[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 22, Maret 2022]

Oleh Moh. Rifal Salamses (Mahasiswa Universitas Tadulako)

Masyarakat Adat Tau Taa Wana adalah salah satu masyarakat adat yang lekat dengan hutan dan masih tergolong sebagai kelompok adat yang hidup nomaden hingga saat ini. Mereka masih menjaga dan mempertahankan tradisi kearifan lokalnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang menjalin relasi dengan alam juga minim terpengaruh budaya dari masyarakat luar (Sahlan, 2012). Masayarakat Suku Tau Taa Wana Alam memiliki filosifi hidup dengan makna simbolik seperti: gunung yang bermakna sebagai raga dan sungai bermakna jiwa. Dimana keduanya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, hal ini menjadi salah satu falsafah hidup masyarakat Suku Tau Taa Wana (Nutfah, 2019).

Terkait dari asal usul Masyarakat Adat Suku Tau Taa Wana, mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari alam dari legenda mitologi Kaju Poramba’a atau Kayu Beranak, yang kemudian disebut Kaju Morangkaa. Kaju Morangkaa bisa jadi diyakini bahwa asal usul kehidupan pertama leluhur mereka yang menitis dari sebatang pohon yang kawin dengan perempuan bernama Ngaa yang diturunkan sang Pue (Tuhan) dari Langit (Humaedi, 2013). Disamping nilai asal usul ini, terdapat nilai yang melekatkan mereka untuk terus menyelaraskan hidup dengan alam (Nutfah, 2019) yaitu melalui filosofi ”Tana ntau tua mami, retu sekatuvu mami nempo masiasi ree tana mami”. Nilai ini bermakna bahwa “tanah leluhur kami, walau hidup sederhana asalkan di tanah kami”.

Bagi masyarakat adat Suku Tau Taa Wana, tanah adalah unsur penting menjadi penunjang hidup serta titipan leluhur yang harus di jaga dengan sepenuh hati, sehingga pantang bagi anggota suku Tau Taa Wana menjual tanah mereka, kehidupan yang selalu berbarengan dengan budaya dan adat istiadat menciptakan norma sosial yang sejalan dengan pengelolaan sumber daya alam (Nutfah, 2019). Pada pemanfaatan sumber daya hutan mereka masih mempraktikan kearifan lokal dimana hasil yang didapatkan tidak digunakan sendiri namun juga memikirkan keberlangsungan alam demi terciptanya keseimbagan (Sahlan, 2012). Lebih lanjut disebutkan Sahlan (2012) mereka juga setidaknya memiliki 13 bentuk ritual dalam hal memanfaatkan dan melestarikan hutan.

Berikut adalah ke-13 ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat Tau Taa dalam memanfaatkan hutan yang dijelaskan oleh Sahlan (2012). 1) Ritual pertama disebut Manziman Tana, sebagai sebuah ritual meminta izin kepada Sang Penguasa Tanah (Lamba Jadi), Sang Penguasa Mata Air (Malindu Maya), Sang Peenguasa Muara (Malindu Oyo), Hal ini di lakukan agar supaya lahan yang ditanami memberikan hasil maksimal, 2). Mompoyoni, ritual ini dilakukan untuk memindahkan nyawa atau penghuni atau penjaga yang tinggal di dalam pohon, biasanya khusus dilakukan pada kayu berukuran besar dilakukan juga pada prosesi penebangan pohon agar di jauhkan dari gangguan bencana dan malapetaka, 3). Monovo, atau disebut juga prosesi menebang pohon yang di tebang di areal navu atau lahan yang akan dibuka,dimaksudkan agar di beri izin untuk mebuka lahan pertanian yang akan digunakan secara kolektif, 4). Monunju, prosesi yang dilakukan dengan membakar lahan di ikuti dengan mempersembahkan Kapongo atau Sesajen kepada Sang Penguasa Tanah, di maksudkan agar roh-roh penunggu kayu akan meninggalkan kayu tersebut dengan mengikuti asap, 5). Mapangka Roso Lipu, Sebuah Ritual yang dilakukan untuk menguatkan Lipu atau kampung untuk menjaga hutan agar tetap lestari dan terjaga dari kerusakan.

Kelima proses awal ritual di atas menggambarkan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam mengolah alam sebagai penunjang kehidupan mereka. Adapun beberapa ritual lain di laksanakan ketika mulai menanam sampai dengan proses panen tiba dalam Sahlan (2012) sebagai berikut; 1). Manguyu Sua, Ritual Penanaman Pertama, 2). Mpopodoa Sua, Ritual Berdoa Kepada Leluhur, 3). Ra’a  Pakuli, Ritual Pengobatan Padi, 4). Ritual Panto’o, Ritual Ucapan Terima Kasih, 5). Palampa Tuvu, Ritual Tolak Bala, 6). Kapongo Tumputana, Ritual Memohon Izin, 7). Nunju, Ritual Mengusir Roh Jahat, 8). Ranja, Ritual Menjauhkan Wabah.

Selain tetap mempertahankan ritual-ritual ini, Masyarakat Adat Tau Taa Wana juga menerapakan hukum adat sebagai pedoman dalam memanfaatkan suber daya alam mereka, yang mereka sebut givu atau denda bagi pelaku pemanfaatan hasil hutan secara semena-mena (Sahlan, 2012). Kultur adat istiadat menunjukan pengaruhnya dalam proses melestarikan hutan, kehidupan Masyarakat Suku tau Taa Wana menjadi gambaran sempurna bahwa manusia bisa hidup selaras dengan alam tanpa merusak, dengan terus menerapkan falsafah hidup para leluhur (Editor: Dicky Rachmawan).

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Humaedi, M. A. (2013). Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat Tau Taa Vana di Tojo Una-Una Sulteng (The Forest Conservation Tradition of Indigenous People of Tau Taa Vana in Tojo Una-Una Central Sulawesi)*. Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Kebudayaan LIPI, 2(23), 91–111.

Nutfa, M. (2019). Tau Taa Wana, Dari Alam Untuk Alam: Filosofi dan Praktik Bijaksana Menata Relasi Manusia dan Alam. Sosioreligius, IV(2), 61–68.

Sahlan, M. (2012). Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang Dalam Mengkonservasi Hutan Di Propinsi Sulawesi Tengah. Mimbar Hukum – Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 24(2), 318–331. https://doi.org/10.20303/jmh.v24i2.394

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Penulis bernama Moh. Rifal Salamses, lahir di Ampana, pada tanggal 10 Januari tahun 2001. Saat ia adalah mahasiswa aktif semester 4 Program studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah. Penulis dapat dihubungi melalui: rifalsalamses@gmail.com