Oleh Bowo Sugiarto (Dosen Ilmu Politik Unsoed)

Diskursus tentang keberagaman agama di Indonesia pasca-Reformasi menghangat lagi. Salah satunya adalah berita tentang pemotongan nisan salib di sebuah makam yang terletak di Kotagede, Yogyakarta pada Desember 2018 silam. Kejadian itu menyedot perhatian publik karena diletakkan dalam konteks dugaan meningkatnya intoleransi di masyarakat kita. Meski tulisan ini sendiri tidak hendak mengomentari kejadian itu secara khusus, tetapi topik seputar kontestasi ruang yang berhubungan dengan tempat pekuburanpekuburan perlu dibicarakan dengan lebih bernuansa. Tulisan ini ingin menunjukkan sejumlah isu penting terkait topik kontestasi ruang pekuburan dengan perspektif yang lebih kaya.

Ruang Yang Politis

Dalam kasus ini, ruang menjadi salah satu bentuk sumber daya yang langka yang diperebutkan. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang kian melaju, ruang secara kuantitatif terbatas menjadi bernilai tinggi. Namun perlu juga dicatat bahwa ruang yang direpresentasikan dengan ketersediaan lahan tidak bisa direduksi menjadi semata bernilai secara material. Kuburan adalah salah satu contoh bahwa nilai ruang juga bernilai spiritual atau tradisi.

Oleh karena ruang bersifat terbatas dan berpotensi menimbulkan konflik, maka diperlukanlah aturan terkait penggunaannya. Dalam konteks masyarakat modern, negara lah yang memiliki otoritas untuk mengatur penggunaan ruang. Akan tetapi, kita juga paham bahwa komposisi masyarakat di sebuah negara atau daerah akan turut menentukan bentuk regulasi yang mengatur penggunaan ruang. Pendeknya, mereka yang dominan atau mayoritas (baik atas dasar kelas, agama, dan etnisitas) akan memiliki peluang yang lebih besar dalam menentukan regulasi baik formal dan/atau informal.

Penting dicatat bahwa kategori kelompok yang dominan ini tidaklah tunggal; misalnya, kelompok yang dominan secara ekonomi tidak serta merta adalah yang dominan secara agama. Dengan pemahaman demikian, kita akan mengerti bahwa meskipun negara berusaha menjadi “netral” terkait penggunaan ruang untuk pekuburan, budaya dan norma yang berlaku di masyarakat belum tentu sesuai dengan agenda negara. Untuk memahami hal ini kita harus mengerti bahwa identitas ruang tidak pernah netral.

Ruang Kuburan

Sumber gambar: https://awsimages.detik.net.id/customthumb/2012/06/13/10/makam.jpg?w=780&q=90

Identitas Ruang

Setiap ruang sosial pada dasarnya adalah hasil konstruksi manusia. Ketika manusia menempati atau menggunakan ruang, mereka menyematkan identitas kepadanya. Dengan kata lain, secara tidak langsung, manusia juga melakukan kategorisasi terhadap ruang. Orang beriman, misalnya, terbiasa mengategorikan ruang menjadi sesuatu yang sakral dan yang profan. Bagi mereka, ruang yang sakral biasanya akan bernilai lebih tinggi dibanding yang profan. Bahkan tidak sedikit orang beriman yang berani mengobarkan perang demi memperebutkan ruang yang sakral.

Sebagai salah satu bentuk ekspresi keagamaan, kuburan umumnya bernilai sangat penting bagi orang beragama. Meskipun mungkin tidak sampai memiliki derajat sakral, tetapi kuburan bernilai secara keagamaan dan tradisi. Misalnya, bagi banyak orang Hindu di Bali keberadaan tempat pekuburan desa adat merupakan salah satu aspek penting dari eksistensi mereka sebagai komunitas adat. Bahkan bagi orang yang masih hidup, kuburan juga mungkin bernilai sebagai pengingat keluarga mereka yang sudah meninggal atau wujud bakti untuk orangtua. Dalam konteks tertentu, tempat pekuburan juga dapat bernilai politis ketika menjadi salah satu penanda dari dominasi satu kelompok agama di sebuah desa atau daerah.

Dalam konteks inilah konflik antar kelompok agama terkait pekuburan dapat terjadi. Kelompok minoritas (yang juga mungkin adalah pendatang) menginterupsi dominasi identitas ruang warga mayoritas. Dengan demikian, asumsi saya adalah klaim atas identitas ruang menjadi salah satu faktor dari terjadinya konflik ruang pekuburan di Indonesia. Setidaknya dalam kasus konflik di Kotagede, indikasi yang terlihat adalah penduduk lokal mengklaim bahwa identitas agama tertentu melekat pada kampung itu, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap penggunaan tempat pekuburan di sana. Klaim yang menyatakan bahwa suatu kampung atau daerah memiliki identitas etnis atau agama tertentu bukanlah hal yang asing kita temui di Indonesia. 

Ruang Kuburan yang Semakin Padat

Sumber gambar: https://cdn-asset.hipwee.com/wp-content/uploads/2017/02/hipwee-20150126-tpu-karet-bivak.jpg

Penataan Ruang

Dalam perspektif hak kewargaan sebuah negara yang demokratis, setiap warga memiliki hak yang sama untuk mengakses tempat pekuburan umum yang dikelola oleh negara. Akses yang sama bagi semua agama terhadap pekuburan umum tentu tidak berarti tidak ada pengaturan sama sekali. Salah satu alasan adalah adanya perbedaan tradisi masing-masing agama yang memungkinkan terjadi konflik jika penguburan dilakukan secara bercampur di lokasi pekuburan yang sama. Contohnya adalah perbedaan ritual keagamaan antara umat Muslim dan Hindu di Bali.

Mayoritas umat Hindu di Bali mempraktikkan pembakaran mayat yang dikenal sebagai Ngaben. Dengan demikian, kebutuhan umat Hindu Bali akan tanah kuburan relatif hanya sebentar jika dibandingkan dengan umat Islam. Umat Muslim umumnya menggunakan tanah kuburan untuk jangka waktu yang lama, dalam beberapa kasus bahkan mungkin tak terbatas. Oleh karena itu, meskipun umat Muslim dibolehkan menggunakan tempat pekuburan di Bali, mereka mendapat bagian khusus yang terpisah dari tempat pekuburan dan ritual Ngaben umat Hindu. Sebab, jika kuburan untuk kedua umat ini dicampur begitu saja tanpa pembatasan yang jelas, maka umat Hindu akan dirugikan karena kebutuhan mereka akan tanah kuburan lebih sedikit dibandingkan dengan umat Muslim. Praktik seperti ini misalnya kita temukan di pekuburan Beng, Gianyar yang memiliki tempat khusus untuk umat Muslim. Tetapi, penting untuk dicatat bahwa di Gianyar, selain umat Hindu, di kota itu umat beragama lain umumnya tidak diijinkan untuk menggunakan tanah kuburan milik desa adat.

Selain di Bali, pembagian tempat pekuburan umum berdasarkan agama juga terjadi di Belanda. Menurut Kadrouch Outmany (2016: 91) sekitar seperempat dari total kota di Belanda menyediakan bagian khusus untuk umat Muslim di tempat pekuburan umum. Bahkan, beberapa kota di Belanda yang menyediakan bagian khusus untuk umat Muslim masih dapat diklasifikasikan berdasarkan alirannya. Sebagai contoh, di Westduin, Den Haag, pekuburan Muslim dibagi menjadi beberapa sub-bagian seperti untuk Muslim Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dan yang tidak berafiliasi ke aliran mana pun (Kadrouch Outmany, 2016). Demikian pula dengan Inggris yang memungkinkan sebuah tempat pekuburan umum untuk memiliki tempat untuk suatu agama, termasuk agama minoritas seperti Islam (Afiouni, 2014). Dengan demikian, pembagian sebuah tempat pekuburan umum menjadi beberapa bagian berdasarkan agama sangatlah dimungkinkan. Berbeda dengan kedua Belanda dan Inggris, secara umum Perancis (dengan pengecualiaan beberapa kasus), melarang simbol agama dan tempat khusus bagi kelompok agama di tempat pekuburan umum (Van den Breemer & Maussen, 2012). 

Di Indonesia, dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1987 tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman, kategori tempat pekuburan dibagi menjadi tiga. Pertama, Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang dikelola oleh pemerintah daerah atau desa disediakan untuk semua warga tanpa memandang agamanya. Kedua, Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) yang dikelola oleh badan sosial atau keagamaan. Ketiga, Tempat Pemakaman Khusus yang mengacu pada pekuburan yang memiliki nilai sejarah dan kebudayaan. Berdasarkan Pasal 4 PP di atas, dengan alasan ‘ketertiban dan keteraturan’, TPU dan TPBU perlu diatur berdasarkan masing-masing agama.

Seperti yang saya indikasikan sebelumnya, apa yang terjadi di Kotagede tampaknya bukan semata soal kuburan bagi orang yang berbeda agama dari mayoritas. Dari pemberitaan yang ada, isu utama adalah terkait dengan identitas keagamaan minoritas yang dilarang untuk ditampakkan di kuburan yang berlokasi di sebuah tempat yang diklaim memiliki identitas yang sesuai dengan kelompok mayoritas. Persoalannya adalah pelarangan itu dilakukan di TPU yang seharusnya bersifat inklusif untuk semua agama. Sementara, warga setempat mengklaim bahwa pengaturan kuburan minoritas seperti itu telah menjadi kesepakatan bersama.

Harus kita akui bahwa politik keragaman agama dan budaya di negara kita tidak persis sama dengan yang dipraktikkan di negara demokratis lainnya seperti di Barat. Meski demikian, prinsip dasar bahwa TPU yang dikelola oleh negara seharusnya dapat diakses oleh beragam ritual dan tradisi agama telah menjadi ketentuan peraturan perundangan. Pengakuan terhadap norma yang disepakati warga mayoritas tetap dapat dihargai sembari memberi bagian tempat bagi minoritas. Dengan demikian, sebuah tempat pekuburan umum semestinya dapat menampung semua agama, sekaligus menghargai norma yang berlaku di tingkat lokal. 

Referensi

Afiouni, N. (2014). The Death of Muslim Immigrants in Britain and France. Dalam Garbaye, R. & Schapper, P. (Ed). The Politics of Ethnic Diversity in the British Isles. Palgrave Macmillan, London. 74-89

Kadrouch Outmany, K. (2016). Religion at the cemetery Islamic Burials in the Netherlands and Belgium. Contemporary Islam, 10(1), 87-105.

Van den Breemer, R., & Maussen, M. (2012). On the viability of state-church models: Muslim burial and mosque building in France and the Netherlands. Journal of Immigrant & Refugee Studies, 10(3), 279-298.

Tentang Penulis

Bowo Sugiarto adalah staf pengajar di Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Ia menyelesaikan pendidikan S2 Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini, sedang menyelesaikan studi doktoral di Tilburg University, Belanda dengan fokus riset tentang Muslim pendatang dan politics of religious places di Gianyar, Bali. Penulis dapat dihubungi melalui email: bowosugiarto@gmail.com