[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 23, Maret 2022]
Oleh Ach. Sudrajad Nurismawan (Konselor dan Mahasiswa Pascasarjana UNESA) & Findivia Egga Fahruni (Mahasiswa Pascasarjana UNESA)
Idealnya, sebuah lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren dan sekolah berasrama merupakan tempat terbaik dalam mendidik anak untuk menjadi pribadi yang utuh dan memiliki karakter yang baik. Melalui serangkaian pendampingan dan pemantauan yang berlangsung hampir sepanjang hari, para santri banyak dibekali pengetahuan baik tentang agama, umum, hingga kecakapan hidup agar nantinya berpeluang menjadi lulusan yang mampu berkontribusi aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan melihat fakta tersebut, keputusan orang tua untuk memondokkan anaknya tentunya sudah tidak salah.
Pada beberapa hari belakangan ini baik pesantren ataupun sekolah berasrama cukup mendapat sentimen negatif dari masyarakat lantaran isu kekerasan seksual yang dilakukan oleh segelintir oknum (CNN Indonesia, 2021). Deretan kejadian yang tidak mengenakkan tersebut tentu saja berimplikasi pada pupusnya harapan para orang tua untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Belum lagi dengan dampak-dampak psikologi yang nantinya akan menghantui korban sepanjang hidupnya (Yohania, 2014). Oleh karenanya, menggagas sistem manajemen pesantren dan sekolah berasrama yang peka terhadap gender merupakan agenda mendesak untuk direalisasikan saat ini, mengingat pemahaman santri terhadap isu gender seperti hak-hak untuk mendapat perlindungan, peran aktualisasi, relasi yang setara serta bentuk-bentuk kekerasan seksual masih minim dan belum merata di pesantren.
Adanya masalah kasus kekerasan seksual di dalam pesantren belakangan, pastinya tak lepas dari relasi kuasa yang berakar pada budaya patron-klien, sebuah pola pola hubungan yang tidak sederajat dari dua kelompok atau individu. Hubungan yang timpang ini terjadi baik dari segi kekuasaan, status, ataupun penghasilan sehingga menempatkan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi dan klien dalam kedudukan lebih rendah (Scott, 1983), yang mana sering dimanfaatkan oleh sejumlah oknum tak bertanggung jawab. Lebih lanjut, jika kita cermati budaya patron-klien antara kiai/ustaz pengajar dengan para santri sangatlah lazim terjadi di pesantren, hal tersebut terwujud dalam bentuk sikap hormat dan kepatuhan mutlak kepada kiai/ustaz yang sebagian besar dipengaruhi oleh literatur pegangan dalam pendidikan pesantren seperti kitab Ta’lim al Muta’allim (Dhofier, 1985; Setiawan, 2012). Kepemimpinan yang sentralistik dan hierarki yang berpusat pada kiai menjadikan kiai menjadi sumber mutlak yang memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh di pondok pesantren.
Sikap hormat dan kepatuhan ini tentu saja bukanlah kekeliruan karena sudah sepatutnya adab seorang santri kepada guru dalam rangkah berkhidmat serta mencari keberkahan ilmu dari guru (Setiawan, 2012), hanya saja ketika santri khususnya perempuan tidak memahami batasan sampai mana untuk bersikap patuh, hal ini dapat menjadi celah terjadinya perilaku yang tak diinginkan. Terutama pada perilaku-perilaku oknum yang menjurus pada kekerasan seksual baik secara verbal maupun non-verbal. Maka dari itu, celah ini perlu ditutup dengan cara meningkatkan kesadaran santri putra dan putri terhadap isu-isu gender (hak-hak, peran, relasi) dan kekerasan seksual karena bagaimanapun selain harus memahami permasalahan agama, saat ini para santri juga perlu mulai memahami terkait ketimpangan relasi gender yang terjadi di masyarakat, yang mana menjadikan perempuan sebagai pihak inferior (lemah) dari pada laki-laki sehingga berpeluang rawan menjadi korban kekerasan seksual akibat adanya relasi tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan pihak laki-laki bisa juga menjadi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut, berkaitan dengan hal yang tidak boleh luput dalam upaya meningkatkan kesadaran gender para santri ialah pemberian materi pendidikan seksual berbasis Islam dari para cendekiawan dan ulama kontemporer moderat yang memiliki kebijaksanaan dalam memahami problematika perempuan masa kini secara kontekstual.
Peka
Sampai hari ini kontribusi pesantren bagi negara sangatlah besar, bahkan di masa awal kemerdekaan para kiai dan santri berkorban jiwa dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Puncaknya adalah dicetuskannya “Resolusi Jihad” pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajah yang kemudian meletus pada pertempuran 10 November di Surabaya (Bisri, 2019). Pondok pesantren sudah menjadi figur sebagai lembaga pendidikan yang ideal dan demokratis sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sehingga diharapkan ke depannya dapat melakukan perbaikan dan perkembangan kualitas pendidikan di pondok pesantren.
Pesantren menjadi salah satu lembaga penting dalam bidang pendidikan sebab dapat menjangkau kemampuan yang lebih luas, artinya pendidikan di pesantren tidak hanya berfokus pada pendidikan agama saja, namun para santri juga mensosialisasikan ilmu yang berkaitan dengan kecakapan hidup sehari-hari secara lebih optimal, misalnya mensosialisasikan adab, kemandirian, disiplin, dan kesabaran dalam lingkungan pondok pesantren.
Pesantren memiliki peran tak hanya menyebarkan nilai-nilai keislaman, namun juga untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang produktif sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat kompleks dari waktu ke waktu, salah satunya ikut berperan serta untuk tidak melanggengkan adanya praktik ketidakadilan gender yang nantinya bermuara pada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan pada santri putri (kekerasan, diskriminasi) di pesantren (Sunardi, 2021).
Pesantren peka gender merupakan bentuk usaha yang dilakukan melalui kebijakan dan pengelolaan pesantren yang berkeadilan, setara serta dapat dinikmati bagi seluruh santri tanpa memandang jenis kelaminnya. Mengadaptasi kajian yang dilakukan oleh Sa’dan (2018), upaya peka terhadap gender di pesantren dapat diwujudkan melalui langkah-langkah, di antaranya: Pertama, memberikan pembelajaran melalui literatur kitab kuning ulama kontemporer yang berhubungan dengan hak asasi manusia kepada para santri untuk mereduksi pandangan bias gender. Kedua, melakukan advokasi kebijakan dalam menyelesaikan masalah konflik sosial di pesantren khususnya dalam menangani kekerasan seksual. Ketiga, menyelenggarakan forum-forum ilmiah (pelatihan, workshop, dan lain-lain) yang membahas tentang pendidikan berspektif gender di pesantren. Keempat, kiai/ustaz memberikan penekanan akan pentingnya penerapan konsep kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia kepada para santri. Sebab peran kiai sangat dibutuhkan agar elemen pondok pesantren memiliki kesadaran gender sehingga mencegah terjadinya kekerasan seksual di pondok pesantren. Kelima, Kementerian Agama (KEMENAG) hendaknya memberikan wadah berupa pelatihan dan sosialisasi dalam rangka pengembangan materi pembelajaran pesantren yang berspektif gender sekaligus mewajibkan setiap pesantren untuk memiliki satuan tugas (SATGAS) dan sarana-prasarana pelaporan ketika terjadi kekerasan seksual di lingkungan pesantren sebagai persyaratan wajib yang harus dipenuhi pesantren untuk pengajuan izin operasional pesantren. Jika tidak terpenuhi maka KEMENAG dapat meninjau atau bahkan menolak proses izin pengajuan operasional pesantren. Dengan adanya sosialisasi dan pengawasan yang sistematis terkait pendidikan gender di lembaga-lembaga pondok pesantren ke depannya akan mampu menunjang kesadaran para stakeholder terhadap ketidakadilan yang terjadi dalam lingkungan pesantren belakangan ini (Editor: Rusydan Fathy).
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Bisri, H. (2019). Eksistensi dan Transformasi Pesantren dalam Membangun Nasionalisme Bangsa. AL-WIJDÁN: Journal of Islamic Education Studies, 4(2), 106-121.
CNN Indonesia. (2021). Daftar Kasus Kekerasan Seksual di Pesantren Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211209082552-12-731811/daftar-kasus-kekerasan-seksual-di-pesantren-indonesia, diakses pada 20 Januari 2022.
Dhofier, Z. (1985). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES.
Sa’dan, M. (2018). Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan Pesantren: Kajian Feminisme Islam. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 14(2), 96–109.
Scott, J. C. (1983). Moral ekonomi petani: Pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Setiawan, E. (2012). Eksistensi budaya patron klien dalam pesantren: Studi Hubungan Antara Kyai dan Santri. ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 13(2), 137-152.
Sunardi, D. (2021). Membangun Budaya Pendidikan Pondok Pesantren Berkesadaran Gender. Dedikasi: Journal of Community Engagment, 2(1), 30–49.
Yohania, W. (2014). Studi Fenomenologi Dampak Psikologis Korban Kekerasan Seksual Pada Santriwati Pondok Pesantren X (Skripsi, Fakultas Psikologi UNISSULA).
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Findivia Egga Fahruni merupakan Mahasiswa Pascasarjana UNESA. Perempuan kelahiran Kota Wali sekaligus Kota Santri Gresik ini mengawali kariernya sebagai pendidik bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Penulis dapat dihubungi melalui email eggafahruni@gmail.com.