021. Kronologi Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Pegawai KPI. https://grafis.tempo.co/read/2794/kronologi-dugaan-pelecehan-seksual-dan-perundungan-terhadap-pegawai-kpi

Sujadmi, L., & Herdiyanti. 2018. Upaya Pencegahan Sexual Violence Pada Remaja Sekolah di Merawang Kabupaten Bangka.  Jurnal Society. 6(2): 51-57.

Velo. 2021. Ketahui Apa Itu Patriarki dan Beberapa Contoh Stigma Negatifnya. https://id-velopedia.velo.com/ketahui-apa-itu-patriarki-dan-beberapa-contoh-stigma-negatifnya/

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Alfin Dwi Rahmawan adalah alumni Sosiologi Universitas Bangka Belitung dan peneliti independen. Selain itu, ia juga tergabung ke dalam lembaga kajian, konsultasi dan pemberdayaan sosial “The Fitri Center”. Fokus kajian Sosiologi Komunikasi & Media, Gender, dan Budaya Populer. Saat ini aktif sebagai Fasilitator Remaja BKKBN Kep. Bangka Belitung. Email: alfindwirahmawan98@gmail.com