[Masyarakat & Budaya, Volume 19, Nomor 13, Juli 2021]

Oleh Isna Maulida Ahmad (Mahasiswi Antropologi Sosial, Universitas Diponegoro)

Wacana  pluralisme dan multikulturalisme telah lama digaungkan sebagai cara pandang yang sudah seharusnya diimplementasikan oleh setiap warga Indonesia. Publik mulai membuka mata bahwa bangsa Indonesia tidak dibangun oleh satu golongan saja, tapi banyak pihak dengan beraneka ragam latar belakang turut memperjuangkan Indonesia.

Sikap pluralisme dalam beragama telah lama dicontohkan dan dilestarikan oleh masyarakat Jawa.  Masyarakat Jawa mempunyai kearifan lokal yang tersirat makna luhur untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Tanpa ada rasa berbeda, mereka dapat menuangkan kesetaraan dalam tradisi.

Masyarakat Jawa dikenal gemar melakukan pesta komunal. Sebuah pesta sederhana, kecil, formal, dan tidak dramatis yang disebut slametan –beberapa orang menyebutnya kenduren-.  Geertz dalam Religion of Java menempatkan slametan sebagai bagian dari aktivitas kaum abangan di Jawa. Dahulu slametan dianggap sebagai  bagian dari upacara keagamaan, namun sekarang slametan lebih dianggap sebagai adat atau budaya. Hal ini mengindikasikan adanya peminggiran kaum abangan dari ruang publik (Tarmizi Abbas, 2020).

Slametan biasanya dilakukan saat terjadi peristiwa peralihan dalam hidup (rites of passage). Dalam tahap ini masyarakat mengalami liminal atau posisi yang tidak jelas. Menurut Victor Turner (dalam Febby P Klarissa dkk., 2019), tahap dimana seseorang mengalami kondisi ambigu, yaitu ketika seseorang mengalami keadaan tidak di sini dan tidak di sana, namun berada di tengah–tengah. Sebagai contoh siklus ritual kelahiran. Sebelum lahir ke muka bumi, bayi berada di dalam rahim ibu sebagai makhluk individu (praliminal atau sebelum tahap transisi). Setelah sembilan bulan, ia lahir menginjakkan kaki di bumi. Di tahap inilah masyarakat melakukan ritual karena posisinya ambigu, berada di tengah–tengah peralihan dari seorang bayi individu dalam kandungan menjadi seorang bayi yang akan hidup secara sosial (liminal atau tahap transisi). Setelah melakukan ritual, ia menjadi seorang bayi yang akan masuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat (pascaliminal setelah tahap transisi).

Peristiwa peralihan tersebut menimbulkan situasi dan kondisi yang tidak bisa diprediksi. Ketidakpastian membuat masyarakat mengadakan ritual berupa slametan sebagai bentuk usaha mencegah hal-hal buruk dan mendatangkan kemungkinan terbaik di masa yang akan datang. Dengan adanya ritual, dapat mendatangkan rasa tenang pada kondisi psikologis masyarakat. Apabila ritual tidak dilakukan, masyarakat menjadi begitu cemas dan khawatir hal-hal buruk akan menimpa.

Selain dilakukan pada saat terjadi peristiwa peralihan, slametan juga dilakukan untuk menghadapi semua kejadian yang ingin diperingati. Sebagai contoh mimpi buruk, perayaan tokoh tertentu, permohonan terhadap penjaga desa, dan segala hal yang bisa dijadikan alasan untuk mengadakan slametan (Clifford Geertz, 1960). Walaupun jenisnya cukup banyak, slametan memiliki struktur yang sama. Hal ini bisa dilihat dari jenis hidangan yang disajikan, pembacaan doa menggunakan bahasa Arab, dan ada pihak sebagai perwakilan rumah menyampaikan hajat diadakannya slametan kepada tamu.

Tradisi Tingkeban

Salah satu slametan terkait dengan peristiwa kelahiran yang memiliki makna simbolik pluralisme ialah tingkeban. Tingkeban berasal dari kata dasar jawa tingkeb yang berarti tutup. Masyarakat juga mengenalnya dengan istilah mitoni berasal dari kata pitu (penyebutan angka tujuh  dalam bahasa Jawa). Tingkeban dilakukan saat seorang ibu mengandung bayi pertama di usia tujuh bulan.  Usia tujuh bulan dipilih karena bayi dianggap sudah manggon atau siap untuk keluar di dunia. Tujuannya tidak lain untuk mendoakan agar bayi bisa lahir dengan selamat (Khaerani dkk, 2017). Sebuah tujuan yang berawal dari ketidakpastian kondisi yang akan datang.

