[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 3, Mei 2022]
Oleh Dwi Firli Ashari (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB Universitas Indonesia)
Pada era kontemporer, kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari kehadiran citra (image) yang ditampilkan secara masif seiring dengan perkembangan teknologi. Citra merupakan sebuah fantasi kolektif yang menyatukan pemikiran dari tontonan yang dihadirkan kepada masyarakat. Paparan mengenai citra berkaitan dengan pemikiran seorang filsuf asal Prancis, Guy Debord. Debord secara khusus membahas mengenai spectacle yang dapat kita lihat evolusinya pada era modern melalui media sosial, salah satunya TikTok. Spectacle merupakan pandangan global yang telah dimaterialisasi menjadi sebuah pandangan umum yang bersifat objektif. Spectacle bukanlah sebuah kebohongan, melainkan sebuah kesalahan tafsir (misinterpretation) yang kemudian dianggap sebagai kebenaran. TikTok hadir sebagai wadah baru dalam menggambarkan citra dari konten, berupa video singkat, yang bersirkulasi lengkap dengan nilai budaya (cultural value) yang terkandung di dalamnya.
Bentuk-bentuk spectacle yang diperlihatkan TikTok dapat tecermin dari konten yang diproduksi oleh para pemengaruh dengan tujuan tertentu, salah satunya Sisca Kohl. Akun TikTok milik Sisca, @siscakohl, telah memiliki 7 juta pengikut pada pertengahan Juni 2021. Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul setelah mengetahui banyaknya pengikut Sisca di TikTok adalah, “Siapakah Sisca Kohl? Lalu, konten seperti apa yang dimuat sehingga menarik banyak pengguna TikTok lain untuk mengikuti akunnya?” Pertanyaan-pertanyaan ini dapat menjadi awalan untuk membongkar peran Sisca sebagai pemengaruh di media sosial yang lekat dengan kehidupan masyarakat spectacle.
Sisca Kohl merupakan seorang pemengaruh di TikTok yang masih berusia muda. Dari penelusuran Kusuma (2021) diketahui Sisca merupakan perempuan keturunan Indonesia-Tionghoa yang berdomisili di Tangerang. Sisca mulai aktif di TikTok pada pertengahan 2018. Hingga pertengahan Juni 2021, ia telah mendapat like sebanyak 195 juta dari para pengguna lainnya. Melihat deskripsi profilnya, Sisca menyatakan bahwa konten yang dimuatnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu masak & mukbang (siaran ketika makan sesuatu), review & unboxing, serta yang berkaitan dengan ARMY (grup penggemar boyband BTS). Sekilas, konten yang dimuat dalam TikTok Sisca ini terlihat biasa. Namun, kehidupan Sisca sebagai orang dengan tingkat ekonomi yang sangat mapan diperlihatkan melalui konten yang dimuatnya. Tentu saja, konten ini tidak diproduksi tanpa alasan. Pada akhirnya, konten yang menunjukkan kekayaan Sisca ini kemudian menjadi viral dan menarik perhatian masyarakat. Inilah yang kemudian membuat peran Sisca Kohl sebagai pemengaruh dalam konteks masyarakat spectacle menarik untuk ditelisik lebih dalam.
Sumber: Tangkapan layar penulis
Berdasarkan tangkapan layar di atas, saya melihat setidaknya ada tiga hal penting yang diperlihatkan Siska Kohl dalam konten yang dibuatnya: makanan, kemewahan, dan kekonyolan.
Pertama, kebanyakan konten Sisca menampilkan makanan yang menjadi bahan utama dalam ramuan kontennya. Tentu saja, makanan yang dijadikan konten oleh Sisca berbeda dengan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia kebanyakan. Sisca membuat video dengan memuat makanan yang tidak lazim dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai contoh, Sisca membuat es krim dengan rasa-rasa aneh sebagai bahan konten videonya. Es krim ini dia buat sendiri dari mesin yang dihadiahkan oleh orang tuanya. Mesin es krim yang dibeli dengan harga mahal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan konten es krim dengan rasa-rasa yang tidak lazim, seperti nasi padang, kecap, atau seblak.
Berikutnya, Sisca juga memperlihatkan kemewahan dalam konten yang ia sajikan melalui TikTok-nya. Sisca memperlihatkan kemewahan ini dengan membuat konten ulasan makanan mahal, termasuk makanan yang dibelinya dari luar negeri. Makanan yang dimuat oleh Sisca dalam kontennya merupakan makanan mewah dengan harga yang fantastis. Sebagai contoh, Sisca membuat video tentang caviar (telur ikan sturgeon) seukuran kaleng kecil seharga 20 juta rupiah. Makanan mewah lain yang dipamerkan Sisca dalam kontennya adalah buah mangga asal Jepang seharga 8 juta rupiah dan hewan laut uni (bulu babi) seharga 10 juta rupiah. Selain makanan, latar video berupa rumah yang sarat akan kemewahan pun diperlihatkan oleh Sisca. Latar video Sisca berupa kamar dan/atau bagian rumah lain dengan arsitektur dan barang-barang mewahnya juga memperlihatkan bahwa Sisca bukanlah masyarakat dari kelas menengah ke bawah. Hal ini yang menggenapi unsur kemewahan yang tecermin dalam konten yang dimuat oleh Sisca.
Hal terakhir yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari konten Sisca Kohl adalah kekonyolan. Sisca memberikan citra yang berbeda dari pemengaruh lainnya, seperti Atta Halilintar, Ria Ricis, bahkan Baim Wong. Sisca membuat citra diri sebagai seseorang yang konyol ketika membuat konten di TikTok-nya. Hal ini terlihat dari penggunaan suara Sisca yang seolah-olah dibuat seperti anak kecil dengan cara berbicara yang khas. Selain itu, Sisca juga memiliki jargon, “Mari kita coba …” yang menjadi ciri khasnya ketika membuat atau mengulas makanan yang dituangkan dalam kontennya. Selain itu, konten yang dimuat Sisca dalam beberapa bulan terakhir juga memperlihatkan kekonyolan yang tentu saja dibalut dengan kemewahan. Dalam salah satu videonya, Sisca bertindak seolah-olah dirinya adalah penjual nasi goreng tek-tek, lengkap dengan gerobak yang digunakan untuk menjual makanannya. Bersama adiknya, mereka memainkan peran sebagai pembeli dan penjual nasi goreng. Uniknya, nasi goreng yang dijual Sisca ini dihargai 400 juta rupiah. Lalu, adiknya datang sebagai pembeli untuk membeli nasi goreng tersebut dan membayarnya secara tunai. Hal-hal inilah yang menunjukkan cara-cara Sisca membangun citranya sebagai seseorang yang kaya raya melalui kekonyolan yang ia tampilkan.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, “Bagaimana pengguna TikTok atau media sosial lainnya merespons fenomena Sisca Kohl ini?” Tren yang menunjukkan makanan, kemewahan, dan kekonyolan ini diperlihatkan melalui konten para pemengaruh yang terlihat memiliki segalanya. Hal ini sesuai dengan apa yang diinginkan oleh spectacle. Spectacle menginginkan afirmasi yang universal terhadap status quo melalui citra yang ditampilkan dalam konten itu. Di sisi lain, mayoritas masyarakat yang hidupnya kurang beruntung menjadi ingin mencoba mereplikasi kehidupan dari minoritas masyarakat yang sukses karena representasi yang dipertontonkan secara terus-menerus. Hal ini terlihat dari banyaknya parodi yang dibuat untuk meniru konten Sisca, seperti yang ditampilkan dalam tangkapan layar berikut ini:
Sumber: Tangkapan layar penulis
Berkaitan dengan contoh di atas, spectacle di TikTok juga membuat masyarakat hanya bisa menerima secara pasif konten yang dimuat di media sosial ini. Penerimaan pasif ini terjadi karena adanya monopoli penampilan yang dilakukan. TikTok sebagai media sosial merupakan sarana yang pas bagi para pemengaruh untuk mempertontonkan penampilannya. Namun, sangat disayangkan, hal ini kemudian menjadi monopoli mereka ketika menyajikan konten yang dapat dilihat oleh masyarakat luas. Hal ini tentu berhubungan dengan konteks sosial dan ekonomi yang memperlihatkan kesenjangan antara masyarakat luas dan para pemengaruh. Oleh karena itu, para pengguna TikTok lain sering kali hanya bisa melihat tanpa memiliki kesempatan untuk membalas atau merepresentasikan hal yang lain selain apa yang diperlihatkan oleh para pemengaruh. (Editor: Rusydan Fathy)
Referensi
Dunia 360. (2021, March 12). Parodi Review Makan Harga Jutaan Ala Sisca Kohl Bikin Bengek Hyung [Video file]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=jzSTeTrI5wE
Kohl, S. [@siscakohl]. (n.d.). Masak&Mukbang [TikTok profile]. TikTok. Retrieved June 20, 2021, from https://www.tiktok.com/@siscakohl
Kusuma, D. W. (2021, April 3). Sisca Kohl. Lampung Post, p. 6.
PlasticPills. (2019, July 16). Society of the Spectacle: Influencers & Guy Debord [Video file]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=lM6Uf0UxKuw
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Dwi Firli Ashari adalah seorang mahasiswa tingkat akhir pada program Pascasarjana Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Ia mengambil peminatan Cultural Studies sebagai bidang ilmu yang dipelajarinya. Saat ini, ia sedang menulis tesis yang membahas tentang identitas diaspora Indonesia melalui platform TikTok. Dwi tertarik melakukan riset mengenai diaspora studies, marginalized community, gender studies, dan popular culture and everyday live. Email: dwi.firli@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial