Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)
Selama puluhan dasawarsa, industri populer dunia dikuasai oleh produk keluaran Amerika Serikat (Hollywood) dan Jepang (Anime). Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Korea Selatan yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi baru Asia, mencuat sebagai salah satu alternatif budaya populer. Berbagai produk Korean Wave seperti musik (K-pop), drama (K-drama), film (K-film), fesyen (K-fashion), makanan (K-food) dan kecantikan (K-beauty). Semuanya merupakan bentuk industri kebudayaan yang berdasarkan pada produksi dan penyebaran seni, cerita rakyat dan adat istiadat. K-drama pertama yang meraih kesuksesan internasional adalah Star in My Heart (1997) yang meraih rating fantastis di China (Sung, 2008: 14). Sementara itu, K-drama yang memecahkan rekor dengan mengumpulkan 15% pemirsa Jepang adalah Winter Sonata (Mori, 2008: 130).
Awal kepopuleran Korean Wave di dunia terjadi ketika artis Korea Selatan baik itu K-drama maupun K-Pop mulai mendapatkan perhatian dari anak muda di Jepang, Cina, Hongkong, dan Taiwan, kemudian berlanjut di Asia Tenggara dan Pasifik (Maliangkay, 2007: 2). Kombinasi antara penampilan yang menawan, koreografi yang apik, dan gaya yang santun atau tidak senonoh serta sesuai moral ajaran Konfusianisme menjadi alasan utama bintang K-pop menarik perhatian banyak penggemar (Maliangkay, 2007: 2).
Sebagai bangsa yang mengalami periode kolonialisme, perang saudara, dan opresi budaya dari Jepang, Korea Selatan mampu mengatasi marginalitas budaya yang dialami melalui Korean Wave (Cho, 2005: 173–174). Seperti yang dikutip dari Cho, “To the people of a ‘marginal country’, who had for so long lived under the oppressive vulture of other countries, the news that their own culture was influencing other countries’ cultures could have been nothing other than amazing and wonderful”
Korean Wave di Indonesia
Beberapa windu belakang, drama seri asal Korea Selatan mulai menempati posisi di hati pemirsa Indonesia. Endless Love merupakan salah satu penanda awal demam Korea di Indonesia. Sejak ditayangkan di Indosiar tahun 2001, drama Korea lainnya makin marak disuguhkan di televisi nasional Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Winter Sonata tayang di SCTV pada tahun 2002, Dae Jang Geum atau Jewel in Palace yang tayang di Indosiar pada tahun 2005, Boys Over Flower tayang di Indosiar dan RCTI pada tahun 2009, Personal Taste tayang di Trans7 pada tahun 2010, Descendants of the Sun yang tayang di RCTI tahun 2016, dan Goblin tayang di Global TV tahun 2017.

Hubungan Indonesia dan Korea Selatan mengalami peningkatan signifikan setelah ditandatanganinya Joint Declaration on Strategic Partnership oleh Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Korea Selatan ke-9, Roh Moo Hyun, pada tanggal 4 Desember 2006 di Jakarta (KBRI Seoul, 2014). Deklarasi ini bertujuan mempromosikan persahabatan dan kerjasama kedua negara pada abad 21 khususnya untuk tiga pilar kerjasama di bidang i) politik dan keamanan, ii) ekonomi, iii) sosial budaya. Dalam bidang sosial budaya, kedua negara aktif menyelenggarakan berbagai promosi budaya seperti Korea Indonesia Festival (2014), Korea-Indonesia Film Festival (2014), Korea-Indonesia Week Festival (2014), Jakarta Seoul Festival (2015) dan Indonesia Preliminary K-pop World Festival (2016).
Pengaruh Korean Wave terhadap Pariwisata Korea Selatan
Perkembangan Korean Wave secara langsung memengaruhi pariwisata Korea Selatan. Pada tahun 2004 kunjungan wisata sebagai efek dari Korean Wave mencapai pemasukan 825 juta dollar, sementara tahun 2011, pemasukan pariwisata sebesar 937 juta dollar berasal dari pengaruh K-drama (Kim dkk, 2009). Di Hongkong bahkan sebanyak 28.3% orang yang berkunjung ke Korea Selatan menyatakan terpengaruh oleh K-drama, angka itu masih lebih kecil dibandingkan jumlah wisatawan Hongkong yang berkunjung ke negeri ginseng karena K-food (Oxford Economics, 2014: 13). Meskipun sebenarnya ketertarikan terhadap K-food juga merupakan pengaruh dari K-drama.
Sebelum fenomena Korean Wave merebak di seluruh dunia, Korea Selatan bukanlah tujuan wisata yang populer. Sebab, Jepang dan Cina adalah destinasi wisata Asia yang lebih dikenal. Berkat pesona Korean Wave terutama K-pop dan K-drama, Korea Selatan berhasil menyusul Jepang menjadi salah satu negara tujuan wisata Asia yang populer di dunia. Wisatawan paling banyak mengunjungi lokasi pembuatan K-drama yang mereka lihat di layar kaca. Selain itu, menurut Direktur Divisi Usaha Wisata Korea Tourism Organization (KTO), Oh Je Seong, destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi adalah objek wisata budaya, Namsan Tower, wisata belanja, dan kota Seoul. Ibukota Korea Selatan itu bahkan menjadi kota ke-sembilan yang paling banyak dikunjungi wisatawan di dunia (Khoiri, CNN Indonesia, 12 Februari 2017).
Untuk mempromosikan budayanya ke seluruh dunia, pemerintah Korea Selatan bekerja sama dengan stasiun televisi seperti KBS, SBS, MNet, dan tvN. Stasiun televisi itu secara berkala menayangkan K-drama terbaru tidak hanya di Korea Selatan tapi juga di negara lain seperti Indonesia, Jepang, dan China. Menurut data statistik pariwisata Korea Selatan yang dikeluarkan oleh KTO, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Korea Selatan pada tahun 2016 pun berjumlah 17.2 juta jiwa, dengan kata lain, naik 30.3% dari tahun 2015 yang berjumlah 13.2 wisatawan (Mustafa, CNN Indonesia, 15 Februari 2017). Sementara itu, menurut Duta Besar Republik Korea, Kim Chang Beom, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Korea Selatan periode Januari-Juli 2018 terhitung 139.839 orang atau naik 12% dari tahun sebelumnya (Ika, Kompas, 16 Oktober 2018).
Beberapa alasan yang melatarbelakangi peningkatan kunjungan wisatawan yaitu destinasi wilayah Asia dianggap lebih aman daripada Eropa yang terjadi kasus-kasus teroris dan pengaruh Korean Wave salah satunya terlihat dari suksesnya drama Korea Descendants of the Sun yang tayang pada tahun 2016 (Prodjo, Kompas, 4 Agustus 2016). Promosi tiket perjalanan wisata dan pembukaan rute baru maskapai penerbangan Korean Air pun disebut sebagai aspek meningkatnya jumlah wisatawan ke Korea Selatan (Mustafa, CNN Indonesia, 15 Februari 2017).

“Drama Descendants of the Sun sudah mulai ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional di Indonesia. Dan mulai bulan Agustus sampai bulan September nanti video promosi pariwisata Korea yang dibintangi oleh Song Joong Ki akan sering muncul di beberapa stasiun televisi di Indonesia. Hal tersebut diharapkan dapat semakin menarik minat wisatawan Indonesia untuk berkunjung ke Korea,” kata Direktur KTO Jakarta, Oh Hyonjae dalam siaran pers.(Kompas, 4 Agustus 2016)
Peningkatan wisatawan asal Indonesia yang notabene mayoritas Muslim pun membuat Korea Selatan mulai berbenah dan mengkampanyekan diri sebagai destinasi wisata yang ramah Muslim. Menurut Direktur KTO, Oh Hyeonjae, seperti yang dikutip dari CNN Indonesia, “Indonesia, dengan jumlah penduduk 250 juta orang, merupakan negara berpenduduk terbanyak ke-empat di dunia. Penduduk mayoritas Muslimnya juga yang terbanyak di dunia. Bagi kami, Indonesia akan menjadi pasar yang besar bagi industri pariwisata kami.” (Mustafa, CNN Indonesia, 15 Februari 2017). Beberapa cara yang ditempuh seperti penyediaan tempat ibadah dan restoran halal yang berada di pusat perbelanjaan, stasiun, dan bandara. Di Seoul sendiri telah ada tujuh puluh restoran bersertifikat halal yang mayoritas berada di Itaewon, salah satu kawasan yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara (Khoiri, Detik News, 12 Februari 2017).
Korean Wave dan Soft Power
Korean Wave menjelma menjadi salah satu sarana diplomasi Korea Selatan dengan negara-negara lain. Korea Selatan termasuk dalam jajaran tiga puluh negara di dunia yang memiliki kekuatan soft power. Pada tahun 2018, negara ginseng ini menempati posisi kedua untuk negara soft power di Asia (The Soft Power 30, 2018: 88). Sementara itu, meskipun Indonesia belum memasuki jajaran 30 negara soft power terbesar dunia, namun Indonesia berhasil menempati posisi kesembilan untuk negara soft power tingkat Asia setelah Jepang, Korea Selatan, Singapura, China, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan India (The Soft Power 30, 2018: 88).
Tabel Peringkat Soft Power Dunia untuk Negara-Negara di Asia
Negara (sesuai abjad) |
2016 | 2017 | 2018 |
China | 28 | 25 | 27 |
Jepang | 7 | 6 | 5 |
Korea Selatan | 22 | 21 | 20 |
Singapura | 19 | 20 | 21 |
Sumber: Olah data dari The Soft Power 30 tahun 2016, 2017, dan 2018
Pemerintah Korea Selatan dianggap sukses dalam mempromosikan budaya populernya melalui media seperti drama, film, dan lagu. Fenomena Korean Wave tidak hanya muncul sebagai pengaruh budaya, tapi juga membuat Korea Selatan terlihat lebih ramah dan familiar di antara negara-negara Asia. Kesuksesan drama Korea sedikit banyak menunjukkan superiorisme dari drama Barat (Hollywood). Saat Asia mampu merepresentasikan dan menampilkan nilai-nilainya kepada khalayak banyak. Korean Wave memiliki kemampuan untuk mendominasi produksi dan distribusi produk budaya. Dengan kata lain, memiliki implikasi nyata pada kekuatan ekonomi Korea Selatan.
Budaya populer dan media secara berkala diidentifikasikan sebagai sumber soft power. Secara khusus budaya populer Korea digunakan sebagai kekuatan untuk mendorong produk budaya dan menaikkan perekonomian negara. Korea Selatan pun sukses melakukannya baik di level regional maupun internasional. Korean Wave kemudian menjadi refleksi kebanggaan nasional.
Seiring peningkatan perekonomian Korea Selatan melalui produk budaya populer, Korea Selatan kemudian mampu menjadi negara donor bagi organisasi internasional seperti WHO, Unicef, dan IVI dengan total 40 juta dollar dibandingkan tahun 2005 yang hanya 2 juta dollar. Dengan menjadi negara donor, Korea Selatan memiliki potensi besar untuk membangun soft power dan memberikan pengaruhnya bagi permasalahan dunia. (Editor: Ibnu Nadzir)
Referensi
Sumber gambar unggulan: https://quod.lib.umich.edu/i/iij/11645653.0002.102/–hallyu-20-the-new-korean-wave-in-the-creative-industry?rgn=main;view=fulltext
CHO, H.-J. (2005). Reading the ‘Korean Wave’ as a Sign of Global Shift. Korea Journal. 45(4), 147–182
Dewabrata, Wisnu. http://internasional.kompas.com/read/2013/10/21/0616412/K-Pop.Soft.Power.Korea.Selatan
Ika, Aprillia. “Pariwisata Korea “Booming”, Indonesia Perlu Tiru 7 Hal Ini, Kompas, 16 Oktober 2018
KBRI Seoul. (2014). Bilateral RI Korsel. http://www.kbriseoul.kr/kbriseoul/index.php/id/indokor diakses pada 9 Februari 2017
Khoiri, Ahmad Masaul. “Turis Muslim Meningkat, Korsel Siap Perbanyak Musala dan Tempat Makan Halal”, Detik News, 12 Februari 2017, https://travel.detik.com/international-destination/d-3420358/turis-muslim-meningkat-korsel-siap-perbanyak-musala-dan-tempat-makan-halal
Khoiri, Agniya. “Nol Komplain Jadi Langkah Korea Selatan Majukan Pariwisata”, CNN Indonesia, 12 Februari 2017, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170210150401-269-192646/nol-komplain-jadi-langkah-korea-selatan-majukan-pariwisata/ Kim, Bok-rae.(2015). Past, Present and Future of Hallyu (Korean Wave). American International Journal of Contemporary Research Vol. 5, No. 5; October 2015, p.154-160, http://www.aijcrnet.com/journals/Vol_5_No_5_October_2015/19.pdf
Kim, S., Long, P. and Robinson, M., (2009) “Small Screen Big Tourism: The Role of Popular Korean Television Dramas in South Korean Tourism” Tourism Geographies, Vol. 11, No. 3
Maliangkay, Roald H. (2007). The Myth of Soft Power: Selling Korean Pop Music Abroad. http://ieas.berkeley.edu/events/pdf/2007.10.05_Maliangkay.pdf
Mustafa, Ardita. “Indonesia Sumbang 295 Ribu Wisatawan ke Korea Selatan”, CNN Indonesia, 15 Februari 2017, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170214113236-269-193388/indonesia-sumbang-295-ribu-wisatawan-ke-korea-selatan/
Mori, Yoshitaka. “Winter Sonata and Cultural Practices of Active Fans in Japan: Considering MiddleAged Women as Cultural Agents.” East Asian Pop Culture: Analysing the Korean Wave. Ed. Beng Huat. Chua and Kōichi Iwabuchi. Hong Kong: Hong Kong UP, 2008. 127. Print.
Oxford Economics. (2014). The Economic Contribution of the Film and Television Industries in South Korea. Oxford: Oxford Economics
Prodjo, Wahyu Adityo. “Jumlah Turis Indonesia ke Korsel Meningkat. Ini Penyebabnya…”, Kompas, 4 Agustus 2016, http://travel.kompas.com/read/2016/08/04/050300927/Jumlah.Turis.Indonesia.ke.Korsel.Meningkat.Ini.Penyebabnya.
Sang-yeon, Sung. “Why Are Asians Attracted to Korean Pop Culture.” Ed. The Korea Herald. Korean Wave. Gyeonggi-do, Korea: Jimoondang, 2008. 11. Print.
The Soft Power 30. (2016). A Global Ranking of Soft Power. London: Portland PR Limited
The Soft Power 30. (2017). A Global Ranking of Soft Power. London: Portland PR Limited
The Soft Power 30. (2018). A Global Ranking of Soft Power. London: Portland PR Limited
_________________________________
Tentang Penulis
Ranny Rastati, often called Chibi, is a Researcher at Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). She received her bachelor’s in Japanese Studies at University of Indonesia and master’s in Communication Studies at University of Indonesia. Publications include popular books such Ohayou Gozaimasu (2014) and Korean celebrity: Daehan Minguk Manse (2015); articles journal on hijab cosplay (2015), cyberbullying (2016), Islamic manga (2017), media literacy (2018) and halal tourism (2018). Her research interests include cosplay, Japan and Korean pop culture, also media studies. Her current research topics are hijab cosplay as preaching Islam, cosplay as contents tourism and halal tourism that have been presented in the USA, Japan, and Southeast Asia. She also manages a nonprofit organization for social activity and voluntary service, Chibi Ranran Help Center (www.chibiranranhelpcenter.com), since 2013. Her works can be viewed via personal blog rannyrastati.wordpress.com. She can be contacted at ranny.rastati@gmail.com.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah