[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 12, Februari 2022]
Oleh Firmanda Taufiq (Mahasiswa Doktoral Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Pandemi Covid-19 telah berdampak besar dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama di Indonesia. Peran tokoh agama dalam memberikan edukasi dan pemahaman keagamaan dalam melihat persoalan pandemi Covid-19 juga penting dilakukan (Aula, 2020). Selain itu, pandemi Covid-19 juga menyebabkan fragmentasi dan pergeseran otoritas keagamaan bagi masyarakat Muslim di Indonesia (Ghofur dan Subahri, 2020). Lebih lanjut di tengah pandemi Covid-19 justru memunculkan sikap sebagian masyarakat Muslim yang berlaku saleh secara spiritual.
Pada gilirannya, diskursus antara Covid-19 dan agama, terutama korelasi agama dan sains membicarakan bagaimana integrasi antara keduanya. Karena pada awalnya keduanya saling berbenturan satu sama lain. Pembicaraan mengenai diskursus tersebut terus mengemuka untuk mempertemukan berbagai disiplin ilmu dalam memahami kompleksitas persoalan tersebut dan memberikan solusi yang terbaik. Agama sebagai suatu institusi telah diorganisir berdasar pada fungsinya, yaitu: komunal, institusional maupun asosiasional (Alkaf, 2020). Pada konteks sosial kemasyarakatan, Islam (misalnya) dipandang sebagai sebuah agama yang memiliki dua medium, yakni pribadi dan publik. Artinya, Islam sebagai agama dipandang memiliki orientasi kesalehan sosial dan sipiritual. Hal tersebut juga merepresentasikan adanya upaya transformasi sosial untuk kemanusiaan.
Dalam hal ini, tulisan ini berupaya menelusuri dan mengungkap bagaimana dampak pandemi Covid-19 kepada masyarakat Indonesia, terutama bagi komunitas Muslim. Di dalam tulisan ini didasarkan pada tiga argumen, yakni mengenai benturan antara fragmentasi sosial keagamaan, agama memiliki dua cara dalam memberikan respon, yakni sebagai bagian dari doktrin agama dan agama sebagai basis komunal, dan terciptanya masyarakat baru pasca terjadinya Covid-19.
Pandemi Covid-19 dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan
Mulanya otoritas keagamaan lebih cenderung pada ortodoksi otoritas keagamaan, sedangkan pada masa pandemi Covid-19 telah berubah dengan adanya otoritas keagamaan baru, yakni adanya ustadz, tokoh agama, maupun media sosial yang mengkampanyekan dan memberikan informasi terkait praktik keagamaan di Indonesia, terutama dalam konteks komunitas Muslim di Indonesia (Wahid, 2020). Peran tokoh agama dalam memberikan dakwah di masa pandemi Covid-19 juga berperan penting untuk memberikan edukasi dan pemahaman terkait praktik keagamaan dan respon dalam menghadapi pandemi Covid-19 (Fasadena, 2020).
Lebih lanjut, Covid-19 juga telah mengubah otoritas lama ke otoritas baru, dengan beberapa hal yang berbeda. Seperti halnya mengenai respon para tokoh agama baru, baik dari kalangan ustadz ataupun mereka yang mulai masuk ke dalam pergulatan keagamaan di Indonesia. Hingga akhirnya mereka memiliki banyak pengikut dan dakwah-dakwah mereka mendapatkan tempat di hati para pendengarnya. Sementara itu, otoritas keagamaan yang lama juga tetap mengeluarkan fatwa atau himbauan atas adanya pandemi Covid-19. Artinya, respon ataupun keputusan dari masing-masing pemegang otoritas memiliki pengikut dan jangkauannya masing-masing. Himbauan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah, membatasi kontak fisik dengan orang lain, dan tetap menjalankan protokol kesehatan dengan membiasakan cuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, dan tidak berkerumun merupakan beberapa hal yang telah dilakukan para tokoh agama untuk mengurangi atau menghindari penularan baru virus Covid-19 tersebut. Dalam konteks tersebut, kelompok umat Muslim terfragmentasi ke dalam dua kelompok, yakni mereka yang menganggap bahwa Covid-19 sebagai azab atau penyakit, sedangkan kelompok lainnya menilai sebagai tentara Tuhan.
Banyaknya kasus kematian akibat Covid-19 berdampak pada pola aktifitas dan relasi masyarakat. Berbagai kebiasaan yang seharusnya dilakukan secara komunal harus digantikan dengan hanya bersifat secara individual. Bahkan, beberapa diantaranya harus dihentikan sementara untuk mengantisipasi penularan Covid-19. Situasi yang semakin tidak menentu membuat hal-hal yang tidak diprediksi sebelumnya mungkin terjadi. Maka, upaya respon dari organisasi masyarakat Islam, baik NU dan Muhammadiyah adalah usaha solutif untuk memberikan pengetahuan dan penanganan yang cepat dalam merespon pandemi Covid-19 dari perspektif keagamaan. Selain itu, rukhsah dalam pelaksanaan ibadah adalah perlu untuk mengurangi ataupun menghentikan laju pertambahan kasus Covid-19 yang semakin bertambah (Aula, 2020). Hal tersebut merefleksikan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang digunakan dan diterapkan dalam aktivitas praktik keagamaan (Silfiah, 2020).
Atas dasar persoalan tersebut, respon dan himbauan, serta fatwa ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah yang memiliki otoritas keagamaan perlu dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat Muslim (Arrobi & Nadzifah, 2020). Fatwa tersebut khususnya bagi para pengikutnya untuk mematuhi dan menerapkan dalam pelaksanaan praktik ibadah selama masa pandemi Covid-19. Hal ini dimungkinkan untuk mengurangi persebaran virus dan dalam upaya hifdz an-nafs (menjaga diri). Selain itu, upaya ini dilakukan untuk meyakinkan umat Islam bahwa pesan atau fatwa dari otoritas agama sesuai dengan panduan dari otoritas kesehatan.
Pihak MUI sebagai representasi otoritas keagamaan di Indonesia mengeluarkan tentang fatwa yang berisi mengenai penyelenggaraan ibadah dalam situasi yang terjadi di masa wabah Covid-19. Kebijakan tersebut merupakan langkah dan upaya MUI dalam merespon atas merebaknya kasus Covid-19 dan praktik keagamaan di masa tersebut. Sikap MUI tersebut merupakan upaya antisipatif dalam menyikapi praktik keagamaan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini juga berawal dari beberapa permasalahan yang membutuhkan sikap responsif, pro aktif, dan antisipatif (Aji dan Habibaty, 2020). Sementara jika melihat fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, yakni pasca 3 hari pemerintah mengumumkan tentang persebaran virus Covid-19 yang telah masuk ke Indonesia. Kondisi ini membuat MUI harus mengeluarkan kebijakan dalam mengantisipasi persoalan yang tengah bergejolak dalam masyarakat. Fatwa yang disampaikan oleh Asrorun Ni’am, Sekretaris MUI memaparkan bahwa ibadah sholat Jumat adalah kewajiban, namun pada konteks wabah seperti ini, perlu adanya ikhtiar dalam upaya melindungi jiwa dan kesehatan manusia (mui.or.id, 2020). Atas dasar tersebut, maka hukum kewajiban sholat Jumat dan kewajiban dalam upaya melindungi sejatinya tidak dapat dibernturkan, sedangkan, menjaga kesehatan dan menjauhi dari paparan penyakit adalah usaha untuk menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharurat al-Khams) itu sendiri.
Menuju Masyarakat Baru Pasca Covid-19
Dalam konteks pandemi Covid-19, masyarakat terfragmentasi ke dalam berbagai kelompok, baik mereka yang menganggap virus Covid-19 sebagai penyakit atau azab yang diturunkan oleh Allah, serta ada yang menyebut sebagai tentara Tuhan. Lebih lanjut, pandemi Covid-19 telah mengubah kebiasaan lama masyarakat yang awalnya tidak memakai masker jika melakukan aktivitas, berubah menjadi membiasakan memakai masker dan cuci tangan secara rutin. Tidak hanya itu, praktik beribadah yang dulunya dianggap tabu dan belum terbiasa, kini mulai bergeser dan berubah. Misalnya saja, shalat berjamaah, shalat Jumat, dan shalat Hari Raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha yang dilakukan secara berjamaah di masjid harus bergeser diselenggarakan di rumah masing-masing. Artinya, pola kebiasaan baru mulai diterapkan untuk menekan angka pertambahan kasus Covid-19.
Pandemi Covid-19 juga melahirkan masyarakat baru yang adaptif dan responsif terhadap penyakit. Hal ini juga menandakan bahwa masyarakat mulai sadar akan pentingnya hidup sehat. Tidak hanya itu, masyarakat pun menjadi selektif dalam berbagai informasi yang didapatkan, terutama yang didapat dari media sosial. Informasi hoaks juga sering bermunculan di tengah derasnya informasi yang bermunculan. Untuk itu, upaya selektif dalam memilah informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya menjadi hal yang penting. Di lain pihak, informasi yang bertebaran di media sosial juga terfragmentasi ke dalam berbagai kepentingan, baik yang mengedukasi atau membuat masyarakat kebingungan atas informasi yang didapat.
Masyarakat baru pasca Covid-19 menjadi kondisi dimana individu maupun kelompok masyarakat yang berubah. Situasi ini juga menjadi penanda bahwa pandemi Covid-19 telah melahirkan berbagai kemungkinan dan perubahan yang signifikan. Fragmentasi otoritas keagamaan dan munculnya kesalehan spiritual dalam komunitas masyarakat Muslim. Hal ini juga membuat lanskap sosial keagamaan di Indonesia terus berjalan dinamis sesuai dengan konteks yang melingkupinya. (Editor: Rusydan Fathy)
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Aji, A. M., & Habibaty, D. M. (2020). Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 Sebagai Langkah Antisipatif dan Proaktif Persebaran Virus Corona di Indonesia. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 7(8), 673–686.
Alkaf, M. (2020). Agama, Sains, dan Covid-19: Perspektif Sosial-Agama. MAARIF, 15(1), 93–108.
Arrobi, M. Z., & Nadzifah, A. (2020). Otoritas Agama di Era Korona: Dari Fragmentasi Ke Konvergensi? MAARIF, 15(1), 197–215.
Arsad, M. (2020). Efektivitas Rukhshah dalam Pelaksanaan Ibadah Masa Pandemi Covid-19. Yurisprudentia: Jurnal Hukum Ekonomi, 6(1), 59–74.
Aula, S. K. N. (2020). Peran Tokoh Agama dalam Memutus Rantai Pandemi Covid-19 di Media Online. Living Islam: Journal of Islamic Discourses, 3(1), 125–148.
FATWA NO 14 TAHUN 2020 – Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. (17 Maret 2020). Majelis Ulama Indonesia. https://mui.or.id/berita/27674/fatwa-penyelenggaraan-ibadah-dalam-situasi-terjadi-wabah-covid-19/
Ghofur, A., & Subahri, B. (2020). Konstruksi Sosial Keagamaan Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid-19. Dakwatuna: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, 6(2), 281.
Kiai, Media Siber, Otoritas Keagamaan: Aktivisme Dakwah Virtual Kiai Azaim di Era Pandemi Covid 19 | Islamika Inside: Jurnal Keislaman dan Humaniora. (n.d.). Retrieved December 24, 2021, from http://islamikainside.iain-jember.ac.id/index.php/islamikainside/article/view/94
Silfiah, R. I. (2020). Fleksibilitas Hukum Islam di Masa Pandemi Covid-19. Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 8(2), 74–90.
Wahid, M. I. (2020). Dari Tradisional Menuju Digital: Adopsi Internet oleh Nahdlatul Ulama selama Pandemi Covid-19. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 16(1), 73–84. https://doi.org/10.23971/jsam.v16i1.1745.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Firmanda Taufiq, S.S., M.A. merupakan seorang mahasiswa S3 Studi Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia juga menulis beberapa artikel jurnal yang sudah dipublikasikan, diantaranya yakni Hegemoni Amerika Serikat terhadap Arah Kebijakan Arab Saudi dalam Konflik Yaman Pasca Arab Spring 2011-2017 (ICMES, 2017), Media Sosial dan Gerakan Sosio-Politik Umat Islam di Indonesia (Fikrah, 2018), Arah Kebijakan Luar Negeri Rusia terhadap Kontestasi Iran dan Arab Saudi (MEIS, 2018), The Future of Turkey-United States Relations (ICMES, 2018), Teks dan Diskursus Otoritas Menurut Khaled M. Abou El-Fadl (Risalah, 2021), Kontekstualisasi Hadis tentang Jihad dan Relevansinya dalam Konflik Timur Tengah (Al-Quds, 2021) dan beberapa artikel jurnal lainnya. Ia juga menulis buku “Pos- Islamisme: Melihat Turki dalam Persimpangan Agama dan Politik” (Forum, 2020). Ia dapat dihubungi pada firmandataufiq@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial