[Masyarakat & Budaya, Volume 23, Nomor 21, November 2021]
Oleh Naurah Fakhriyah Ali (Mahasiswa Biologi Universitas Negeri Semarang)
Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (2020), Indonesia memiliki luas lautan total sebesar 3.25 juta km persegi. Lautan yang begitu luas membuat Indonesia dijuluki sebagai negara maritim. Julukan tersebut salah satunya dibuktikan pula dengan data statistik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, jumlah orang yang bekerja di sektor nelayan laut sebanyak 1.685.018 pada 2018. Luasnya wilayah dan banyaknya orang yang bekerja di sektor tersebut, menjadikan ekosistem laut dan isinya sangat potensial untuk menopang kesejahteraan masyarakat pesisir. Pertanyaannya, apakah hasil tangkapan laut berhasil menyejahterakan kehdiupan mereka?
Penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia masih memiliki banyak masalah, baik untuk kelangsungan hidup manusia maupun dalam konservasi ekosistem. Salah satu masalah muncul dari pola penangkapan ikan MSY atau Maximum Sustainable Yield (tangkapan lestari maksimum) yang banyak dilakukan di Indonesia. Pola ini menekankan bahwa penangkapan ikan dilakukan ketika sumber daya berada di puncak pertumbuhan ekosistem. Hasil dari pola MSY dinilai tidak begitu menguntungkan karena hasil tangkapan yang kurang maksimal oleh Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Sos-Ek Perikanan, Nimmi Zulbainarni. Akibat dari indsutri perikanan yang tidak berjalan maksimal itu, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga cenderung overfishing karena kebijakan pengelolaannya hanya berfokus pada spesies yang dominan dan tunggal. Hal ini berimplikasi pada percepatan kepunahan satu spesies spesifik akibat tidak diberikannya waktu yang cukup untuk mereka beregenerasi.
Permasalahan lainnya datang dari perubahan iklim. Cuaca yang ekstrem berpengaruh pada pengaturan keseluruhan sistem lautan. Ombak besar yang lebih sering datang akan berakibat pada pengikisan atau abrasi pesisir pantai secara masif. Dalam jangka panjang, perubahan iklim juga menyebabkan naiknya permukaan air laut sedikit demi sedikit. Akibatnya, masyarakat pesisir yang bermukim merasa khawatir karena wilayah hunian mereka tergerus.
Pada saat yang sama, kehidupan masyarakat pesisir sendiri juga menjadi ancaman bagi kehidupan hewan laut. Sejumah besar sampah jaring yang terdampar atau dibuang langsung di lautan menjadi ancaman besar bagi hewan laut. Pasalnya, sampah jaring kerap dikira sebagi makanan oleh hewan laut dan berujung pada kematian. Beberapa hewan yang dilindungi juga pernah ditemukan tersangkut oleh sampah jaring yang dibuang di lautan.
Ancaman terhadap keberlangsungan lingkungan maupun kehidupan masyarakat pesisir dapat diselesaikan atau pun dicegah dampak negatifnya dengan usaha perbaikan. Istilah konservasi sering kita dengar dalam pembahasan mengenai upaya pemulihan ekosistem. Konservasi yang baik adalah proses yang memperhatikan keseimbangan antara faktor alam dan sosial. Dalam konservasi, manusia memegang perat amat penting. Oleh karena itu, upaya konservasi harus memperhatikan pendekatan yang tepat agar tujuan akhir dapat tersampaikan dengan baik dan tercapai.
Untuk melaksanakan upaya konservasi, kita bisa mulai dari memastikan pemukiman pesisir tempat masyarakat tinggal berkurang ancamannya dan aman untuk ditinggali. Dalam hal ini, penggiatan penanaman bakau dapat dilakukan menjadi solusi utama. “Akar dan dahan bakau menahan gelombang air,” kata Femke Tonneijck dari organisasi lingkungan Wetlands International. Akar dan dahan hutan bakau dapat menahan ombak besar yang datang, bahkan tsunami skala skecil atau sedang. Dalam skala penanaman yang besar, penanaman bakau juga akan membangun ekosistem baru bagi keanekaragaman hayati seperti udang dan jenis-jenis ikan air tawar maupun laut.
Solusi selanjutnya yang harus dikerahkan adalah strategi penangkapan dengan kebijakan tangkap pola Maximum Economic Yield atau MEY. Pola penangkapan ini dinilai sangat ideal bagi konservasi karena hasil produksi laut menyesuaikan pada puncak ekosistem sumber daya alam. “Saat itulah kondisi ideal yang diharapkan, di mana akan tercapai keberlanjutan usaha dan keberlanjutan sumber daya secara bersamaan,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Sos-Ek Perikanan, Nimmi Zulbainarni. Namun, model pengelolaan ini mungkin malah menimbulkan masalah baru. Efisiensi pengelolaan perikanan ternyata menyebabkan permasalahan pengangguran antar nelayan. Beberapa nelayan tidak dipekerjakan lagi akibat pembatasan jumlah penangkapan. Sebagai solusi, nelayan bisa memanfaatkan hasil hutan bakau sebagai sumber penghasilan alternatif. Kayu dari pohon bakau dapat dijual sebagai bahan pembuatan kertas. Jika industri bakau ini dijalankan dengan baik dan berkelanjutan, selain menguntungkan bagi lingkungan, juga dapat membuka lapangan pekerjaan baru. Jika penangkapan ikan dan pengelolaan bakau dapat dilaksanakan dengan seimbang, maka nelayan dapat memberi waktu bagi ikan di laut untuk beregenerasi secara optimal. Hal ini penting agar memastikan jumlah ikan di lautan terjaga dan menjauhi potensi kepunahan scara cepat.
Potensi ekonomi lain yang sejalan dengan konservasi adalah pemanfaatan limbah jaring ikan. Hal ini dapat dilakukan dengan mula-mula mengkoordinasi para nelayan agar tidak membuang limbah jaringnya sembarangan. Dalam jumlah yang banyak sampah jaring ikan tersebut akan menghasilkan potensi penghasilan baru. Sampah jaring ikan ini dapat dikelola lebih lanjut menjadi karpet lewat kerja sama perusahaan daur ulang. Aksi ini terinspirasi dari program Net-Working yang berhasil dilaksanakan oleh Zoological Society London di pesisir pantai Afrika. Jika ini berhasil, masyarakat pesisir bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari penjualan sampah jaring tersebut. Selain bermanfaat bagi ekonomi masyarakat, dengan memastikan jaring tidak dibuang sembarangan akan mengurangi peluang hewan mati akibat menelan jaring atau tersangkut dengannya.
Untuk mendukung keberhasilan usaha dan upaya konservasi, diperlukan perencanaan yang matang. Mulai dari penelitian mengenai lokasi yang akan didatangi, perencanaan anggaran, estimasi waktu pelaksanaan program, dan persiapan lainnya. Selain itu, seperti yang sebelumnya telah dikemukakan, program ini tidak akan berjalan dengan baik jika ditolak oleh masyarakat pesisir. Oleh karena itu, pekerjaan rumah terbesar adalah pelibatan masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa konservasi lingkungan sejalan dengan kelangsungan hidup mereka di masa yang akan datang (Editor Ibnu Nadzir).
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Chryshna, Mahatma. “Hari Nelayan Nasional: Potensi Kelautan dan Potret Nelayan Indonesia.” Kompas Pedia (7 April 2021), https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/hari-nelayan-nasional-potensi-kelautan-dan-potret-nelayan-indonesia (diakses tanggal 17 Juli 2021).
Al Faqir, Anisyah. “Sejumlah Permasalahan Sektor Perikanan Tanah Air.” Merdeka (30 September 2020), https://www.merdeka.com/uang/sejumlah-permasalahan-sektor-perikanan-tanah-air.html (diakses tanggal 16 Juli 2021).
Pratama, Oki. “Konservasi Perairan sebagai Upaya Menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia.” KKP (1 Juli 2020), https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia (diakses tanggal 16 Juli 2021).
Quaile, Irene. “Hutan Bakau Lindungi Pesisir dari Badai dan Tsunami.” DW (22 Desember 2013), https://www.dw.com/id/hutan-bakau-lindungi-pesisir-dari-badai-dan-tsunami/a-17313967 (diakses tanggal 2 Oktober 2021).
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Penulis adalah mahasiswa Biologi Universitas Negeri Semarang. Penulis sangat tertarik dengan isu-isu konservasi biodiversitas dan lingkungan. Email: naufakhriyah@students.unnes.ac.id
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial