Jakarta, Humas LIPI. Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI, kembali menyelenggarakan Forum Diskusi Budaya seri 18 dengan tema “Media Sosial Sebagai Media Edukasi di Era Covid-19” secara daring pada Senin (26/7). Koordinator Program Penelitian Masyarakat dan Budaya, PMB LIPI, Lilis Mulyani menyampaikan bahwa Forum Diskusi Budaya (FDB) merupakan acara pertemuan antara akademisi dengan masyarakat yang dilakukan dua mingguan. “FDB merupakan salah satu platform yang menghubungkan PMB LIPI dengan berbagai kalangan di seluruh wilayah di Indonesia,” jelas Lilis.
Lilis berharap melalui diskusi ini akan memberikan gambaran bahwa ruang digital dapat dimanfaatkan secara optimal. Hadirnya media sosial sudah menjadi ruang interaktif yang sangat aktif. Saat ini penggunaan digital menjadi sangat penting terutama di era Covid-19 ini. “Terjadi peningkatan penggunaan internet dan platform digital di Indonesia,” ungkap Lilis.
“Tercatat APGI (Asosiasi Pengguna Data Digital Indonesia), total penggunaan data digital sebesar 196 juta pengguna dari sekitar 73% total masyarakat Indonesia. Dan dari jumlah pengguna itu tidak semuanya memiliki literasi digital yang cukup. Tetapi mereka lebih memiliki kesadaran atau impact dari tindakannya yang dilakukan pada dunia digital pada umumnya,” jelas Lilis.
Peneliti PMB LIPI, Ibnu Nadzir Daraini, juga menyebutkan bahwa salah satu pemahaman akan literasi digital masyarakat, sebagai contoh maraknya isu di media sosial ‘Babi Ngepet’ di Depok, Jawa Barat. Melalui studi dengan judul ‘Babi Ngepet dan Kontradiksi Ekonomi Digital’ kisah babi ngepet dengan model pasar kripto yang sulit dilogika oleh masyarakat, mengingat akan sejarah masa lalu. “Memahami fungsi ‘ngepet Kripto’ ke dalam logika masyarakat didasari pada keyakinan masyarakat tentang fenomena mendapatkan kekayaan dalam waktu singkat yang tidak mampu terpikirkan. Sehingga tuduhan ngepet di Depok itu ,terdengar lebih akrab dan mudah dipahami daripada akumulasi kekayaan modern yang amat elusive,”tegasnya.
Lebih lanjut Ibnu menyampaikan terjadinya rasionalitas ekonomi gaib . Ada beberapa isu atau paham yang mendasari hal tersebut diantaranya seperti pada pra-Adam Smith, yang menyatakan kekayaan tidak dipandang sebagai entitas yang dapat bertumbuh melainkan sangat terbatas. “Jadi di sini implikasinya seseorang diyakini hanya dapat menjadi lebih kaya jika dia mengambil kekayaan milik orang lain,” ungkap Ibnu Menurutnya, terjadi modernitas yang acak “Apa yang dibayangkan sebagai esensi modern: teknologi, sistem ekonomi, sistem politik tidak pernah berlaku secara linier dan seragam. Hal ini didukung oleh kajian yang menunjukkan bahwa dalam apa yang dibayangkan sebagai modern, relik-relik masa lalu masih kokoh selama masih memiliki relevansi,” tandas Ibnu.
Ibnu menjelaskan bahwa bagi kebanyakan orang instrumen penambah kekayaan modern terdengar lebih irrasional dari pada cerita kekayaan gaib.”Seperti tuyul dan babi ngepet, instrumen seperti mata uang kripto saham ataupun juga perusahaan rintisan sama-sama tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Dan hal inilah yang akhirnya mendorong seperti adanya perjanjian gaib, pengetahuan tentang kekayaan modern juga bersifat esoteric yang dibatasi kelas sosial, akses teknologi dan lain sebagainya,”tegas Ibnu.
Padahal jika ditilik lebih jauh dengan perkembangan digital yang ada sekarang ini bahwa ekonomi digital serupa dengan tuyul yang juga memungkinkan segelintir orang menjadi sangat kaya dari hasil kerja keras orang lain, demikian Ibnu mengakhiri paparannya. (rdn/ed: mtr)