Jakarta, Humas LIPI. Demokrasi deliberatif adalah model demokrasi yang legitimitasi hukumnya diperoleh dari diskursus yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil,  agar  partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi dapat dihargai secara setara. Di Indonesia, kesadaran akan pluralisme sangatlah penting. “Masyarakat itu plural atau majemuk dan sangat beragam dari berbagai aspek sehingga  akan terjadi persoalan yang menimbulkan ketimpangan baik dalam bentuk diskriminasi minoritas, prejudice- prejudice atau pembatasan hak-hak politik”, sebut Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI , M. Nur Prabowo Setyabudi.

Prabowo mencermati dari distingsi pemikiran ‘Habermas’, bahwa di dalam komunitas-komunitas dan identitas-identitas kolektif terdapat perbedaan pandangan, persepsi tentang kebaikan dan kebudayaan, cara hidup, dan seterusnya yang sangat plural. “Untuk mengatasinya, harus dibangun dan dikelola  melalui sebuah sistem politik yang bisa mengakomodir seluruh perbedaan tersebut”, ucapnya. Dirinya juga menyampaikan dari studi yang masih bersifat konsep dan belum riset lapangan terkait demokrasi deliberatif, telah di gagas oleh tim peneliti kelompok Penelitian Penguatan Demokrasi dengan judul:  Relasi Kesetaraan Identitas antar Kelompok Identitas untuk Kesatuan dan Persatuan. “Titik petanya sebenarnya ada pada kesetaraan identitas” jelas Prabowo saat acara diskusi secara daring pada Jumat (12/6) lalu.  

Memperjelas konsep dari studi tersebut, menurut pakar Ilmu Filsafat Indonesia, Dr. Fransisco Budi Hardiman menjelaskan pemikiran kritis, bahwa teori itu model hasil pikiran. Observasi kita di lapangan ketika kita melaksanakan penelitian tidak theory free (bebas dari teori), melainkan apa yang kita lihat di lapangan, erat hubungannya dengan konstruksi berpikir kita untuk mengamati. Kegunaan teori menurut Hardiman dibagi menjadi dua yaitu teori untuk membimbing pengamatan kita di lapangan, dan teori lebih bermain pada tataran normatif ‘Habermas’, dimana kegunaannya juga untuk membimbing praktisi supaya lebih mengarah pada sesuatu yang ideal.

Hardiman pun mengatakan, “Suatu bangsa yang berhasil di dalam masyarakat itu mempunyai pemikir-pemikir didalamnya, bukan hanya peneliti, pengamat, dan pelaku, agar bisa melihat sesuatu dari kejauhan bagaimana strukturnya, tendensinya, akar-akarnya bagaimana, semua dilihat dalam sebuah olah gambaran yang lebih holistis”, tuturnya.

Terkait konsep model demokrasi deliberatif yang di gagas tim peneliti LIPI, Hardiman menyampaikan pandangannya bahwa, model deliberatif di Indonesia sudah ada yaitu sistem politik yang demokratis dengan menerapkan ‘Trias Politik’: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. “Sebenarnya deliberasi demokrasi itu pada prinsipnya sangat sederhana, hanya harus ditambah satu yaitu ruang publik”, tegasnya. Penjabaran secara sederhana itu dilakukan dengan: (1) Praktik-praktik yang sudah berjalan agar lebih diradikalkan (2) Institusi-institusi demokratis diperbanyak, kanal-kanal komunikasi di dalam sistem politik sumbatan-sumbatannya dihilangkan. (3) Institusi intermedia yang memperkuat masyarakat sipil diperbanyak, untuk membentengi kekuatan masyarakat sipil dan kalangan pers. “Itu semua sudah ada, kalau perlu ada amandemen konstitusi yang menjamin distribusi hak-hak  komunikatif publik secara adil. Kita sudah punya semua itu, hanya perlu diradikalkan”, tegas Hardiman.

Kesimpulan yang merangkum dari pandangan tersebut, pakar Filsafat Indonesia ini mengatakan demokrasi deliberatif di Indonesia belum cocok. “Indonesia memang sedang mengupayakan diri untuk cocok dan ini merupakan tuntutan yang berlebihan. Kenyataannya, Indonesia sudah mau mendekati cocok”, sebutnya. Lebih rinci disarankan agar Indonesia mendekati ke arah demokrasi liberatif, diusulkan cara: (1) Perbanyak prestasi deliberasi publik dalam masyarakat; ( 2) Pemilu berintegrasi untuk legislasi berintegrasi; ( 3). Legislasi publik pro deliberasi publik.  (dsa/ed:mtr/rann001).

 

Ilustrasi: Pinterest