[Masyarakat & Budaya, Volume 18, Nomor 11, Juni 2021]
Oleh Ach. Sudrajad Nurismawan (Konselor dan Mahasiswa Pascasarjana UNESA)
Sepanjang tahun 2020 tercatat kenaikan angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) di Indonesia secara signifikan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 turut pula menyumbang meningkatnya perkawinan anak di bawah umur, yang sebagian besar permohonan pengajuan dispensasi pernikahan terjadi lantaran beberapa faktor kemungkinan seperti dampak sosial dan ekonomi pandemi Covid-19, kehamilan di luar nikah, minimnya pemahaman remaja tentang hak seksual dan kesehatan reproduksi, hingga adanya kemungkinan penyalah gunaan informasi yang tidak komprehensif pada beberapa agama terkait seksualitas “Catatan Tahunan Komnas Perempuan” (2021).
Menarik untuk membahas fenomena perkawinan anak ini. Beberapa pertanyaan kerap terlontar di masyarakat ketika melihat pernikahan anak dibawah umur, diantaranya; Apakah dengan cara menikahkan, dapat menyelesaikan permasalahan yang menyertai?; Apakah dengan menikahkannya dengan orang yang ia cintai (pacar) atau bahkan dengan orang lain melalui perjodohan lantas hidupnya akan bahagia?; Bagaimana dengan resiko-resiko yang mungkin terjadi pada anak yang mengalami pernikahan dini seperti kekerasan seksual, masalah psikologis, meningkatnya resiko pada kehamilan, termasuk resiko tingkat sosial-ekonomi yang rendah?. Barangkali pertanyaan-pertanyaan di atas adalah wujud kegelisahan penulis dan mungkin juga sebagian publik yang menaruh perhatian pada isu-isu remaja.
Beberapa waktu lalu, perhatian publik di Indonesia dibuat tercengang dengan hadirnya sebuah sinetron bertema poligami pada salah satu televisi swasta, yang kemudian viral di media sosial, lantaran menjadikan remaja perempuan berusia 15 tahun sebagai salah satu pemeran istri ketiga dalam sinetron tersebut. Selain memicu kecaman publik perihal perkawinan anak, hal itu juga menurut Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dinilai sebagai bentuk romantisme perkawinan anak serta penormalan terhadap eksploitasi anak dari keluarga miskin ke dalam perkawinan (Arnani, 2020).
Lonjakan Perkawinan Anak
Sulit dipungkiri badai pandemi Covid-19 selama satu tahun lebih telah banyak memporak-porandakan kehidupan masyarakat Indonesia secara seratus delapan puluh derajat: PHK besar-besaran, lesunya daya beli masyarakat, hingga tingginya angka perceraian dan kekerasan pada perempuan menjadi perhatian serius bagi para pengambil kebijakan dan komunitas pemberdayaan perempuan dan anak seperti Komnas Perempuan.
Saat hari Perempuan Internasional bulan Maret lalu, Komnas Perempuan sendiri merilis Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 yang merangkum data terkait kekerasan terhadap perempuan. Mulai dari lonjakan angka kekerasan seksual, kekerasan Siber, perkawinan anak hingga keterbatasan penanganan di tengah pandemi Covid-19.
Melihat data CATAHU (2020) kasus perkawinan anak selama masa pandemi Covid-19 sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Peradilan Agama MA RI, CATAHU (2020) Komnas Perempuan mencatat bahwa telah terjadi lonjakan sebesar tiga kali lipat dari 23.126 kasus dispensasi pernikahan (perkawinan anak) di tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus di tahun 2020. Masih menurut CATAHU (2020) pemberian dispensasi pernikahan (perkawinan anak) kebanyakan karena adanya “situasi mendesak” semisal: anak perempuan telah hamil di luar nikah, anggapan orangtua bahwa anak beresiko melanggar norma agama dan sosial, atau untuk menghindari zina termasuk ketika anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Meski demikian, dari ketiga alasan di atas dua di antaranya justru datang anggapan orangtua sendiri.
Kemudian, merujuk pada laporan terbaru hasil kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA), “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” (2020). Bahwa kemiskinan (ekonomi) memang menjadi faktor pendorong praktik perkawinan anak, namun bukan faktor utama atau faktor satu-satunya, perkawinan anak erat kaitannya dengan berbagai faktor yang bersifat struktural maupun yang berasal dari keluarga, komunitas, ataupun kapasitas individual.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua remaja perempuan di Indonesia memiliki keinginan untuk segera menikah apalagi menikah secara dini. Tekadang keinginan untuk segera menikah secara dini sebagian besar datang dari para orangtua, para orangtua beranggapan dengan menjodohkan anak perempuan mereka dengan laki-laki yang mereka anggap memiliki sumber daya lebih (harta, kekuasaan) nasib anak mereka akan terjamin dan beban keluarga akan semakin berkurang, lebih-lebih di masa pandemi yang sulit ini. Selain alasan klasik tersebut, masih banyak orangtua yang memiliki anggapan menikahkan anak di bawah umur juga bisa menghindarkan dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma di masyarakat.
Alih-alih menemani dan memberikan edukasi seputar sex education dan seluk-beluk pernikahan beserta resiko-resikonya, orangtua justru mengambil jalan pintas dengan langsung menikahkan anaknya yang masih di bawah umur tanpa menimbang efek jangka panjang bagi anaknya. Di mana secara kesiapan mental, emosi, pengetahuan, dan kesehatan jauh dari kata siap untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga bersama orang lain. Alhasil dampak yang paling kentara dari pernikahan dini bagi anak adalah anak menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban KDRT dan juga pupusnya harapan seorang anak untuk memperoleh akses penghidupan secara layak baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan.
Mengubah Pola Pikir
Salah satu agenda penting dari lima rekomendasi yang disarankan oleh BPS, Bappenas, UNICEF, dan PUSKAPA (2020) serta harus segera dilaksanakan guna mereduksi angka kenaikan perkawinan anak belakangan ini adalah mengubah pola pikir mengenai dan perlindungan akses anak pada hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR).
Selama ini, dalam hal sosialisasi dan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi pada anak masih banyak bertumpu pada lembaga pemerintah atau komunitas pemberdayaan perempuan dan anak, sedangkan dari pihak lingkungan terdekat anak seperti sekolah hampir abai dalam urusan ini. Padahal sekolah adalah pihak yang paling strategis untuk menyelenggarakan edukasi serta konseling bersama antara siswa, guru, dan para orangtua agar nantinya perkawinan anak tidak sampai terjadi. Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Ethiopia, kehadiran pihak sekolah untuk terjun membantu melalui konseling bersama orangtua berpengaruh dalam mencegah terjadinya perkawinan anak di bawah umur (Ontiveros, 2021).
Apapun bentuknya, perjodohan ataupun menikahkan anak di bawah umur dengan dalih ekonomi atau agama bukanlah sebuah keputusan yang tepat melainkan gegabah. Sebab, menikahkan anak di bawah umur secara paksa sama saja dengan merampas hak-hak dan masa depan seorang anak agar mampu tumbuh menjadi pribadi yang luhur (Editor Hidayatullah Rabbani).
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Arnani, M. 2020. Komnas Perempuan: Penayangan Sinetron Zahra Seharusnya Dihentikan, Bukan Ganti Pemain. https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/03/113700365/komnas-perempuan-penayangan-sinetron-zahra-seharusnya-dihentikan-bukan?page=all, diakses pada 4 Juni 2021.
Komnas Perempuan. 2021. “Perempuan dalam himpitan pandemi: Lonjakan kekerasan Seksual, kekerasan Siber, perkawinan anak, dan keterbatasan penanganan di tengah COVID-19.” CATAHU: Catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan.
Ontiveros, E. 2021. Covid-19: Pernikahan anak melonjak selama pandemi, ‘Keluarga memaksaku menikah pada usia 14 tahun’. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56316997, diakses pada 13 Juni 2021.
UNICEF. 2020. “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda”. https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/Child-Marriage-Report-2020.pdf, diakses pada 13 Juni 2021.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
_______________________________________
Tentang Penulis
Ach. Sudrajad Nurismawan adalah seorang Konselor Pendidikan dan Mahasiswa Pascasarjana UNESA. Penulis dapat dihubungi melalui email achsudrajadnurismawan@gmail.com.
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.06.08“Jelita Di Tengah Bara”: Meneroka Inovasi Konservasi Sosial Ekonomi Anggrek Endemik Vanda tricolor Di Kawasan Gunung Merapi
Berita2023.06.08BRIN – Populix Jalin Kerja Sama Riset Budaya Ilmiah Pada Generasi Milenial dan Gen Z
Call for Paper2023.06.06CALL FOR PAPERS INTERNATIONAL FORUM ON SPICE ROUTE (IFSR) 2023
Artikel2023.05.04Re-Rekognisi Mitos Maskulinitas (yang) Mahal Dalam Uang Panai’