[Masyarakat & Budaya, Volume 22, Nomor 19, Oktober 2021]
Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB BRIN)
Jauh sebelum drama Korea (drakor) mendominasi budaya layar Indonesia, drama Jepang atau dorama sudah lebih dulu merebut hati pemirsa Indonesia sejak tahun 90an. Tokyo Love Story (1991), Rindu Rindu Aizawa(1994), Itazura na Kiss (1996), Love Generation (1997), Great Teacher Onizuka (1998) adalah beberapa judul yang sangat diminati kala itu. Memasuki tahun 2000an, dorama masih memikat pemirsa melalui Strawberry on the Shortcake (2001), Nobuta wo Produce (2005), 1 Liter of Tears (2005), Hana Yori Dango (2005), dan Nodame Cantabile (2006). Namun, seiring dengan masuknya drakor ke Indonesia, dorama seolah tenggelam dan kehilangan pamornya.
Untuk merangkul kembali penggemar dorama di kawasan Asia Tenggara, The Japan Commercial Broadcasters Association dan TBS TV menggelar festival J-Series untuk mempromosikan drama televisi Jepang. Diselenggarakan sejak 2013 di Thailand, J-Series Festival juga telah diselenggarakan dua kali di Jakarta pada 2015 dan 2017. Namun, sepertinya upaya ini belum berhasil menggoyahkan dominasi drakor di Indonesia. Belakangan, dorama malah banyak melakukan remake (membuat ulang) dari drakor. Sebut saja My Boss My Hero (2006), Signal (2018), Good Doctor (2018), dan Voice (2019).
Dorama Versus Drakor
Merosotnya minat terhadap dorama tentu tidak dapat dilepaskan dari kualitas drama tersebut. Jalan cerita dan plot twist (pelintiran plot) yang seharusnya menjadi pondasi utama sebuah drama, tidak digarap secara serius. Secara umum, jalan cerita dalam dorama cenderung datar dan minim plot twist. Padahal, plot twist sangat penting dalam memberikan kejutan tak terduga (Khafid, 2020), memberi rasa penasaran, dan meninggalkan kesan kuat di hari pemirsa. Kehadiran plot twist juga memberikan kesempatan kepada penonton untuk terlibat dalam jalan cerita dengan mencari petunjuk dari cerita yang ditampilkan (Komeda, et. al, 2017).
Berbeda dengan dorama, drakor mampu menampilkan alur cerita yang baik lengkap dengan sinematografi, dan visual pemain yang kuat. Drakor dengan apik memunculkan plot twist yang mencengangkan. Sensasi yang ditimbulkan seolah dibawa naik roller coaster lalu tanpa sadar dijatuhkan dari ketinggian saat telah mencapai klimaks. Adrenalin yang membuncah kemudian memberikan kepuasan menonton yang maksimal. Para penonton pun diberikan kesempatan untuk saling membahas dan berbagi keterkejutan yang sama. Pada akhirnya, hal ini membuat hati penonton saling bertautan dan membentuk ikatan fandom yang kuat.
Kepiawaian Korea Selatan dalam meramu formula dramanya tentu memiliki perjalanan panjang. Jauh sebelum berhasil mendominasi tontonan pemirsa Indonesia, drakor memiliki cita rasa serupa dengan sinetron. Hal ini terlihat dari tipe cerita, kualitas akting pemain, dan jalan cerita yang agak klise seperti cinta segitiga, kisah si kaya dan miskin.
Namun berbeda dengan sinetron, drakor masih mampu menjaga kualitasnya melalui pembatasan jumlah episode. Dengan demikian, alur cerita dapat disajikan secara rapi, tidak dilebih-lebihkan, dan memiliki akhir yang jelas. Dalam perkembangannya, drakor mampu memberikan eskalasi dari segi kualitas akting, gaya berpakaian, soundtrack (lagu), dan sinematografi sekelas film. Formula ini kemudian memicu rasa candu di kalangan pemirsa Indonesia.
Dorama: Makna dan Filosofi Hidup
Salah satu kekhasan utama dari dorama adalah comical expression atau ekspresi yang sering muncul dalam anime (kartun Jepang). Untuk sebagian penonton, ekspresi ini terlihat tidak natural dan mengganggu. Namun, bagi penggemar dorama, ekspresi seperti ini justru memberikan karakteristik unik yang membedakan dorama dari drama seri lainnya. Ekspresi ini pun mampu memberikan batas yang jelas antara fiksi dan realita. Penonton pun tidak serta merta ditarik masuk ke dalam semesta dorama sehingga membuatnya lupa pada dunia nyata tempat berpijak.
Kendatipun kepopuleran drakor seolah meredupkan pesona dorama di kalangan pemirsa Indonesia, dorama sejatinya menyodorkan konten cerita yang bernas. Alih-alih menawarkan kisah yang klise, dorama justru kaya akan kedalaman makna dan filosofi hidup. Sebagai contoh, dorama berjudul Gekikaradou atau The Way of the Hot & Spicy (2021) yang menggunakan seni makanan pedas sebagai filosofi hidup dalam bekerja, memahami cinta, dan menjalani hidup dengan berani. Meskipun memiliki alur penuturan yang berulang, namun setiap episodenya berhasil menyampaikan makna hidup sehingga membuat pemirsa memahami perasaan diri dan bersemangat dalam bekerja.
Dorama pun sering menggunakan profesi sebagai latar belakang utama cerita. Dari sini, dorama berhasil mengangkat sesuatu yang biasa terlihat lebih memikat. Sebagai contoh Izakaya Bottakuri (2018) yang berkisah tentang dua saudara perempuan yang mengelola rumah makan, Police in a Pod (2021) tentang keseharian hidup polisi Jepang baik saat bertugas maupun tidak bertugas, Can’t Write! A Life Without Scenario (2021) yang menceritakan upaya penulis skenario drama dalam memenuhi tenggat naskah. Dengan menyuguhkan kisah berlatar belakang profesi, dorama seolah memberikan perspektif bahwa tidak ada profesi yang tidak baik. Sebab masing-masing profesi memiliki perjuangannya sendiri.
Meminjam istilah dalam dunia fashion, dorama bagi saya seperti koleksi haute couture yang disajikan secara khusus bagi pemirsa. Tidak hanya menjadi media hiburan, dorama mampu menghadirkan nilai lain karena memberikan sebuah renungan tentang hidup. Seperti seseorang yang sedang dalam perjalanan menemukan arti hidup, dorama memberikan opsi penafsiran melalui cerita yang menyentuh hati (Editor Hidayatullah Rabbani).
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Khafid, S. “Apa Itu Plot Twist dan Mengapa Ungkapan Ini Digunakan?” (Tirto, 10 Agustus 2020), https://tirto.id/apa-itu-plot-twist-dan-mengapa-ungkapan-ini-digunakan-fWVw
Komeda, H., Taira, T., Tsunemi, K., Rapp, D.N. (2017). A sixth sense: Narrative experiences of stories with twist endings. Scientific Study of Literature 7(2): 203-231, DOI:10.1075/ssol.17002.kom
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Ranny Rastati adalah peneliti Komunikasi di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI. Fokus kajiannya berupa budaya pop khususnya dari Korea dan Jepang. Ia dapat dihubungi melalui email ranny.rastati@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.06.08“Jelita Di Tengah Bara”: Meneroka Inovasi Konservasi Sosial Ekonomi Anggrek Endemik Vanda tricolor Di Kawasan Gunung Merapi
Berita2023.06.08BRIN – Populix Jalin Kerja Sama Riset Budaya Ilmiah Pada Generasi Milenial dan Gen Z
Call for Paper2023.06.06CALL FOR PAPERS INTERNATIONAL FORUM ON SPICE ROUTE (IFSR) 2023
Artikel2023.05.04Re-Rekognisi Mitos Maskulinitas (yang) Mahal Dalam Uang Panai’