Oleh Anggi Afriansyah (Peneliti P2K LIPI)
Sumber gambar: https://mojokstore.com/product/tahun-tahun-yang-menentukan-wajah-timur/
Judul Buku : Tahun-tahun Yang Menentukan Wajah Timur
Penulis : Muhammad Iqbal
Penerbit : EA Books, 2019
Tebal : xii + 210 hlm
Ibn Khaldun seperti yang pernah dinukilkan oleh Syed Farid Alatas, Profesor Sosiologi di National University of Singapore dalam buku Ibn Khaldun: Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi menulis “sejarah dapat dipahami oleh orang terpelajar dan awam. Orang awam mampu mengerti sejarah karena di level permukaannya, sejarah tidak lebih dari informasi tentang pelbagai kejadian politik, dinasti-dinasti, dan aneka peristiwa yang terjadi pada masa lalu, yang disajikan secara anggun, dan dibumbui kata-kata mutiara”.
Ibn Khaldun mengkritik penulisan sejarah yang lebih banyak mengandung gosip dan laporan palsu yang dicampur dengan laporan faktual, laporan tentang kejadian bersejarah sering berdasarkan kesalahan (al-ghalath) dan dugaan yang serampangan (al-wahm), orang yang tidak kompeten terlibat dalam kerja kesarjanaan, dan peniruan buta (al-taqlid) dalam sejarah diteruskan dari generasi ke generasi dan diterima begitu saja (Alatas, 2017). Teropongan Ibn Khaldun tersebut masih relevan hingga kini.
Dengan demikian menyajikan studi-studi sejarah yang kredibel dan dapat dipercaya menjadi sangat penting dalam situasi yang begitu kompleks saat ini, di mana hilir mudik informasi begitu mudah menyusup ke gawai-gawai dan saling berkelindan antara fakta dan hoaks. Dengan membaca studi sejarah yang kredibel, pembaca mendapatkan kesempatan untuk menelusuri jejak masa silam tanpa terjebak pada narasi romantisme kepahlawanan yang membutakan. Digugah untuk selalu kritis memaknai setiap peristitwa yang terjadi di masa lalu. Juga seperti apa yang disampaikan P. Swantoro (2007) bahwa masa lalu selalu aktual.
Namun tantangannya adalah apakah banyak orang yang masih sempat secara telaten membaca berbagai buku sejarah yang rumit dan berat. Apalagi pendidikan di negeri ini kurang memberi perhatian bagi pembelajaran sejarah yang asyik dan menyenangkan. Sehingga dalam banyak orang, sejarah seringkali hanya dimaknai sebagai peristiwa masa lalu yang hanya perlu diketahui tanggal dan tahunnya saja. Bukan dimaknai sebagai pelajaran penting yang perlu dirujuk agar generasi saat ini tidak mengulang kesalahan yang sama di masa kini dan masa depan.
Dalam konteks tersebut, menghadirkan buku-buku sejarah yang ringan dibaca oleh masyarakat umum tetapi tetap berpatokan pada sumber-sumber ilmiah yang valid. Sebab ternyata esai-esai sejarah dengan renyah dan berbobot seperti pada tulisan-tulisan Kuntowijaya atau Ong Hok Ham memang sangat terbatas. Dari tulisan-tulisan tersebut kita bisa memaknai sejarah dalam perspektif yang lebih luas dan kritis sehingga mendapatkan pencerahan.
Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur karya Muhammad Iqbal adalah salah satu buku kumpulan esai sejarah yang dapat menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat pecinta sejarah di era kiwari. Buku ini hadir ketika beragam media daring memberi ruang yang besar bagi penulisan esai-esai sejarah. Salah satu bukti betapa sejarawan dapat memanfaatkan ruang media daring secara optimal. Buku ini terdiri dari 30 esai sejarah yang sebelumnya diterbitkan secara regular selama bulan ramadan tahun 2018 di tirto.id salah satu media daring di Indonesia.
Dalam karyanya penulis berusaha menghadirkan sejarah panjang peradaban Islam dengan beragam kelindan peristiwa penting dibaliknya. Penulis menghadirkan berbagai tokoh yang mewarnai berbagai lintasan peristiwa. Tokoh-tokoh yang dihadirkan tersebut menandai zaman baik dalam kisah penuh kejayaan, peperangan, ataupun kehancuran sebuah rezim ditampilkan dalam narasi yang menarik.
Menariknya kisah-kisah yang disajikan oleh penulis adalah beragam peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Ramadan. Mulai dari peristiwa memilukan terbunuhnya sahabat nabi Ali Bin Abi Thalib, Mesir yang dikuasai kaum Syiah di era Dinasti Fatimiyah, posisi Islam yang kuat di jazirah Arab setelah ekspedisi Tabuk, piagam Madinah yang menyejarah, juga kisah para ilmuan seperti Ibn Khaldun, Ibn Arabi, dan Said Nursi.
Penulis berupaya menampilkan wajah timur yang berkontribusi terhadap peradaban manusia. Dan pembaca akan mendapatkan sisi lain dari peristiwa tersebut dalam sudut pandang yang terkadang berbeda dengan yang sudah dipelajari di bangku sekolah. Kita diajak untuk membaca sejarah dengan semangat menarik hikmah terbaik dari beragam peristiwa yang tidak hitam putih. Ulasan yang dihadirkan oleh penulis membuka sudut pandang dan mengajak pembaca untuk merenungkan ulang kontribusi Islam bagi peradaban.
Kelebihan buku ini adalah, meskipun berupa esai pendek, tetapi dengan rinci memberikan berbagai literatur yang menjadi rujukan penulis. Sehingga para pembaca yang dahaganya belum terpuaskan dapat menelusuri buku-buku rujukan tersebut secara mandiri. Berbagai esai ditampilkan dalam cerita ringkas tanpa menghilangkan substansi dari kisah yang hendak ditampilkan. Dari esai-esainya nampak betul bahwa penulis sangat berhati-hati menyajikan berbagai kisah di masa silam tersebut dan berpegang teguh pada rujukan-rujukan yang sudah diakui sahih atau benar di dalam studi-studi sejarah.
Namun, salah satu yang luput adalah penulis tidak memberikan pembabakan pada setiap esai yang ditampilkan. Sehingga pembaca akan merasa bahwa antara tiap esai dengan esai lainnya terasa melompat-lompat karena tidak dibagi berurutan berdasarkan babak kesejarahan, baik dari segi tahun terjadinya, setting peristiwa, maupun tokoh-tokoh yang diceritakan. Misal saja, dari era sahabat nabi tiba-tiba melompat ke era Dinasti Fatimiyah, peristiwa kemerdekaan, kemudian kembali ke zaman Nabi.
Esai “Proklamasi Kemerdekaan di Bulan Suci Ramadan (hlm. 29) dan “Melanggengkan Tradisi dan Silaturahmi di Hari Raya Idul Fitri” (hlm. 169), dua esai yang menghadirkan konteks keindonesiaan, misalnya seperti hadir tiba-tiba di tengah-tengah esai lain yang cenderung menghadirkan peristiwa yang ada di wilayah timur tengah dan wilayah lain seperti Spanyol yang merupakan lokus berkembangnya peradaban Islam. Wajah Islam Indonesia justru ditampilkan minor dibandingkan “wajah timur” lainnya. Dari segi rentang tahun, pembaca akan disajikan kisah yang melompat dari satu esai ke esai lain dari mulai abad ke 7 sampai abad 20 tetapi tidak secara berurutan.
Namun begitu, buku ini tetap penting menjadi referensi yang perlu dikoleksi oleh mereka yang mencintai sejarah. Penulis berhasil mengolah berbagai kisah sejarah yang terjadi di bulan ramadan dan memberikan ibrah atau pelajaran bagi para pembacanya. Dalam setiap esai, peristiwa sejarah yang berat diceritakan dengan narasi yang ringan dan rujukan yang kuat tanpa mendegradasi makna yang dikandungnya. (Editor Ranny Rastati)
Tentang Penulis :
Anggi Afriansyah adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Menggeluti isu-isu penelitian terkait pendidikan dan ketenagakerjaan. Menulis di Jurnal Kependudukan Indonesia (JKI), Jurnal Masyarakat Indonesia (MI), Jurnal Penelitian Politik, dan Jurnal Aspirasi DPR. Aktif menulis di beberapa Media Cetak dan Media Online seperti di Koran Kompas, Koran Berita Cianjur, Jawa Pos, Koran Jakarta, Media Indonesia, Harian Republika, Koran Sindo, Lampung Post, Radar Bangka, Radar Tasikmalaya, Padang Ekspress, detiknews, NU Online dan Beritagar.id. Dapat dihubungi di email: afriansyah.anggi@gmail.com, facebook: Anggi Afriansyah dan twitter: @anggiafriansyah.
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Berita2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya
Berita2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam
Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Berita2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam