Oleh Muhammad Luthfi (Kandidat Peneliti PMB LIPI)

Berbagai khazanah adat istiadat dan kebudayaan menghiasi keragaman masyarakat Indonesia. Salah satu bentuknya adalah kepercayaan lokal yang tidak jarang berasal dari daerah-daerah yang memiliki keindahan alam yang memesona. Salah satunya adalah kawasan ziarah Godog yang berlokasi di Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Beberapa waku yang lalu, saya beserta keluarga pergi mengunjungi tempat itu.  Lokasinya berada di atas puncak gunung dan untuk mencapainya harus melewati puluhan anak tangga yang sangat menantang bila sedang turun hujan. Meskipun demikian, walaupun sedang hujan atau hari telah larut malam, kawasan itu tidak pernah sepi dari pengunjung yang ingin berziarah. Banyak orang yang penasaran, mengapa tempat itu selalu ramai oleh pengunjung, baik dari daerah Jawa Barat maupun luar Jawa Barat bahkan dari mancanegara. Sebenarnya apa yang menjadi daya tarik dari tempat ini? Mari kita bahas satu per satu.

Selain menyajikan keindahan alam hutan pegunungan dengan pepohonannya yang tinggi-tinggi dan besar, sawah yang hijau menghampar, serta udara yang sejuk menyentuh badan, daerah wisata ziarah Godog memiliki nilai sejarah lokal. Wilayah ini menjadi penting karena Godog adalah tempat ziarah makam dari seseorang yang konon adalah penyebar Islam di wilayah tersebut. Adalah Prabu Kiansantang, yang oleh masyarakat setempat disebut Syeikh Sunan Rohmat Suci, dimakamkan di wilayah itu. Menurut sejarah lokal Jawa Barat, Prabu Kiansantang adalah putra dari Prabu Siliwangi—Raja Padjadjaran—dengan istrinya yang bernama Ratu Subanglarang. Dalam keyakinan setempat, Prabu Siliwangi digambarkan beragama Hindu sedangkan istrinya beragama Islam. Diceritakan bahwa ketika Kiansantang telah dewasa, ia pergi ke Mekkah untuk ibadah haji dan pulang kembali membawa sewadah tanah. Sepanjang perjalanannya menelusuri wilayah-wilayah Nusantara, tanah tersebut berceceran. Setiap wilayah yang kedapatan ceceran tanah tersebut menjadi tempat lahirnya para wali sanga. Di tengah perjalanan menuju Gunung Suci di Garut, tanah yang dibawanya bergoyang atau ngagodeg dalam bahasa Sunda. Dari situlah nama Godog muncul, maka dari itu Prabu Kiansantang yang menyebarkan Islam di wilayah tersebut mendapat panggilan Syeikh Sunan Rohmat Suci atau Sunan Godog.

Sumber gambar: Sumber gambar : http://rijalmaulana.com/makam-raden-kian-santang-kurang-nyaman-gara-gara-ini/

Di Godog, terdapat sembilan makam, satu makam milik Prabu Kiansantang dan delapan lainnya milik pengiring-pengiringnya pada masa itu. Makam-makam tersebut ditata dengan letak berurutan dimulai dari pengiring pertama hingga ke delapan, kemudian ke makam utama atau makam Sunan Rohmat Suci yang berada di atas gunung. Makam utama berada di dalam sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang ditutupi cungkup kain, beratap genteng, berdinding tembok, dan berpintu kayu. Di samping kanan makam terdapat ruangan tempat menyimpan gundukan tanah keramat yang diyakini warga pernah dibawa Sunan Godog dari tanah Suci Mekkah. Setiap tahunnya, pengunjung paling ramai datang ke makam Godog sekitar tanggal 10-16 Ma­u­lud. Puncaknya berada pada malam tan­ggal 14 Maulud, di mana setiap tanggal itu selalu diadakan acara ritual “Lung­sur Pusaka“. Pada intinya, upacara ritual dimaksudkan sebagai ungkapan rasa penghormatan dari masyarakat terhadap Sunan Godog, karena jasanya yang telah menyebarkan agama Islam di tatar Garut. Ungkapan rasa hormat direalisasikan dengan cara ‘’ngamumule’’ (memelihara dan merawat) benda pusaka peninggalan Sunan Godog seperti berbagai jenis keris, kitab Al Qur’an, jubah, pedang, dan lain-lain. Benda-benda pusaka ini diturunkan dari dalam peti yang disimpan di atas sebuah ruangan pada bangunan makam, kemudian dibuka penutupnya dan dikeluarkan satu per satu untuk dicuci dengan air bunga dan digosok dengan minyak wangi oleh juru kunci supaya tidak berkarat. Selain itu, juga dipertunjukkan berbagai kesenian asli Garut seperti adu ketangkasan domba Garut.

Selain makam keramat, terdapat pula penginapan, musholla, toilet umum, warung makan dan warung kopi yang tersedia di wilayah ziarah tersebut. Terdapat pula kolam pemandian yang berada di puncak gunung namun tidak dibuka untuk umum. Konon, hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke wilayah kolam. Dari penuturan sang juru kunci, wisata ziarah Godog ini merupakan salah satu tempat ziarah yang kerap dikunjungi oleh para kalangan elite pemerintah maupun pengusaha, terutama bagi yang masih percaya hal gaib untuk melanggengkan kekuasaannya. Golongan ini biasanya memiliki seorang guru spiritual yang mengarahkan kegiatan ziarahnya, seperti tempat ziarah yang harus dikunjungi maupun waktu baik untuk ziarah. Bahkan beliau menyebutkan bahwa seorang tokoh nasional yang memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian di negeri ini, rutin datang ke Godog untuk mandi di kolam pemandian keramatnya. Memang, di wilayah Pulau Jawa agama Islam telah lama bersinkretisasi dengan kepercayaan lokal yang sudah ada terlebih dahulu. Karena saat Islam masuk ke wilayah Nusantara—Jawa khususnya—sesungguhnya Islam sedang berada di periode kemunduran kekuasaan. Serangan tentara Mongol pada tahun 1258 M kepada Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah khususnya serangan ke Ibukota Baghdad, menyebabkan hancurnya pusat peradaban dan keilmuan Islam yang sudah berdiri selama 500 tahun. Kemudian tipologi penyebaran agama Islam di Nusantara yang terjadi sekitar abad ke-15 pun menjadi bersifat fleksibel dan adaptif terhadap unsur-unsur lokal, karena kekuatan Islam secara politik saat itu sedang melemah (Hamka, 1958).

Sumber gambar : http://eror233279.blogspot.co.id/2012/11/upacara-dalam-adat-sunda-di-garut.html

Terlepas dari berbagai hal di atas, bagi saya pribadi sebagai seorang akademisi, wisata ziarah seperti ini membuka kemungkinan soal kritik sosial. Beberapa tempat ziarah yang saya kunjungi memiliki pola yang sama. Ketika saya datang ke Godog, saya langsung disambut oleh beberapa warga setempat yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu yang meminta ‘infak sodaqoh’ kepada saya atau pengunjung lain. Mereka meminta secara agresif, bahkan tidak jarang dengan memaksa, dan menghadang jalan pengunjung yang akan berziarah. Jika sudah begitu, seseorang yang niat awalnya ingin beribadah secara khusyu’ pun jadi terganggu. Yang tadinya ingin beramal dengan ikhlas jadi agak ‘menyimpan perasaan kesal’ akibat anak-anak kecil yang menarik-narik baju. Para pengunjung yang biasa ziarah pun pasti tahu harus menyiapkan beberapa uang receh untuk diberikan kepada mereka. Hal yang serupa juga saya alami ketika berziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon. Bahkan, masyarakat setempat memasang sebuah papan kayu di jalan masuk menuju makam yang bertuliskan “Bersodaqoh adalah sebagian dari iman, petuah Eyang Sunan Gunung Jati” yang seakan-akan menjadi legitimasi untuk masyarakat setempat meminta-minta uang, walaupun kalimat tersebut adalah nasihat yang baik untuk pengunjung.

Hal itu harusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah setempat, karena tidak seharusnya terjadi peristiwa itu berulang-ulang. Padahal wilayah ziarah Godog telah menjadi bagian dari pariwisata kota dan pengunjung dikenakan Rp1.000 untuk retribusi daerah. Namun, pengelolaan serta pembangunan fasilitasnya terkesan lambat. Apalagi bila wilayah pegunungan Godog harus dirusak dengan sampah berserakan yang berasal dari pengunjung dan warga setempat, sangat disayangkan. Akomodasi ke puncak gunung yang selalu licin saat hujan pun tidak menjadi perhatian utama. Banyaknya para pejabat dan pengusaha yang berziarah ternyata juga tidak menjamin tempat tersebut mendapat sumbangan perbaikan yang memadai. Pemerintah daerah setempat juga harus memikirkan bagaimana memberdayakan masyarakat di kawasan ziarah, agar tidak memanfaatkan kata ‘infak sodaqoh’ untuk meminta sumbangan kepada para pengunjung. Hal ini ironis mengingat secara normatif ajaran Islam melarang umatnya untuk mengemis. Meskipun begitu, kritik-kritik yang saya kemukakan di atas tidak menghalangi individu-individu yang ingin mencari kepuasan spiritual rohani, terlebih lagi jika tempatnya begitu tenang dan sejuk, seperti di Godog. (Editor: Ibnu Nadzir/ Penyelaras akhir: Ranny Rastati)

Referensi

Hamka. 1958. Sejarah Umat Islam Jilid II. Jakarta: Bulan Bintang

http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=112&lang=id, diolah dengan pengalaman pribadi

Gambar unggulan: http://www.pikiran-rakyat.com/wisata/2017/06/27/wisata-religi-di-makam-godog-garut-403985

_______________________________________

Tentang Penulis

Saya, Muhammad Luthfi, adalah CPNS LIPI 2018, Kandidat Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI. Saya menyelesaikan S1 jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia. Selama berkuliah, sejak tahun 2013 – 2015 saya aktif menjadi pengajar mata pelajaran Ilmu Sejarah tingkat SMA untuk Bimbel Rupin KSE UI. Tahun 2015 saya pernah menjadi tenaga ahli sejarah untuk proyek Desain Ulang Museum DPR RI, dan di tahun 2016 saya juga menjadi tenaga ahli sejarah untuk proyek Pembangunan Museum BPK RI. Untuk korespondensi, saya bisa dihubungi di alamat surel ananda.aprilian@gmail.com.