Oleh: Hidayatullah Rabbani (Peneliti PMB-LIPI)
Tamasya berkaitan erat dengan kegiatan pariwisata[1] yaitu aktivitas perjalanan dan mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lain untuk menikmati pemandangan, keindahan alam, dan sebagainya. Aktivitas tamasya atau pariwisata di Indonesia bermula pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat Indonesia masih menggunakan nama Hindia Belanda dan di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Perkembangan awal pariwisata di Hindia Belanda dimulai saat terjadinya pergeseran istilah yang digunakan untuk konsep pariwisata pada masa itu, perubahan istilah vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) ke toeristenverkeer (lalu lintas wisatawan) di Belanda dan Hindia Belanda. Pergeseran istilah ini menunjukkan awal berkembangnya pariwisata modern di Hindia Belanda (Sunjayadi, 2017; 2018; 2019).
Pada akhir abad ke-19 kegiatan tamasya di Hindia Belanda yang diatur masih dalam bentuk awal. Kegiatan pariwisata yang berkaitan dengan kegiatan perjalanan masih terbatas dilakukan oleh kalangan masyarakat tertentu yaitu para bangsawan pribumi, pejabat pemerintah serta pegawai perkebunan Belanda. Hal ini disebabkan oleh biaya transportasi yang mahal serta ada aturan surat izin khusus ketika bepergian ke wilayah pedalaman.
Keterangan: Pembangunan Infrastruktur di Hindia Belanda pada abad ke-19 hingga 20 oleh pemerintah Kolonial Belanda menjadi salah satu faktor penting yang mendukung lahirnya aktivitas pariwisata di Hindia Belanda. Terlihat pada gambar diatas adalah sebuah trem milik Joana Stoomtram Maatschappij, Semarang tahun 1915.
Sumber foto: Atelier Kurkdjian (di unduh dari akun ig: @fotojadoel)
Pada masa itu, Hindia Belanda tidak kalah dengan negeri-negeri sekitarnya seperti Singapura, Malaya, dan Federation de I’Indochine dalam hal sarana infrastruktur. Pembangunan sarana infrastruktur di Hindia Belanda merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di koloninya. Keberadaan sarana infrastruktur yang sebenarnya bukan ditujukan untuk mendukung pariwisata tetapi untuk tujuan lain, misalnya pembangunan jalur kereta api, jalan raya, pelabuhan, pos, saluran telegraf untuk komunikasi dan akomodasi berupa hotel dan pesangrahan (Kartodirdjo, 2018; Sunjayadi, 2017). Ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai pada akhir abad XIX adalah faktor penting yang mendukung bagi embrio pariwisata modern Hindia Belanda. Ketersediaan infrastruktur ini memudahkan vremdelingenverkeer atau petualang-petualang asing dari Eropa mengeksplorasi alam Hindia Belanda.
Objek-objek yang dikunjungi oleh petualang asing masih sangat terbatas karena harus ada izin khusus. Pembatasan ini berkaitan dengan peraturan pemerintah bagi vreemdelingen (orang asing), mereka harus mendapatkan toelatingskaart (surat izin) untuk memasuki wilayah-wilayah tertentu di Hindia, seperti Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, sebagian Sumatra dan Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Aturan ini mulai ada sejak tahun 1836 (Lombard, 1996). Kelak, hal ini tampak menjadi dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi, pemerintah Hindia Belanda ingin menunjukkan bahwa wilayah kekuasaan mereka layak dikunjungi. Di sisi lain, mereka melakukan pembatasan untuk orang asing terhadap wilayah tertentu.
Para pelancong datang dan berkunjung ke Hindia Belanda, lalu menuliskan kesan mereka dalam catatan perjalanan para pelancong yang kebanyakan berasal dari Eropa dan Amerika. ini dianggap sebagai vreemdelingen (orang asing) oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 diketahui wilayah mana saja yang dikunjungi dan objek-objek yang dilihat seperti yang terlihat dalam penelitian Sunjayadi (2019):
“Wilayah-wilayah itu kemudian dicatat, dibukukan, dan menjadi pegangan petualang berikutnya yang datang ke Hindia Belanda. Catatan-catatan itu juga dihimpun dan disusun kembali menjadi buku panduan wisata oleh jurnalis, praktisi perhotelan, dan pemerintah,”
Keterangan: Hotel Tosari dan Villa Maria di Tosari Tengger, Jawa Timur, Tahun 1902.
Sumber foto: Nationaal Archief – O. Kurkdjian (di unduh dari akun Instagram @potolawas)
Di Pulau Jawa, para pelancong mengunjungi Batavia, Buitenzorg, Priangan, Vorstenlanden (Yogyakarta, Surakarta), dan Tosari. Di Sumatera, mereka mengunjungi Pantai Barat dan Pantai Timur. Wilayah lain yang dikunjungi adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok) dan Kepulauan Maluku. Namun, kunjungan ke wilayah-wilayah Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku hanya dilakukan oleh para naturalis. Dari wilayah yang dikunjung para pelancong dapat diketahui ada dua pintu masuk ke Hindia Belanda di Pulau Jawa yaitu Batavia dan Surabaya. Objek-objek yang diamati dan dinikmati adalah kekayaan alam dan keragaman budaya. Kekayaan alam seperti pemandangan (bentang alam), gunung, air terjun, danau, dan sumber air panas. Selain itu, keragaman budaya berupa peninggalan kuno berupa candi, keraton, dan tempat ibadah seperti kelenteng, masjid, gereja, serta area permukiman, tarian, upacara agama, dan adat istiadat (Lombard, 1996; Sunjayadi, 2019). Wilayah dan objek tersebut dicatat, dimasukkan dalam catatan perjalanan dan menjadi pegangan para pelancong berikutnya yang datang ke Hindia. Informasi itu direproduksi sebagai tanda persetujuan sehingga semakin memperkuat apa yang telah dilihat oleh para pendahulu mereka (Vickers, 2011).
Keterangan: Pemandangan Kota Batoe dari Kolam renang Selecta di lereng Gunung Ardjoena, Jawa Timur, sekitar tahun 1934.
Sumber foto: KITLV-Studio Malang (di unduh dari akun Instagram @potolawas)
Wilayah-wilayah serta objek-objek di Hindia Belanda dalam buku catatan perjalanan periode pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dari para pelancong. Buku catatan tersebut kemudian dikukuhkan dalam sebuah buku panduan atau buku pedoman yang disusun oleh individu, perusahaan swasta, pemerintah. Buku panduan atau buku pedoman tersebut menjadi buku pegangan yang harus di ketahui dan dibaca oleh para wisatawan sebelum mereka berkunjung ke Hindia. Selain informasi tentang wilayah dan objek, buku pedoman juga memuat tata cara dan kebiasaan hidup di Hindia Belanda misalnya dalam bidang kuliner yaitu rijsttafel atau penyajian makanan khas Nusantara ala orang Belanda (Rahman, 2011). Para wisatawan diarahkan dan disarankan untuk mengunjungi wilayah serta objek yang telah dijamin keamanannya oleh pemerintah.
Menurut Sunjayadi (2019), pariwisata di Hindia Belanda mendapat dukungan secara inisiatif dari bawah yaitu masyarakat mengenai kegiatan pariwisata yang “diatur”, yang kemudian mendapatkan perhatian dari pemerintah. Beberapa kalangan masyarakat, pihak swasta, dan pemerintah melihat ada kebutuhan terkait kegiatan pariwisata, terutama upaya menarik veemdelingenverkeer (wisatawan asing) ke Hindia. Pihak swasta serta pemerintah kemudian bersama-sama ikut terlibat dalam persiapan pembentukan organisasi yang mengatur kegiatan pariwisata. Suatu bidang yang berhubungan dengan sektor jasa. Padahal selama ini pemerintah mengutamakan sektor perkebunan dan pertambangan sebagai sumber pemasukan.
Pemerintah Hindia Belanda pada 13 April 1908 berdasarkan keputusan No. 9, meresmikan Veeniging Toeristenverkeer (VTV) suatu perhimpunan yang mengatur kegiatan pariwisata di Hindia Belanda resmi didirikan di Batavia. Organisasi ini meniru Kihinkai (Welcome Society) atau perhimpunan pariwisata yang mengatur kegiatan pariwisata dan dibentuk pada 1893 di Jepang. Kihinkai didukung dan didanai dari sumbangan perusahaan kereta api dan perusahaan pelayaran swasta dari para pemilik hotel dan penginapan. Ada kemiripan struktur organisasi Kihinkai dengan VTV, khususnva dalam bentuk perhimpunan yang terdiri dari para pengusaha serta inisiatif pihak swasta dalam kegiatan pariwisata (Sunjayadi, 2017). Para anggota VTV terdiri dari pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, perbankan.
Dalam perkembangan berikut, di berbagai kota di Jawa dan Sumatra muncul berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal. Secara kronologis, organisasi-organisasi tersebut didirikan pada periode 1916-1937 di Padang, Bandung, Garut, Semarang, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavía. Semua perhimpunan lokal tersebut salah tujuannya untuk mensejahterakan warganya melalui kegiatan pariwisata. Selain itu terdapat pula organisasi-organisasi di kalangan masyarakat dan swasta (asosiasi sukarela dan profesi) yang mendukung kegiatan pariwisata VTV. Organisasi-organisasi itu adalah Koninklijke Java Motor Club yang disingkat menjadi JMC (didirikan pada 1906 dengan nama Soerabajasche Motor Club) dan Algemeene Bond Hotelhouders in Nederlandsch-Indië (ABHINI)- Ikatan Pemilik Hotel Hindia Belanda yang berdiri pada 1925. Dari peran berbagai pihak sebagai penggerak kegiatan pariwisata tersebut dapat diketahui struktur pariwisata di Hindia Belanda dalam kurun waktu 1908-1942.
Para pelaku yang berperan dan sebagai penggerak pariwisata di Hindia Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh intelektual, dan media massa yang membentuk organisasi sukarela di daerah. Pihak swasta terdiri atas para pengusaha yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata, misalnya para pemilik hotel, para direktur dan agen perusahaan pelayaran dan kereta api. Mereka ikut duduk dalam kepengurusan VTV atau menjadi perwakilan VTV di luar negeri (terutama perusahaan pelayaran). Sedangkan pihak pemerintah terdiri atas pemerintah pusat, provinsi dan kota. Khusus pemerintah pusat, mereka ikut berperan-serta sebagai wakil pemerintah dalam VTV. Sedangkan di tingkat provinsi (daerah) ada yang ikut menjadi wakil VTV di daerah atau menjadi anggota perhimpunan pariwisata lokal (Sunjayadi, 2019).
Keterlibatan pemerintah dalam kepengurusan VTV memperlihatkan kontrol pemerintah terhadap kegiatan pariwisata di Hindia. Dari penelusuran data, hal yang banyak ditemukan adalah permohonan subsidi dan promosi oleh VTV. Permohonan subsidi yang diajukan oleh VTV kepada pemerintah terkait dengan kegiatan mereka yaitu promosi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kegiatan promosi merupakan salah satu tujuan dari VTV. Adapun sasaran promosi, pada awalnya adalah para warga asing (wisatawan asing) dan bersifat massal. Para wisatawan yang disasar adalah wisatawan yang memiliki tujuan bersenang-senang (Sunjayadi, 2017; 2019).
Kegiatan promosi yang dilakukan VTV menggunakan berbagai barang cetakan sebagai bahan promosi, seperti peta, buku panduan, brosur, foto, majalah, dan poster. Media lain yang digunakan adalah film dokumenter. Mereka juga berperan-serta dalam pameran dan kongres, baik di dalam maupun luar negeri. VTV juga melibatkan berbagai pihak, di dalam dan di luar negeri dalam kegiatan promosi pariwisata. Selain memanfaatkan kantor cabang di daerah dan luar negeri, mereka bekerjasama dengan organisasi lokal, agen perjalanan, perusahaan pelayaran, dan perusahaan kereta api. Bahkan, kerjasama dengan konsulat-konsulat di luar negeri juga dijalin. Ada pihak lain yang juga melakukan promosi yaitu perusahaan pelayaran (KPM, SMN, Rotterdamsche Lloyd), perusahaan kereta api Staatsspoorwegen (SS), serta organisasi masyarakat lokal. Selain mempromosikan jasa perusahaan, mereka juga mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda (Sunjayadi, 2017).
Keterangan: Poster ini menampilkan keidahan panorama serta tradisi Jawa. Jawa disebut sebagai “Garden of The East”. Poster ini dibuat oleh Koninlijke Paketvaart Maatsscappij (K.P.M), sebuah perusahaan pelayaran yang beroperasi di Hindia Belanda.
Objek yang digunakan dalam bahan promosi pariwisata mulai dari buku panduan wisata, brosur, foto, kartu pos, majalah, poster, film hingga pameran banyak mengandung unsur kekayaan alam dan keragaman budaya di Hindia. Hal menarik adalah sasaran promosi tidak hanya berpengaruh pada wisatawan asing. Promosi juga berpengaruh pada masyarakat bumiputera yang sebenarnya bukan sasaran promosi. Mereka turut menikmati keindahan alam negeri sendiri dengan cara yang diajarkan oleh pemerintah, salah satunya melalui buku panduan wisata (Sunjayadi 2017; 2019).
Aktivitas promosi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda berhasil menjaring banyak wisatawan dari kalangan yang berbahasa Inggris (terutama wisatawan Amerika). Ironisnya, jumlah wisatawan asal Belanda yang tertarik datang berjumlah sedikit. Bahkan, mereka cenderung tidak perduli, meskipun promosi sudah dilakukan, mereka yang tertarik untuk mengunjungi Hindia adalah mereka memiliki hubungan dengan Hindia (lahir, pernah bekerja, memiliki keluarga) (Sunjayadi, 2019).
Keberhasilan pemerintah dalam menjaring wisatawan asing tak lepas dari posisi Hindia Belanda di jaringan pelayaran internasional. Hal tersebut mendukung posisi Hindia Belanda dalam kegiatan pariwisata internasional. Hindia Belanda merupakan salah satu wilayah yang dilalui oleh jalur pelayaran internasional, baik dari Eropa, China, Jepang, maupun dari Amerika dan Australia. Hal ini yang mendukung promosí pariwisata Hindia Belanda. Bahkan, sebelum VTV dibentuk pada 1908, sudah dijalin komunikasi dengan biro perjalanan Inggris bertaraf internasional seperti Thomas Cook dan biro perjalanan pertama di Belanda seperti Lissone & Zoon. Setelah VTV dibentuk, dijalin hubungan dengan Internationales Öffentliches Verkehrsbureau di Berlin dan Centraal Bureau voor Vreemdelingenverkeer di Den Haag. Kerjasama juga dilakukan dengan perusahaan-perusahaan pelayaran KPM, Java-Australia lijn (Jalur Jawa-Australia) dan Java-China-Japan lijn (Jalur Jawa-China-Jepang) (Sunjayadi 2019).
Ketika periode masuknya pemerintah Pendudukan Jepang tahun 1942. Kegiatan pariwisata di Hindia Belanda sempat terhenti karena banyak infrastruktur penunjang pariwisata hancur dan ada yang digunakan untuk kepentingan militer Jepang. Aktivitas pariwisata di Hindia Belanda mulai bergeliat kembali setelah perang kemerdekaan berakhir dan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda menjadi wilayah Republik Indonesia dewasa ini (Editor Ranny Rastati).
[1] Istilah pariwisata baru digunakan pada tahun 1961 untuk menggantikan istilah tourisme, atas permintaan Presiden Soekarno dalam Musyawarah Nasional Tourisme II di Tretes (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990).
Referensi
Cribb, Robert. 1995. “International Tourism in Java 1900-1930”. South East Asia Research, 3.2, hlm. 193-204.
Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sunjayadi, R. A. 2017. Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeer: Dinamika Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942. Disertasi. Jurusan Ilmu Sejarah FIB UI. Depok.
_______________. 2017. “Come to Holland”: Promosi Pariwisata Belanda Bagi Hindia Belanda dan Indonesia. Jurnal Kajian Wilayah PSDR-LIPI, 8 (1), 17-32.
_______________. 2018. “Dari Turisme ke Pariwisata: Melacak jejak Turisme di Indonesia”. Melancong: Jurnal Perjalanan Wisata, Destinasi, dan Hospitalitas, 1 (1), 1-23.
_______________. 2019. Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942). Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient. Jakarta
Kartodirdjo, Sartono. 2018. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional (Jilid 2). Penerbit Ombak. Yogyakarta.
Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Insan Madani. Yogyakarta.
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya. Batas-Batas Pembaratan (Jilid 1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/06/30/ternyata-promosi-wisata-indonesia-sudah-ada-sejak-jaman-kolonial-ini-poster-posternya
TENTANG PENULIS
Hidayatullah Rabbani, Peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-LIPI. Saat ini sedang menyelesaikan program pascasarjana di bidang Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia dapat dihubungi melalui email: hidayatullahrabbani@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya
Artikel2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam
Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Artikel2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam