[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 4, Mei 2022]
Oleh Syurawasti Muhiddin (Dosen Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin)
Kita sadari bahwa berbagai masalah lingkungan telah muncul bersamaan dengan masalah-masalah sosial yang dapat mengancam keberlanjutan hidup manusia. Berbagai faktor telah menyumbang pada persoalan-persoalan lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan sehingga menjadi penyebab yang kompleks. Meskipun faktor tersebut beragam, banyak peneliti yang menganggap bahwa gaya hidup manusia modern pada dasarnya berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, terutama melalui konsumsi yang berlebihan (Zelenski dkk., 2015). Sepanjang sejarah perkembangannya, manusia menyumbang pelepasan bahan-bahan kimia ke tanah, air dan udara (Nisbet dkk., 2009). Hal ini memberikan dampak berkepanjangan terhadap keseimbangan lingkungan alam dan bahkan sosial.
“Jika dunia ingin berubah menjadi lebih baik, dunia harus memiliki perubahan kesadaran manusia,” kata Presiden penyair Ceko, Vaclav Havel (1990). “Kita harus menemukan rasa tanggung jawab yang lebih terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih tinggi daripada diri sendiri.” (Myers, 2009).
Salah satu upaya yang bisa dilakukan sebagai individu dan kelompok adalah dengan mempromosikan dan mengimplementasikan perilaku berkelanjutan (sustainable behaviors), yaitu seperangkat tindakan yang bertujuan melindungi sumber daya baik fisik maupun sosial (Bonnes & Bonaiuto, 2002; Corral-Verdugo dkk., 2010). Beberapa contohnya antara lain: mengelola sampah, melindungi keanekaragaman hayati, mengurangi penggunaan alat elektronik, mengambil sumber daya alam sesuai kebutuhan dan mendistribusikan secara merata, serta menolong orang lain yang kekurangan (Tapia-Fonllem dkk., 2013). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa nilai-nilai yang diyakini termasuk nilai-nilai budaya dapat menguatkan kepercayaan, sikap pro-lingkungan dan perilaku berkelanjutan tersebut ( Gould dkk., 2018; Kim & Moon, 2012; Persson et al., 2015; Price dkk, 2014; Schultz dkk., 2005).
Sebagaimana kebudayaan pada umumnya, Bugis pun memiliki nilai-nilai utama yang dapat menguatkan perilaku berkelanjutan. Sebelum membahas mengenai nilai utama Bugis, memahami manusia Bugis harus dimulai dengan pengertian mereka mengenai apa yang dimaksud dengan Ade’ (diterjemahkan sebagai adat) sebab Ade’ adalah pribadi kebudayannya. Adat merupakan konsep kunci keyakinan orang Bugis yang mendasari segenap gagasannya mengenai hubungannya, baik dengan sesama manusia, pranata-pranata sosial, maupun dengan alam sekitarnya, bahkan dengan makrokosmos (Rahim, 2011). Adat tidaklah berarti hanya sekedar kebiasaan. Ade’ tersebut terwujud dalam watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-orang yang menjadi pendukungnya (Rahim, 2011). Nilai-nilai utama Masyarakat Bugis, termasuk Siri’ dan Pesse dapat ditanamkan dan dikuatkan melalui Ade’.
Dari akar budaya, Siri’ adalah nilai individualitas yang dimaknai sebagai kehormatan, martabat, dan harga diri yang bersifat sensitif dalam diri seseorang (Achmadhan, dkk., 2017; Marzuki,1995; Tamar, 2000). Dalam makna sehari-hari, Siri’ diartikan sebagai rasa malu. Siri’ salah satunya dapat dirasakan oleh individu sebagai akibat melanggar nilai-nilai utamanya (Rahim, 2011). Selanjutnya, Siri’ sebagai nilai individualitas selalu berpasangan dengan Pesse. Pesse dapat diartikan sebagai Siri’ yang meluas dan dirasakan bersama. Setiap individu dalam masyarakat harus saling memelihara dan menghormati martabat kemanusiaan satu sama lain untuk mencegah timbulnya perbuatan yang memalukan (mappakasiri’siri’), perasaan malu (masiri’), dan dipermalukan (ripakasiri’) (Rahim, 2011). Pesse juga dimaknai sebagai nilai solidaritas; timbul dari adanya empati dan rasa iba yang diwujudkan dalam kekerabatan dan persaudaraan dalam masyarakat serta dimotivasi oleh nilai Siri’ (Achmadhan, dkk., 2017; Pelras, 2006).
Bagaimana Siri’ dan Pesse dapat berperan dalam mempromosikan dan mendorong perilaku berkelanjutan? Pesan utama yang digaungkan adalah “kita malu pada diri sendiri apabila kita tidak bisa mewujudkan perilaku berkelanjutan. Dimana letak harga diri kita sebagai manusia yang mengambil keuntungan dari alam, lantas kita tidak memeliharanya?” Gagasan ini merefleksikan nilai Siri’ tersebut. Lebih lanjut, “Sebagai manusia, dengan didasarkan pada solidaritas, kita harus saling tolong menolong baik untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain maupun bersama-sama dalam memelihara alam tempat kita mengambil kebutuhan hidup itu demi keturunan kita nantinya”. Pesan ini menunjukkan bagaimana perilaku berkelanjutan, khususnya perilaku menolong dan perilaku adil.
Dengan demikian, seseorang yang menganut nilai Siri’ dan Pesse akan merasa malu (masiri’) pada diri sendiri dan masyarakat apabila berperilaku merusak alam serta sewenang-wenang dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan sumber daya (serakah). Perbuatan tersebut adalah perbuatan mappakasiri’siri (memalukan). Seseorang akan menganggap bahwa alam adalah bagian dari kehidupan sosialnya sehingga dengan semangat dari nilai-nilai tersebut, dia akan bertindak untuk memelihara lingkungan alam yang memiliki hubungan erat dengan lingkungan sosialnya.
Melalui Ade’, Siri dan Pesse dapat dikuatkan untuk mempromosikan perilaku berkelanjutan masyarakat Bugis. Pesan “malu secara bersama demi kehidupan yang akan datang” dapat dijadikan sebagai suatu tujuan Ade’ yang akan dicapai. Selanjutnya, pemangku Ade’ dapat membuat aturan-aturan legal atas nama Ade’. Secara logis, jika masyarakat Bugis melanggar Ade’ maka itu adalah tindakan mappakasiri’siri dan akhirnya menimbulkan rasa malu (masiri’) yang mengganggu harga diri dan martabatnya. Sebagai contoh, aturan-aturan pro-lingkungan dimasukkan menjadi bagian dari sistem adat. Masyarakat yang membuang sampah di sungai ataupun di lokasi tertentu dan masyarakat yang mengambil sumber daya hutan tanpa izin akan mendapatkan sanski adat yang lebih menonjolkan terganggunya martabat mereka yang kemudian menimbulkan rasa malu. Aturan untuk membagikan hasil sumber daya alam secara merata kepada semua kalangan masyarakat juga dapat dimasukkan sebagai aturan Ade’ yang merefleksikan nilai Pesse, apabila dilanggar akan membuat seseorang malu.
Berkaitan dengan Ade’, masyarakat juga mengenal istilah Pémmali yang secara umum dikenal sebagai ungkapan tabu. Istilah ini merupakan bentuk larangan untuk bertutur dan bertindak sesuatu yang tidak sesuai dengan adat dan aturan (Darmapoetra, 2014). Larangan tersebut dapat menjadi norma dalam hidup yang kemudian mencerminkan kepatuhan masyarakat Bugis pada sejumlah keyakinan yang telah ditanamkan leluhurnya. Dengan demikian, Pemmali dapat diungkapkan untuk mencegah masyarakat melanggar hukum adat dan hukum alam yang dapat membuat penguasa alam ataupun kekuatan gaib marah. Keyakinan ini dapat tercermin dalam berbagai ritual budaya Masyarakat Bugis yang tersisa dari kepercayaan orang terdahulu (tau riolo), yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme, seperti Mappanre Tasiq (sesajian untuk laut), Cera Labu (selamatan laut) dan tradisi Maccera’ Tappareng yang terkenal di Danau Tempe (Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan). Inti dari ritual-ritual tersebut adalah memohon keselamatan dan rezeki yang banyak, menolak bala dan murka penguasa alam, juga menjaga ekosistem danau dan laut serta kohesivitas sosial masyarakat nelayan (Mustamin, 2016). Pémmali juga dapat terlihat dari adanya wilayah-wilayah hutan adat yang tidak dapat diganggu oleh masyarakat setempat karena akan mengundang bala, yang pada akhirnya dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Oleh karena itu, Pémmali lebih lanjut dapat menguatkan nilai Siri’ dan Pesse melalui Ade’ dalam mendukung perilaku berkelanjutan.
Sebagai kesimpulan, Ade’ dapat dikuatkan untuk menghidupkan nilai Siri’ dan Pesse dalam masyarakat Bugis sebagai sumber kesadaran, motivasi dan kecenderungan untuk berperilaku berkelanjutan. Pémmali dapat menjadi upaya penguatan Ade’ untuk mendukung perwujudan nilai Siri” dan Pesse yang dapat mempertahankan kegiatan-kegiatan melestarikan hutan, laut, danau serta sumber daya alam lainnya. Ade’ dan nilai-nilai ini dipromosikan sebagai bagian dari inti budaya masyarakat Bugis yang tak terlepas dari kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian perilaku berkelanjutan dapat diwujudkan secara lebih mudah. Bukankah sesuatu akan lebih mudah diterima apabila dikaitkannya dengan nilai lokal yang notabene sudah dimiliki masyarakat tertentu? Tinggal bagaimana nilai tersebut dihidupkan kembali di kalangan generasi saat ini sehingga dapat diwariskan ke generasi berikutnya. (Editor: Dicky Rachmawan).
Referensi
Achmadan, F., Tamar, M., & Radde, H. A. (2017, August). Buginese self-construal in review of siri”and pesse’. In 8th International Conference of Asian Association of Indigenous and Cultural Psychology (ICAAIP 2017). Atlantis Press.
Bonnes, M. & Bonaiuto, M. (2002). Environmental psychology: from spatial-physical environment to sustainable development. In Bechtel, R. & Churchman. A. Handbook of Environmental Psychology (pp. 28-54). New York, USA: Wiley.
Corral-Verdugo, V., García, C., Castro, L., Viramontes, I., & Limones, R. (2010). Equity and sustainable lifestyles. In Psychological approaches to sustainability (pp. 185–204). Nova Science Publishers: New York, NY, USA.
Gould, R. K., Krymkowski, D. H., & Ardoin, N. M. (2018). The importance of culture in predicting environmental behavior in middle school students on Hawaiʻi Island. PLOS ONE, 13(11), e0207087. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0207087
Darmapoetra, J. (2014). Suku Bugis Pewaris Keberanian Leluhur. Makassar: Arus Timur
Kim, K. W., & Moon, S. G. (2012). Determinants of the pro-environmental behavior of Korean immigrants in the US. International Review of Public Administration, 17(3), 99–123.
Marzuki, M.L. (1995). Siri’’ : Bagian Kesadaran Hukum Rakyat BugisMakassar (Sebuah Telaah Filasafat Hukum). Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Mustamin, K. (2016). Makna Simbolis dalam Tradisi Maccera’Tappareng di Danau Tempe Kabupaten Wajo. Al-Ulum, 16(1), 246-264.
Myers, David G. (2009). Social Psychology 10th Edition. McGraw-Hill
Nisbet, E.K., Zelenski, J.M., & Murphy, S.A. (2009). The Nature Relatedness Scale: Linking individuals’ connection with nature to environmental concern and behavior. Environment and Behavior, 41 (5). Doi: 10.1177/0013916508318748.
Pelras, C. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.
Persson, J., Sahlin, N.-E., & Wallin, A. (2015). Climate change, values, and the cultural cognition thesis. Environmental Science & Policy, 52, 1–5. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2015.05.001
Price, J. C., Walker, I. A., & Boschetti, F. (2014). Measuring cultural values and beliefs about environment to identify their role in climate change responses. Journal of Environmental Psychology, 37, 8–20. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2013.10.001
Rahim, R. (2011). Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Ombak.
Schultz, P. W., Gouveia, V. V., Cameron, L. D., Tankha, G., Schmuck, P., & Franěk, M. (2005). Values and their Relationship to Environmental Concern and Conservation Behavior. Journal of Cross-Cultural Psychology, 36(4), 457–475. https://doi.org/10.1177/0022022105275962
Tamar, M. (2000). Pola pemaknaan etos kerja dalam sistem nilai budaya dan implikasinya terhadap kehidupan masyarakat Bugis. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Unhas, Makassar.
Tapia-Fonllem, C., Corral-Verdugo, V., Fraijo-Sing, B., & Durón-Ramos, M. (2013). Assessing Sustainable Behavior and its Correlates: A Measure of Pro-Ecological, Frugal, Altruistic and Equitable Actions. Sustainability, 5(2), 711–723. https://doi.org/10.3390/su5020711
Zelenski, J.M., Dopko, R.L. & Capaldi, C.A. (2015). Cooperation is in our nature: Nature exposure may promote cooperative and environmentally sustainable behaviour. Journal of Environmental Psychology, 42, 24 – 31. http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvp.2015.01.005
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Syurawasti Muhiddin saat ini aktif sebagai peneliti rekanan di Center for Indigenous and Cultural Psychology, Fakultas Psikologi UGM serta sebagai dosen junior di Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Psikologi lingkungan adalah topik dari penelitian tesis penulis. Penulis juga merupakan salah satu co-founder dan advisor pada Halo Jiwa Indonesia (Organisasi yang bergerak dalam bidang promosi dan edukasi kesehatan mental). Selain itu, penulis juga menjadi salah satu pengurus Yayasan Mata Garuda di bidang kesekretariatan (2020 – 2022). Penulis dapat dihubungi melalui: syurawasti@gmail.com.
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial