[Masyarakat & Budaya, Volume 16, Nomor 7, April 2021]

Oleh Henny Warsilah (Peneliti PMB LIPI)

 

Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini telah dibikin heboh, ketika Pemerintah membuka izin investasi untuk minuman keras (miras) lewat penerbitan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi. Dalam perpres tersebut, salah satunya disebutkan bahwa industri minuman keras boleh dibangun di empat provinsi yaitu: Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Namun, setelah ramai dibicarakan masyarakat dan mendapat penolakan, akhirnya Presiden Joko Widodo mencabut beleid tentang investasi miras tersebut. Lampiran Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan minuman keras untuk daerah-daerah tertentu kemudian dicabut setelah presiden Jokowi menerima masukan dari sejumlah ormas seperti MUI, PBNU, Muhammadiyah, dan Ormas lainnya.

Mengapa Perpres Miras ini menjadi begitu diperbincangkan publik? Hal ini berakar pada perdebatan antara konsep Sumber Daya Manusia VS Miras, dalam konteks pembangunan masyarakat. Bagi kelompok penentang legalisasi miras, salah satu masalah krusial adalah isu keamanan. Miras kerap dianggap sebagai sebagian penyebab dari pertikaian antar suku dan kelompok pemuda. Namun, ada isu lain yang menjustifikasi upaya legalisasi miras. Di daerah-daerah seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua, miras telah menjadi industri rumahan. Hal ini rentan menjadikan miras tidak terkontrol peredarannya. Bentuk industri rumahan miras ini, menyulitkan adanya standar baku tentang kandungan alkohol. Dalam konteks tersebut, di satu sisi legalisasi miras dapat membantu pengetatan standar hiegenis alkohol. Pada sisi yang lain, legalisasi ini dikhawatirkan akan membuka peredaran miras lebih luas, berikut implikasi sosial lainnya. Untuk mengulas persoalan tersebut, artikel ini akan membahas kasus miras di Sorong, yang pernah menjadi daerah penelitian penulis.

Bahaya Miras

Wilayah Sorong, Papua Barat, dibanjiri oleh peredaran Miras Cap Tikus yang didatangkan dari daerah Minahasa, Sulut. Selain itu,  pasar miras setempat juga dibanjiri oleh miras lokal (MILO) produksi Papua sendiri, yang begitu digemari oleh para pemuda. Pada tahun 2019, ketika penulis berada di Sorong, terjadi perkelahian antar kampung yang diduga diakibatkan oleh konsumsi miras. Dua suku yang berasal dari kampung kampung berbeda di Kota Sorong saling serang, dan  akibatnya empat orang luka parah, dan tiga rumah rata dengan tanah. Mereka melakukan blokade di depan hotel untuk menyisir penduduk kampung lawan, yang berimplikasi pada kemacetan lalu lintas dan membuat para tamu hotel menjadi takut.

Sebenarnya, sudah ada sanksi hukum bagi para penjual, pengedar dan pedagang minuman keras, yaitu hukuman 15 tahun penjara. Namun, tradisi miras di Papua Barat ini, tetap menjadi salah satu sumber masalah. Minuman beralkohol disinyalir telah membunuh banyak Orang Asli Papua (OAP), karena dengan mengkonsumsi alkohol berlebihan membuat orang lepas kontrol dan tidak sadar diri. Menurut Gubernur Papua, Lukas Enembe,  sedikitnya setiap tahun sekitar 22 persen orang Papua meninggal karena miras (Kabarpapua.co, 2016). Begitu umumnya kebiasaan konsumsi Miras, sehingga dalam pergaulan di kota Sorong sering terdengar anekdot, “Di Papua, OAP yang kaya, akan tidur di pinggir jalan karena mereka mabuk miras, sementara di Jawa, kebalikannya, orang kaya tidur di kasur empuk dan yang miskin tidur di kolong jembatan.”

Miras dan Budaya   

Jika ditilik dari sejarahnya, miras di Papua sudah ada sejak tiga ribu tahun lalu. Peter Bellwood (1978) menyebutkan bahwa pendatang Austronesia adalah yang pertama mengenalkan minuman beralkohol. Minuman tersebut dibuat dari hasil sadapan pohon aren, nipah atau kelapa. Sementara itu, miras modern di Papua dipercaya diperkenalkan oleh tentara asing yang sempat ke Papua. Maka, kebiasaan minum alkohol muncul di kalangan orang Papua melalui kontak orang-orang kulit putih dari Eropa, Melayu dan orang Timor dari Tidore Ternate. Dalam konteks ini, orang-orang dari daerah pesisir Papua yang memiliki kontak dengan orang luar jadi lebih memiliki akses pada minuman alkohol.

Di Papua Barat hari ini, minuman cap Tikus dan milo ini dikonsumsi sebagai bagian dari gaya hidup kelompok muda, dan tradisi minum-minum di acara pesta adat. Semua pesta adat, mulai dari upacara inisiasi para pemuda, pesta pernikahan hingga kepada pesta pergantian tahun baru menyuguhkan miras. Suku Maybrat di Ayamaru (Papua Barat), misalnya, terbiasa mengkonsumsi arak atau ara dju saat menyambut tamu, atau merayakan sesuatu. Sedangkan, Suku Tehit di Teminabuan, Sorong (Papua Barat), memiliki segora yang dikenal sebagai minuman persaudaraan (Suroto, 2021).

Eratnya pertautan antara tradisi pesta adat dengan miras mungkin menjadi salah satu pendorong stereotip soal budaya minum miras di Papua. Kondisi di atas sesuai dengan pernyataan narasumber (Wawancara pada Juni 2019), mereka mengatakan ada kaitan antara Miras dengan tradisi adat. Setiap ada upacara adat, maka miras menjadi primadona, “Mereka akan tanya pertama-tama ada miras tidak? Jika ada miras maka pesta adat akan ramai dan jika tidak disediakan Miras maka pesta adat akan sepi.”

Padahal berdasar keterangan dari wawancara, pada masa lalu pesta adat tersebut tidak mewajibkan miras sebagai minuman pokok. Namun, kondisi sekarang menjadi terbalik. Sejalan dengan perkembangan zaman, miras saat ini telah beralih fungsi menjadi gaya hidup dan minuman yang paling digemari di acara pesta adat. Bahkan beberapa narasumber guru menyebutkan,

“Bukan hanya kelompok tua dan pemuda saja yang teracuni miras, adik-adik yang masih sekolah di sekolah dasar pun sudah kena imbasnya. Anak-anak SD di kota Sorong ini tidak sedikit yang melakukan kegiatan buruk, mereka minum miras dan ngibon atau ngelem.”Pada konteks ini, jadi demikian sulit memisahkan pesta adat dengan miras.

Larangan Miras

Peredaran miras sampai hari ini masih sulit dicegah oleh pemerintah daerah. Selain karena pertautan erat dengan pesta adat, juga disebabkan masih lemahnya supremasi hukum yang terkait dengan peredaran dan perdagangan miras. Sebetulnya, Peraturan Daerah tentang miras telah ditetapkan pada tahun 2013, yakni tentang pelarangan produksi, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol di Bumi Cendrawasih. Perda ini dijalankan tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 2016. Namun, meskipun sudah ada Perda, tetapi peredaran di hulu di daerah pengirim sulit untuk dihentikan. Kondisi ini mengakibatkan miras terus membanjiri kota Sorong.

Berdasarkan konteks tersebut, dapat dipahami jika Majelis rakyat Papua atau MRP, secara tegas menolak Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang produksi dan penjualan minuman keras di seluruh Tanah Papua. Penolakan ini juga diamini oleh Koordinator Solidaritas Anti Minunan Beralkohol dan Narkoba Provinsi Papua, Anias Lengka, yang menyatakan, “Di sini miras menjadi pemicu utama kematian OAP, maka kami menolak Perpres Nomor 10 Tahun 2021 (Mawel, 2021).”

Pada posisi ini, penulis setuju dengan keputusan untuk menolak legalisasi miras sesuai Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Jika persoalan miras di Papua Barat tidak diselesaikan secara baik, maka akan memperburuk kondisi dan kualitas SDM Papua, yang juga telah memiliki banyak masalah lain. Rendahnya kualitas SDM kota Sorong juga  punya andil dalam kalahnya OAP bersaing dalam perebutan lapangan kerja dengan para pendatang, terutama dari Bugis Makassar, Ambon, NTT dan Jawa.

Namun demikian, penutupan produksi miras di Papua dan daerah-daerah lainnya harus mempertimbangkan alternatif potensi ekonomi lainnya. Salah satu upaya untuk mengalihkan produksi miras adalah dengan  membangun industri baru non-miras dari air nira. Sebetulnya, air sadapan nira juga bisa dibuat dalam bentuk produk yang lain, misal gula aren. Air nira juga bisa dibuat produk asam cuka dan minuman segar, serta gula merah serbuk. Alternatif lainnya, juga bisa dengan mengembangkan potensi ekonomi kreatif lain, seperti produksi tenun ikat, makanan khas daerah, aksesoris, wisata lokal harus lebih digalakkan, dan dibantu pemasaran serta pendanaannya.

Di sisi lain,  juga perlu perubahan persepsi pertautan antara upacara adat dengan miras. Sebetulnya, sudah ada contoh kampung di Pegunungan Papua Jaya, yang menolak miras dan pesta adat yang menggunakan miras. Hal ini dapat menjadi preseden yang baik bagi upaya untuk meredam dampak buruk peredaran miras di Papua (Editor Ibnu Nadzir).

Referensi

Ilustrasi: Warta Ekonomi

Aditya, Rivan. 2021. Miras Papua dan Sejarahnya, Lifestyle, https://www.suara.com/lifestyle/2021/03/02/081645/miras-khas-papua-dan-sejarahnya?page=all)

Bellwood, Peter1978. “Man Conquest of the Pacific: The Prehistory of South East Asia and Oceania” . Canberra: Australian National University

Kabar Papua. 2021. https://kabarpapua.co/gubernur-papua-tiap-tahun-22-persen-orang-papua-mati-akibat-miras/

Kumparan. 2021. Industri Minuman Keras di UU Cipta Kerja diklaim tarik investor dan turis asing https://t.co/Eo02VBrlXg

Mawel, Benny. 2021. MRP Tolak Perpres Ivestasi Miras di Tanah Papua,  https://jubi.co.id/mrp-tolak-perpres-investasi-miras-di-tanah-papua/

Nurita, Dewi. 2021. Jokowi Cabut Beleid Investasi Miras, Mahfud: Bukti Pemerintah Tak Alergi Kritik – Nasional Tempo.co: https://bit.ly/3uOPUpu

Soroto, Hari. 2021. https://travel.detik.com/travel-news/d-5474748/sejarah-miras-di-papua

Warsilah, Henny dkk. 2019.Pembangunan Inklusf di Papua Barat. Penerbit: Yayasan OBOR Indonesia.

___________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

____________________________

Tentang Penulis

Henny Warsilah adalah profesor riset dan peneliti senior di PMB LIPI. Fokus kajiannya pada Sosiologi Perkotaan. Ia dapat dihubungi melalui email hennywarsilah@gmail.com.