Jakarta, Humas LIPI. Makna pandemi COVID-19 secara sosial budaya, dalam penanganan virus corona masih terdapat disinformasi yang terjadi di masyarakat baik dari sisi etnisitas, sejarah dan bahasa serta seksisme yang beredar di masyarakat melalui media sosial. “ Penanganan pandemi COVID -19 ditinjau dari sisi sosial dan budaya sangat berkaitan dengan platform digital”, tutur peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Widjajanti M. Santoso, di sela-sela acara Webinar bertajuk “ Pandemi, Diskursus dan Digital” pada Senin ( 18/5) lalu di Jakarta.
Widjajanti mengatakan, kajian ini berkaitan dengan studi masyarakat digital dilihat dari sisi sosial dan budaya. “Sisi ini merupakan fenomena masyarakat era digital dilihat dari sisi sosial budaya, adalah berbeda apabila dibanding dengan kajian yang berkaitan dengan kesehatan”, katanya. Widja menambahkan, dengan penyebaran virus yang dianggap bisa terjadi melalui kontak fisik, serta kebiasaan-kebiasaan sosial yang umum pun terpaksa harus dihindari demi mencegah penyebaran virus yang lebih luas. “ Masyarakat terpaksa mengubah kebiasaan sosial, kareana regulasi social distancing dan lockdown telah membuat digital menjadi ruang publik yang mengaitkan individu dan masyarakat menjadi hal yang penting”, ungkap Widja.
Sependapat dengan Widja, peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, Ubaidillah menyatakan di masa pandemi ini, melalui teknologi digital masyarakat dapat mengakses informasi di mana pun selagi memiliki akses teknologi dan bahasa terkait perkembangan COVID-19. “Masyarakat dapat membandingkan pola penanganan di Indonesia dengan negara-negara lain, hal ini merupakan penyampaian informasi ke publik secara benar dan baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan transparansi dalam penanganan pandemi COVID-19”, lanjutnya,
Dirinya menambahkan saat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang kredibel dan jelas dari pemerintah sebagai pihak yang punya wewenang, dikhawatirkan muncul celah pintu masuk diskursus disinformasi atau hoaks. “Masyarakat yang dilanda kecemasan dan takut, akan rentan terbawa arus diskursus yang dekstruktif”, tutur Ubaidillah. Dirinya menyebutkan, kalau informasi yang disampaikan simpang siur, akan memperlebar kesempatan diskursus yang destruktif yang diterima publik dan dipercaya oleh masyarakat. Sehingga wacana ekstrimisme pun muncul di ruang publik, terutama di media sosial, lanjutnya. “Pada masa pandemi ini, merupakan waktu yang penting dalam memberikan informasi sebagai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menguatkan hubungan antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini, bisa menjadi bekal bagi pembangunan pasca-pandemi COVID-19”, pungkas Ubaidillah.
Sebagai tambahan informasi, acara Webinar ini menghadirkan narasumber Ruby Kholifah, Secretary General AMAN Indonesia , berdasarkan kajian masyarakat yang mengikuti anjuran pemerintah dan Kementerian Agama terkait dengan pandemi COVID-19 , sebanyak 86 persen masyarakat dan ada 22 persen masih melakukan pekerjaan seperti biasa. Selanjutnya Haryatmoko, pengajar dari Universitas Indonesia, mengatakan situasi pandemi COVID-19 ini, justru banyak orang yang mencari keuntungan tetapi tidak menemui makna hidup. “Bagaimana saat menghadapi pandemi, dan akan tersentuh bilamana ada masyarakat sekitar yang terkena pandemi”, kata Haryatmo. ( Suhe/ed:mtr/rann001)
Ilustrasi: Kompas
Diunggah oleh