Tingkeban selalu dilakukan pada hari Sabtu yang dekat dengan bulan ketujuh kehamilan dan diselenggarakan di rumah ibu calon bayi. Hidangan menjadi bagian utama dalam tradisi tingkeban. Hidangan umumnya berbeda-beda disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan ritual, namun dalam beberapa hal juga terdapat beberapa hidangan yang sama di slametan yang berbeda.

Makna pluralisme tradisi tingkeban dapat dilihat dari hidangan yang disajikan. Makanan adalah unsur penting untuk menunjang slametan dan memiliki filosofi makna yang disepakati bersama. Kesepakatan tersebut telah menjadi nilai yang dianggap benar oleh masyarakat sehingga perlu dipertahankan. Bentuk pelestarian ialah dengan selalu memasukkan makanan-makanan tertentu ke dalam tradisi tingkeban, seperti bubur dan rujak legi. Masyarakat Jawa biasa menyebut makanan tersebut sebagai sarat (makanan wajib yang harus ada di tradisi tingkeban).

Makanan pokok masyarakat Indonesia, yaitu nasi tidak luput dari hidangan wajib tingkeban. Nasi yang digunakan meliputi nasi kuning dan nasi putih. Setiap tamu mendapat satu piring nasi. Wadah yang digunakan untuk nasi terbuat dari daun pisang yang direkatkan ujungnya menggunakan biting (semacam sapu lidi yang dipotong kecil-kecil). Nasi putih berada di atas nasi kuning. Nasi putih melambangkan kesucian, sedangkan nasi kuning berarti cinta atau kasih sayang.

Nasi dicampur dengan kelapa parut yang memiliki rasa gurih beserta ayam iris. Komponen makanan ini dimaksudkan untuk menghormati Nabi Muhammad dan juga dimaksudkan sebagai harapan keselamatan bagi tamu dan anak yang akan lahir. Terdapat dua buah pisang yang diletakkan di bawah sebagai bentuk sesajen bagi Fatimah “putri Nabi Muhammad”. Bagi kaum abangan, Fatimah dipanggil Dewi yang identik dengan  gelar dalam agama  Hindu.

Lambang dari tujuh bulan kehamilan terlihat pada tujuh tumpeng kecil nasi putih yang sekaligus melambangkan hajat-hajat lain, seperti menghormati hari ketujuh dalam satu minggu.  Terdapat pula sembilan bola nasi putih melambangkan Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Indonesia. Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang dimuliakan dalam tradisi tingkeban karena dianggap sebagai penemu tradisi-tradisi abangan, seperti wayang, slametan, dan lain sebagainya.

Di dalam wadah juga ada tumpeng nasi yang paling besar dibuat dari beras ketan sehingga mempunyai tekstur yang padat dan lebih susah dipotong daripada jenis tumpeng yang lain. Ini berarti supaya anak dalam kandungan bisa kuat dan sebagai bentuk memuliakan danyang. Danyang adalah penunggu desa  atau nenek moyang yang dianggap telah membuka lahan, walaupun sudah meninggal namun dianggap masih memiliki ikatan kuat dengan desa, sehingga warga senantiasa menghormati dalam berbagai bentuk slametan.

Tanaman dan buah-buahan juga dihidangkan, meliputi tanaman bumi dan tanaman langit. Tanaman bumi ialah segala jenis tanaman yang tumbuh di bawah tanah, seperti singkong. Sementara itu, tanaman langit ialah buah yang tumbuh bergantungan, seperti mangga. Keduanya dianggap mewakili tujuh tingkatan langit dan bumi.

Slametan yang berhubungan dengan kelahiran identik dengan sajian hidangan bubur. Tingkeban menghidangkan tiga jenis bubur, yaitu putih, merah (mengandung gula Jawa), dan campuran keduanya. Bubur putih bermakna air ibu, sedangkan merah melambangkan air ayah. Campuran keduanya disebut bubur sengkala berarti bubur malapetaka yang dianggap ampuh mencegah masuknya makhluk halus.

Salah satu hidangan tingkeban yang sangat khas ialah rujak legi. Rujak berisikan berbagai buah–buahan, cabai, bumbu, dan gula. Rujak hanya ada di tradisi tingkeban, tidak dijumpai pada jenis slametan lainya. Ada sebuah anggapan umum bahwa jika rujak memiliki rasa pedas, maka anak yang akan lahir berjenis kelamin perempuan sedangkan jika terasa biasa saja, anak yang akan lahir ialah laki-laki.

Konstruksi Pluralisme Hidangan

Bermacam hidangan yang disebutkan adalah unsur makanan yang paling umum ditemukan dalam tingkeban. Pada beberapa daerah Jawa mungkin saja hidangan yang disajikan bisa lebih banyak. Geertz (1960) mengatakan, bahkan seorang abangan yang berusia lanjut dapat menyebutkan hingga 50 jenis hidangan beserta cara pembuatan dan makna simboliknya.

Makna simbolik dalam hidangan tersebut merepresentasikan kepercayaan masyarakat Jawa. Dahulu kepercayaan masyarakat Jawa berupa animisme dan dinamisme, kemudian sebagian besar beralih menganut agama Hindu, Budha, hingga Islam yang sekarang menjadi kepercayaan mayoritas di Jawa. Kepercayaan terdahulu bagi masyarakat Jawa telah meresap ke dalam diri karena internalisasi yang begitu kuat sehingga bangunan proses kepercayaan tersebut, telah memberikan keseimbangan hidup yang lebih stabil.

Oleh karena itu, beragam kepercayaan sebenarnya telah menguasai tingkahlaku seseorang sehingga sulit untuk dihilangkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan kaum santri konservatif cenderung lebih lunak dalam menyikapi kepercayaan ini. Walaupun berlatarbelakang pesantren, mereka masih mengadakan ritus masyarakat Jawa.

Bangunan pluralisme agama tampak pada jenis hidangan. Jenis hidangan ayam dimaksudkan untuk menghormati Nabi Muhammad yang merepresentasikan kepercayaan umat Muslim. Mereka juga menghidangkan makanan yang ditujukan kepada danyang desa. Kepercayaan terhadap danyang sudah turun temurun. Masyarakat Jawa yang mempercayai danyang merepresentasikan kepercayaan animisme. Dua buah pisang ditujukan kepada Fatimah. Dalam bukunya, Geertz (1960) mengatakan abangan menganggap Fatimah sebagai Dewi Hindu karena mereka menjulukinya dengan istilah Dewi yang identik dengan sosok agung dalam agama Hindu.

Perpaduan antara agama Islam, Hindu, dan Jawa bercampur dalam satu ritus. Dalam pandangan masyarakat Jawa abangan, ketiga tokoh yang masing-masing mewakili kepercayaan yang berbeda dapat disatukan dalam makna simbolik tradisi tingkeban. Masyarakat tidak menganggap sebagai hal yang perlu dipermasalahkan.

Dari hidangan tradisi tingkeban memiliki makna simbolik bahwasanya setiap yang berbeda dapat bersatu. Makna itu menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki beragam kepercayaan beragama. Terlebih tradisi tingkeban merupakan slametan yang banyak dilakukan oleh abangan dan beberapa kaum santri konservatif.

Makna tradisi tingkeban memang menunjukkan sinkretisme sekaligus menggambarkan kondisi pluralisme agama di tanah Jawa. Mereka tidak menghilangkan begitu saja kepercayaan terdahulu      -kepercayaan asli, agama Ardhi hingga Samawi- dengan cara mengakulturasikan dalam berbagai tradisi. Makna pluralisme agama tersebut hendaknya tidak hanya menjadi sebuah ritus yang dilakukan secara turun temurun, tetapi juga dapat menjadi sumber refleksi yang kemudian diimplementasikan sebagai cara hidup sosial  di negara Indonesia (Editor Al Araf Assadalah Marzuki).

Referensi

Ilustrasi: moonlightshines

Abbas, T. “Menelusuri Jejak Terpinggirkanya Abangan”. CRCS (27 Februari 2020), https://crcs.ugm.ac.id/menelusuri-jejak-terpinggirkannya-abangan/ (diakses tanggal 12 Juli 2021)

Geertz, C. (1960). The Religion of Java. London: The University of Chicago Press.

Khaerani, A dan Faisal, E. E. (2019). Analisis Nilai–nilai dalam Tradisi Tingkeban pada Masyarakat Jawa di Desa Cendana Kecamatan Muara Sugihan Kabupaten Banyuasin. Jurnal Bhineka Tunggal Ika, 64-82

Klarissa, P.F, Setyobudi, I, Yuningsih Y. (2019). Analisis Liminalitas Pada Upacara Nyawen dan Mahinun di Dusun Sindang Rancakalong Sumedang. Jurnal Budaya Etnik, 23-40

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

_______________________________________

Tentang Penulis

Isna Maulida Ahmad adalah mahasiswi Antropologi Sosial di Universitas Diponegoro. Penulis tertarik pada kajian isu–isu sosial budaya masyarakat. Senantiasa belajar produktif menulis opini di beberapa media online. Penulis bisa dihubungi di isnamaulidaahmad@gmail.com.