Oleh Pavel Paulus Polin (Mahasiswa Sejarah Universitas Airlangga

[Masyarakat & Budaya, Volume 21, Nomor 17, September 2021]

Pada Juli 2021, beredar sebuah video amatir yang ramai bermunculan di grup-grup Whatsapp dan Instagram. Dalam video tersebut menunjukkan adanya kerumunan di salah satu gereja di Garut, Jawa Barat. Menurut unggahan video di Youtube Tribun News pada tanggal 6 Juli 2021, perekam menuduh gereja tersebut sedang menggelar kebaktian di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa Bali. Padahal fakta sesungguhnya, gereja tersebut sedang mengadakan vaksinasi massal, bukan kegiatan kebaktian. Buntut dari unggahan video ini membuat si perekam diamankan oleh pihak berwajib untuk dimintai keterangan dan motif di balik mengunggah video tersebut (Karang, Kompas, 6 Juli 2021).

Sebelumnya juga sempat viral di akun Youtube Kompas TV pada tanggal 22 Juni 2021, sebuah makam Kristen di kota Solo yang mengalami tindakan vandalisme dari sekelompok anak-anak. Tindakan ini mengakibatkan kondisi beberapa makam menjadi berantakan dan mengalami kerusakan. Hal ini kemudian mendapat respon langsung dari pemerintah setempat dan Walikota Solo, Gibran Rakabuming, yang langsung melakukan peninjauan di lokasi makam. Berdasarkan keterangan dalam unggahan video di akun Youtube Kompas TV (22 Juni 2021), akibat dari perkara ini beberapa orang diperiksa oleh pihak berwajib, termasuk pihak sekolah dari anak-anak yang merusak makam tersebut. Pemerintah juga melakukan pembinaan langsung terhadap anak-anak yang melakukan tindakan pengrusakan makam tersebut.

Dua peristiwa yang terjadi di Garut dan Solo semakin menambah daftar tindakan intoleransi yang ditujukan kepada umat Kristen di Indonesia. Jauh sebelum itu telah terjadi beberapa kasus intoleransi yang sering menyasar umat Kristen di Indonesia. Tak jarang kasus tersebut ada yang berujung pada tindakan kekerasan berbalut konflik.

Sebagai contoh, kerusuhan yang terjadi di kabupaten Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1996. Mengutip dari artikel Tirto (18 Mei 2018) berjudul “Dari Kasus Dugaan Penodaan Agama Menjalar Kerusuhan Situbondo 1996”, kerusuhan diawali oleh amukan massa yang tidak puas dengan vonis hakim kepada terdakwa kasus penistaan agama bernama Saleh. Di tengah situasi yang memanas kemudian timbul desas desus yang mengatakan bahwa Saleh disembuyikan di Gereja Bukit Sion. Massa yang mengamuk kemudian segera menghancurkan dan membakar bangunan gereja tersebut. Beberapa gereja dan sekolah Kristen di kota Situbondo dan sekitarnya juga turut menjadi sasaran amukan massa, seperti Gereja Maria Bintang Samudra, Gereja Kristen Jawi Wetan, Gereja Pusat Pantekosta Surabaya Bahtera (menewaskan lima orang yang terdiri dari pendeta beserta keluarganya), Sekolah Kristen Imannuel, dan Sekolah-sekolah Katholik.

Kekristenan di Indonesia

Agama Kristen pertama kali masuk ke Indonesia seiring dengan kehadiran bangsa barat di nusantara. Pada tahun 1511, Portugis membawa ajaran Katolik yang terus berkembang pesat sepanjang abad ke-16 M (Aritonang, 1996). Fransiscus Xaverius merupakan salah satu tokoh di balik kesuksesan perkembangan Katolik di Indonesia.

Kehadiran Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di nusantara pada tahun 1602 memperkenalkan ajaran kekristenan bermazhab Calvinis di nusantara. Mazhab Calvinis sendiri adalah aliran dalam kekristenan yang mengacu pada ajaran Johannes Calvin, seorang tokoh reformasi gereja dari Prancis, yang dalam ajarannya menekankan mengenai kedaulatan Tuhan atas segala sesuatu (Aritonang, 1996). Selain itu, terdapat mazhab lainnya di kekristenan seperti Lutheran, Prebisterian, dan Pentakosta.

Pasca keruntuhan VOC pada 1 Januari 1800, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kendali atas pemerintahan. Selama masa ini, kekristenan di Indonesia semakin berkembang. Atas amanat Raja Willem I, pada tahun 1815 didirikan De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda), yang kemudian menjadi wadah bagi seluruh umat Kristen di Indonesia (Aritonang, 1996).

Keberadaan Gereja Protestan di Hindia Belanda sekaligus menjadi penanda berdirinya gereja pertama di nusantara yang berada di Ambon, Maluku. Seiring berjalannya waktu, gereja tersebut juga mulai didirikan di kota-kota besar di nusantara, seperti Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Pada masa ini juga upaya penyebaran Injil semakin meluas seiring dengan kedatangan para zending (misionaris) yang diutus oleh berbagai lembaga penginjilan dari Belanda.

Memasuki awal abad 20 masehi, berbagai aliran kekristenan dari Amerika masuk ke Indonesia. Sebut saja aliran-aliran seperti, Pentakosta, Kharismatik, Baptis, dan Injili. Kondisi ini semakin mendorong perkembangan kekristenan di Indonesia dan jumlah umat Kristen di Indonesia pun turut mengalami peningkatan yang signifikan. Terhitung pada abad ke 19 M, ketika Belanda masih menduduki Indonesia, diperkirakan jumlah umat Kristen di Indonesia mencapai sekitar 2 juta jiwa (Van den End, 2011). Namun, menurut data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per tahun 2021 jumlah umat Kristen di Indonesia mencapai 23,5 juta jiwa. Di mana 16 juta jiwa terdiri dari pemeluk Kristen Protestan, sedangkan sisanya 7,5 juta jiwa merupakan pemeluk agama Katholik.

Intoleransi terhadap Umat Kristen

Sikap intoleransi yang menyasar umat Kristen di Indonesia merupakan bagian dari status umat Kristen sebagai kelompok minoritas. Sebagai kelompok minoritas, tantangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari cukup beragam, mulai dari sentimen negatif, diskriminasi, dan intoleransi.  Ini disebabkan kelompok minoritas memiliki pengaruh yang lemah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbeda bila dibandingkan dengan kelompok mayoritas yang memiliki pengaruh cukup kuat dan dominan.

Sejatinya, intoleransi yang dihadapi umat Kristen telah terjadi sejak ribuan tahun lamanya. Pada masa Kekaisaran Romawi, orang-orang Kristen sering menjadi sasaran kebencian dari rakyat dan pemerintah karena sangat vokal dalam menentang kebiasaan masyarakat pada jaman itu yang dinilai bertentangan dengan ajaran dalam Injil (Van den End, 2011). Akibatnya, umat Kristen mengalami penganiayaan dan diskriminasi pada masa Romawi Kuno. Namun, hal ini berakhir ketika Konstatinus Agung berkuasa pada tahun 324 M dan menjadikan agama Kristen sebagai agama negara.

Di Indonesia, pandangan negatif terhadap kekristenan mulai muncul sejak masa kolonial Belanda. Umat Kristen sering dipandang sebagai bagian dari kaum penjajah dan mendapat cap sebagai agama kolonial. Kondisi ini sempat membuat pemerintah kolonial melarang penyebaran agama Kristen di beberapa wilayah di Indonesia karena dinilai dapat memicu situasi konflik dengan para penduduk lokal. Kebijakan ini pula yang cukup menghambat perkembangan kekristenan di Indonesia sehingga jumlah umat Kristen di Indonesia tidak sebanyak seperti di negara-negara barat.

Pandangan kecurigaan terhadap umat Kristen di Indonesia mulai memuncak pada masa Orde Baru (1967-1998). Dalam upaya untuk melenyapkan komunisme, pemerintah Orde Baru membuka kesempatan bagi umat Kristen dan umat beragama lainnya untuk mengagamakan orang-orang yang dianggap tidak beragama (Arifyadiputra, 2020). Kebanyakan sasaran pengagamaan tersebut merupakan mantan simpatisan komunisme. Imbasnya, mulai timbul kecurigaan terhadap umat Kristen yang dinilai hendak menjadikan agama Kristen sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Hidup dalam Keberagaman

Sebelum masuknya kekristenan, nusantara telah mengenal sistem kepercayaan berupa tradisi nenek moyang, seperti animisme, dinamisme, totenisme. Kemudian, masuk agama Hindu-Budha pada abad 4 M disusul agama Islam pada abad 13 M. Berbagai agama yang masuk membuat nusantara (kemudian Indonesia) memiliki penduduk dengan latar belakang kepercayaan yang beragam. Tidak hanya itu saja, keberadaan ras, budaya, suku, dan bahasa juga turut semakin menambah keberagaman di negeri ini.

Walau demikian, perbedaan agama menjadi hal yang cukup sensitif dan rentan menimbulkan perpecahan di antara sesama warga negara Indonesia. Pernyataan ini seiring dengan peranan dan fungsi agama dalam masyarakat, baik itu sebagai alat pemersatu maupun sebagai alat pemecahbelah (Nottingham, 1992).

Adapun kedua peran dan fungsi agama tersebut dapat terlihat jelas dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia. Contohnya seperti keberadaan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta yang berdekatan menjadi simbol persatuan dan kerukunan antar umat beragama. Kemudian konflik di kota Ambon pada tahun 1999 yang dilatarbelakangi oleh konflik antar umat beragama.

Kiranya kasus intoleransi yang menimpa umat Kristen dapat menjadi pembelajaran bagi umat beragama lainnya di Indonesia. Khususnya dalam menciptakan suatu kehidupan yang tentram dan kondusif di tengah masyarakat yang majemuk. Untuk itu perlu adanya sinergi oleh berbagai pihak guna mewujudkan lingkungan yang sedemikian. Mulai dari pemerintah diharapkan dapat menjamin serta melindungi kehidupan umat beragama di negri ini melalui regulasi yang berlaku sesuai undang-undang, lalu para pemuka atau tokoh agama selaku pemimpin umat juga perlu terus menyerukan toleransi antar umat beragama tanpa melanggar batas keimanan dan keyakinan masing-masing, dan yang terutama tentu masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang beragama perlu memiliki sikap yang toleran dan saling menghormati satu dengan yang lain. Sebab sikap seperti inilah yang seharusnya mencerminkan sikap seseorang yang “beragama” (Editor Ranny Rastati).

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Arifyadiputra, A.F. (2020). Persaingan Islam dan Kristen di Kota Solo: Sebuah Tinjauan Sejarah. Jurnal Sejarah Peradaban Islam 3(2), 142-157

Aritonang, J. S. (1996). Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta : Gunung Mulia

Firdausi, F. A. “Dari Kasus Dugaan Penodaan Agama Menjalar Kerusuhan Situbondo 1996”. Tirto (18 Mei 2018), https://tirto.id/dari-kasus-dugaan-penodaan-agama-menjalar-kerusuhan-situbondo-1996-cKzP (diakses pada tanggal 13 Agustus 2021)

Karang, A. M. “Video Pengendara Tuduh Gereja Gelar Ibadah Saat PPKM Darurat di Garut, Ternyata Vaksinasi Massal”. Kompas (6 Juli 2021), https://bandung.kompas.com/read/2021/07/06/131118478/video-pengendara-tuduh-gereja-gelar-ibadah-saat-ppkm-darurat-di-garut?page=all (diakses tanggal 12 Agustus 2021)

Kompas TV. (2021, Juni 22). Gibran: Kita Akan Usut Tuntas Kasus Perusakan Makam [Video]. Youtube, https://www.youtube.com/watch?v=2sgrFa0-lOQ (diakses pada tanggal 13 Agustus 2021)

Nottingham, E. K. (1992). Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers

Van den End, T. (2011). Harta dalam Bejana : Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta : Gunung Mulia

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Pavel Paulus Polin adalah mahasiswa Ilmu Sejarah di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Aktif mengikuti organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen Protestan (UK3 UNAIR) dan pernah menjabat sebagai ketua dalam kepengurusan Badan Semi Otonom Sie Kerohanian Kristen Protestan FIB UNAIR tahun 2020. Memiliki ketertarikan dalam kajian sejarah dan kebudayaan. Senang menulis artikel dan beberapa kali pernah menulis di media online, seperti kompasiana dan narasi sejarah. Penulis dapat dihubungi melalui pavelpauluspolin.flats41@gmail.com