Home Artikel MENERKA MARAKNYA FINTECH ILEGAL DI INDONESIA

MENERKA MARAKNYA FINTECH ILEGAL DI INDONESIA

0

Oleh: Al Araf Assadallah Marzuki, S.H., M.H. (Peneliti Hukum Siber PMB LIPI)

Praktik pinjam meminjam melalui aplikasi yang berbasis teknologi telah berlangsung ditengah kehidupan masyarakat. Praktik tersebut memberikan kemudahan bagi pihak yang membutuhkan dana secara cepat tanpa harus repot-repot datang ke Lembaga Jasa Keuangan Konvensional seperti perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berjalan tanpa harus saling mengenal, cukup dengan mengisi formulir pinjaman pada aplikasi, kemudian menunggu proses persetujuan, apabila disetujui maka dana akan langsung cair pada rekening yang telah di daftarkan.

Sumber Gambar: http://litbang.kemendagri.go.id/website/dailysocial-rilis-riset-perkembangan-fintech-indonesia/

Pinjam meminjam melalui aplikasi berbasis teknologi juga dikenal dengan istilah Fintech Peer to Peer Lending (P2P). Fintech berbasis P2P Lending ini haruslah di daftarkan di Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK).  Berdasarkan laporan dari OJK, per 15 Mei 2019, total jumlah penyeleggara fintech terdaftar dan berizin adalah sebanyak 113 perusahaan (OJK, 15 Mei 2019). Sementara itu, sampai tanggal 24 April 2019 OJK telah memblokir fintech ilegal sebanyak 947 entitas(OJK, 28 April 2019).

Melihat banyaknya jumlah fintech yang telah diblokir oleh OJK dalam kurun waktu sepanjang tahun 2018 dan sampai dengan 15 Mei 2019, mengartikan bahwa perkembangan fintech lending tumbuh dengan sangat cepat. Mengutip dari IDN Times (Dini Sucianingrum, IDN Times, 5 April 2019), Tongam L Tobing, Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, mengatakan bahwa “menjamurnya fintech ilegal yang terus muncul karena ada permintaan yang tinggi dari masyarakat, fintech ilegal memberikan kemudahan pinjaman dibandingkan perbankan sehingga masyarakat memilih jalan ini, bahkan ada konsumen yang meminjam di empat puluh fintech ilegal sekaligus”.

Salah satu kasus fintech ilegal yang menjadi sorotan media belakangan ini adalah kasus penagihan yang dilakukan oleh aplikasi VLoan milik PT Vcard Technology Indonesia yang dilakukan dengan cara pengancaman, asusila, pornografi, dan menakut-menakuti melalui media elektronik dalam menagih pinjaman ke nasabahnya (Nur Qolbi, Kontan, 28 April 2019). Melihat dari kasus fintech ini, penulis mencoba menganalisis bagaimana fintech ilegal dapat dengan mudahnya melakukan kegiatan bisnis di Indonesia.

Kegiatan bisnis fintech lending di Indonesia diatur di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dalam peraturan tersebut mensyaratkan bahwa penyeleggaraan layanan pinjam meninjam uang berbasis teknologi informasi haruslah berbentuk badan hukum, yakni Perseroan Terbatas atau Koperasi. Hanya saja proses untuk mendapatkan izin usaha penyelenggaraan tidak melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang selama ini dilakukan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan legalitas usaha, melainkan mendaftarkan di Otoritas Jasa Keuangan, seharusnya pendaftaran penyelenggaraan badan usaha pinjam meminjam berbasis teknologi diselenggarakan melalui OSS meskipun yang mengeluarkan izin adalah Otoritas Jasa Keuangan, hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal 1 Angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik menyebutkan bahwa Izin usaha adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha melakukan pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau komitmen.

Dengan terintegrasinya pendaftaran izin usaha berbasis fintech melalui sistem OSS, proses pendirian badan usaha yang bergerak dibidang fintech dapat dengan mudah terpantau, hal ini disebabkan dalam proses pendirian badan usaha tersebut diharapkan status badan usaha dapat keluar bersamaan dengan izin usaha tersebut. Namun sayangnya dalam sistem OSS belum mengatur mengenai pendaftaran izin penyelenggaraan fintech lending. Dengan demikian menurut penulis, terintegrasinya layanan pendaftaran perizinan khususnya fintech lending di OSS dapat mempermudah perusahaan tersebut untuk mendaftarkan badan usaha tersebut, sehingga diharapkan dapat meminimalisir tumbuhnya fintech ilegal.

Kemudian dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tidak mengatur mengenai batasan suku bunga yang dapat diberikan kepada debitur, hal inilah yang memicu tumbuhnya fintech ilegal terus berkembang, sehingga motivasi dari perusahaan adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan suku bunga, mengingat tidak ada batasan suku bunga yang diatur untuk perusahaan fintech lending ini. Sebagai pembanding, lembaga pemangku kebijakan jasa keuangan dapat menerapkan batasan suku bunga pinjaman dengan mengacu pada suku bunga bank dalam memberikan pinjaman. Hal ini guna untuk meminimalisir kredit macet yang mungkin terjadi akibat dari suku bunga yang sangat tinggi.

Terakhir, dari aspek sanksi yang diberikan terhadap pelanganggaran dan kewajiban yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, hanya mengatur sanksi administrasi saja, yang berupa peringatan tertulis, denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.

Ketentuan sanksi tersebut hanya berlaku bagi perusahaan fintech lending yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Akan tetapi terhadap fintech ilegal tindakan yang dilakukan hanyalah sebatas pemblokiran aplikasi tersebut. Hal ini karena dari sifat peraturan Otoritas Jasa Keuangan tidak dizinkan untuk membuat sanksi pidana. Oleh sebab itu diperlukan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang yang mengatur tentang fintech lending.

Beberapa gagasan penulis terhadap pengaturan  sanksi yaitu:

1. Sanksi berupa pidana korporasi

diberlakukannya sanksi pidana korporasi adalah untuk memberikan tanggungjawab korporasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya dengan memperhatikan hak, kewajiban, dan larangan yang harus ditaati guna menciptakan kepastian dan kemanfaatan hukum.

2. Sanksi denda

sanksi denda yang dimaksud adalah sanksi yang sifatnya administratif, yaitu sanksi yang diberikan dengan tujuan badan usaha yang tidak mau mendaftarkan usahanya khususnya dibidang fintech lending, maka badan usaha tersebut dapat dikenakan denda berupa uang. Dan apabila badan usaha tersebut tidak sanggup membayar denda tersebut, maka perusahaan tersebut dapat dipailitkan.

3. Sanksi tidak ada kewajiban bagi debitur untuk mengembalikan uang yang telah dipinjamnya.

Sanksi ini diberikan untuk melindungi debitur dari tindakan oknum penagih utang yang tidak beretika, selain itu setiap badan usaha yang melakukan kegiatan bisnis di Indonesia haruslah mengantongi izin usaha, dalam hal ini khususnya izin usaha penyelengaraan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi, hal ini berguna untuk mempermudah pengawasan, pemantauan dan menciptakan kepastian hukum dalam berusaha. 

Gagasan sanksi tersebut diharapkan dapat berguna untuk melindungi konsumen serta dapat memberikan efek jera bagi fintech ilegal yang tidak beretika dalam melakukan penagihan utang. Selain dari itu, dengan diberlakukannya sanksi tersebut, diharapakan tidak adanya lagi fintech ilegal yang tumbuh di masyarakat.

Maraknya perkembangan fintech ilegal di Indonesia jika dilihat dari aspek legalitas, disebabkan oleh tiga hal. Pertama, proses perizinan usaha fintech lending belum terintegrasi dengan layanan OSS sehingga pendaftaran izin usaha tersebut tidak dilakukan dalam satu waktu yang bersamaan. Kedua, belum ada aturan mengenai batas suku bunga pinjaman fintech lending, dan ketiga, belum adanya sanksi yang tegas baik pidana ,maupun denda. Oleh sebab itu, dibutuhkan regulasi yang mengatur lebih lanjut mengenai fintech lending khususnya di tingkat undang-undang.

Referensi:

Dini Sucianingrum, OJK Sudah Blokir 803 Fintech Ilegal, IDNtimes, 5 April 2019, https://www.idntimes.com/business/economy/dini-suciatiningrum/ojk-sudah-blokir-803-fintech-ilegal, diakses pada tanggal 26 Mei 2019

Nur Qolbi, Berawal dari Vloan, OJK: Pengusutan kasus fintech ilegal akan berlanjut, Kontan, 8 Januari 2019, https://keuangan.kontan.co.id/news/berawal-dari-vloan-ojk-pengusutan-kasus-fintech-ilegal-akan-berlanjut, diakses pada tanggal 26 Mei 2019

Penyelenggara Fintech Terdaftar di OJK per 15 Mei 2019, OJK, 15 Mei 2019, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-15-Mei-2019.aspx, diakses pada tanggal 26 Mei 2019

Siaran Pers: Satgas Hentikan 144 Fintech Lending Tanpa Izin, OJK, 28 April 2019, https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Satgas-Hentikan-144-Fintech-Lending-Tanpa-Izin.aspx, diakses pada tanggal 26 Mei 2019

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Tentang Penulis :

Al Araf Assadallah Marzuki, merupakan seorang peneliti di Kelompok Penelitian Hukum dan Masyarakat pada satuan Kerja Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI).  Ia telah menyelesaikan sarjana dan Magister Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya. Saat ini ia sedang tertarik melakukan penelitian di bidang hukum siber. Email: al.araf23@gmail.co

 

NO COMMENTS

Exit mobile version