Sejarah Revolusi Indonesia dipenuhi penggambaran perang revolusi sebagai perang nasionalistis. Dalam spirit keagamaan inilah, kaum Muslim taat yang jumlahnya hampir separuh populasi berperang. Mereka teryakinkan dengan seruan jihad dari ulama dan kiai bahwa mereka sedang menjalankan perang sabil melawan kaum kafir penjajah, jelas Kevin W. Fogg, dalam Forum Diskusi Budaya (FDB) seri-3, yang diselenggarakan daring oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB)- LIPI dengan tajuk ‘Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia’, pada Senin (30/11).
Dalam kajian islam ini, Kevin meninjau ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai perjuangan umat Islam. Namun di kancah politik, para pemimpin nasional mengesampingkan unsur Islam ketika mereka merumuskan dokumen-dokumen pendirian Indonesia. “Studi tentang perang anti-penjajah negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini menunjukkan bagaimana Islam berfungsi sebagai ideologi revolusi pada era modern,” sebut Kevin. Kemudian, dirinya mengatakan, ada tiga pertanyaan besar dalam kajian islam ini: (i). Bagaimana kaum santri mengalami revolusi Indonesia merdeka; (ii). Bagaimana sumbangan kaum santri terhadap revolusi; (iii). Bagaimana dampak revolusi atas praktik Islam di Indonesia.
Kevin mengatakan, Revolusi Indonesia merdeka adalah revolusi Islami. Kaum Santri (Muslim yang taat) memahami perjuangan mereka dari akar rumput sebagai perjuangan Islam. “Perjuangan ini tergambar dalam fatwa ulama mendukung revolusi saat itu, salah satunya, Nahdatul Ulama (NU) di Jawa Timur, pada tanggal 22 Oktober yang sekarang dijadikan hari Santri oleh Pemerintah,” terangnya. “Fatwa itu pada intinya menyerukan bahwa setiap kamu muslimin yang berada di Indonesia wajib (Fardhu Ain) ikut dalam perang jika Belanda sudah masuk ke daerahnya masing-masing. Dan Fatwa- seperti ini juga terlihat dari fatwa imam atau Syeh setempat yang banyak muncul di sejumlah wilayah di Indonesia,” tambahnya.
Dijelaskan, kaum Muslim juga membentuk organisasi di tingkat akar rumput yang bernuasa Islami. Pada umumnya dibawah kepemimpinan Ulama. Di tingkat lokal umumnya ulama yang diangkat sebagai kepala desa salah satu contoh, wali Nagari di Sumatera, pada masa revolusi 1947 ada 75% ulama yang menjadi kepala Nagari. “Terlihat adanya keinginan masyarakat ada kepemimpinan dari ulama,” jelasnya.
“Tak hanya itu ulama juga didaulat untuk menjadi pimpinan militer-militer dan laskar-laskar lokal. Tak mau kalah dengan kaum muslimin, kaum muslimatpun terlibat aktif dalam perjuangan. Sepertinya membuat dapur umum, petugas kesehatan dan terkadang bahkan dalam pertempuran,” tambah Kevin lagi.
Selanjutnya, dari kajian ini juga dijelaskan adanya gab dari revolusi Islam antara akar rumput dan di tingkat elit waktu itu. “Pemisahan ulama dari politik dan munculnya politikus islam yang baru dari non ulama, dan Organisasi massa Islam kian berpengaruh juga mewarnai revolusi ini,” rinci Kevin. Kajian sisi lainnya, juga mengajak untuk memikirkan kembali hubungan antara kesalehan dan revolusi, sebuah tema yang tetap penting dalam lanskap politik Indonesia. “Revolusi berdampak pada politik Islam, sama halnya dengan Islam berdampak pada Revolusi,” tutup Kevin. (swa/ed:mtr)
_________________________
*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
*) Ilustrasi: moneyonefcu
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya Artikel2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat Artikel2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam