Oleh Widjajanti M Santoso (Peneliti Gender PMB LIPI)
Pada 25-27 April 2017 telah diselenggarakan KUPI – Konferensi Ulama Perempuan Indonesia di pesantren Kebon Jambu Cirebon. Atas fasilitasi KSI dan mendapatkan berkah anak sholehah, saya bisa hadir di tempat tersebut sebagai peserta. Peristiwa penting ini sudah diliput beberapa media dan sudah diulas terutama di dalam konteks makro keberadaan kegiatan ini, sehingga tulisan ini merupakan bagian yang lain yang melihat dari sisi wawancara dan pengamatan selama di dalam acara. Di antara teriknya udara Cirebon terdapat keteduhan di mesjidnya dan angin dari kipas tradisional yang dijajakan oleh seorang perempuan tua. Perempuan itu paham bahwa kipas menjadi alat strategis mengatasi teriknya udara, “terima kasih bu…..”
Acara ini sungguh luar biasa, jika terdapat kekurangan itu adalah biasa apalagi jika melihat lokasi pengelenggaraannya di pesantren. Sebuah tenda warna warni dibangun di tengah pesantren dengan panggung tinggi yang menarik dan memberi kesempatan kepada pengunjung dari belakang untuk melihat para pembicara. Selain para pembicara mereka yang datang di kegiatan ini adalah narasumber semuanya, mereka adalah para pegiat, akademisi, profesional, agamawan yang memiliki perhatian kepada perempuan dan anak. Mereka yang hadir juga beragam dan juga terdapat perwakilan dari negara lain, seperti Nigeria, Thailand Philipina dan lainnya.

Sisi menarik lainnya adalah ajang ini adalah tempat reuni juga dari para pegiat yang pernah mengerjakan program yang sudah berlalu; para guru-murid dan mereka mereka yang saling memberi penguatan antar sesamanya. Tidak jarang di dalam pertemuan informal mereka saling mengingat program yang dulu sudah ada, seperti pembicaraan Kunti Tri Dewiyanti yang pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan dengan rekan kerja dari Aceh. Rekan kerja dari Aceh yang saat ini menjadi salah satu pegiat dan sudah menyelesaikan studinya bercerita bahwa dia belajar banyak di dalam program yang ketika itu mendapatkan Kunti sebagai narasumber. Di dalam kegiatan itu, yang bersangkutan menjadi pelaksana namun ternyata membuka jalan bagi pengetahuan yang lebih mendalam dan terutama menginspirasi karir dan studi lanjutannya.
Pembicaraan dengan panitia lokal tentang bagaimana menariknya pelaksanaannya ini seperti mereka yang datang bisa ditampung di pesantren dan tinggal ala pesantren. Para murid terpaksa diungsikan, dan proses ini tidak sederhana, karena membutuhan truk untuk mengangkut lemari dan barang pribadi para santri. Staf konsumsi perlu diacungkan jempol karena bisa memberi akses terhadap makanan dan minuman untuk sekitar 1.000 orang, di sana tidak terdapat antrian yang panjang dan cukup teratur. Para santri setelahnya operasi semut untuk membersihkan kardus, plastik dan lainnya. Pengorganisasian seperti ini tampak sederhana namun sangat penting. Nyi Mas ketua Ponpes Kebon Jambu, dalam pidato sambutannya mengucapkan terima kasih kepada CSR yang sudah memperbaiki fasilitas MCK sehingga tampak bersih dan menarik, air tersedia dengan lancar dan mendinginkan suasana. Sebuah keberkahan bagi semuanya.
Acara seremonial juga dikemas dengan apik dengan melibatkan banyak orang dan banyak organisasi. Seperti pada pembukaan terdapat ucapan terima kasih kepada narasumber dan berbagai organisasi yang hadir. Terlihat upaya panitia untuk sebanyak-banyaknya menarik partisipasi dari yang hadir dan menghormati mereka yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir di acara yang penting ini. Tata cara perempuan yang menyambut dan memberikan penghormatan kepada yang hadir dengan melibatkan semua pihak. Acara kebudayaan menghadirkan santriwati yang menyanyikan shalawat dengan suara yang merdu. Di KUPI ini dikumandangkan shalawat Samara untuk keluarga sakinah masaddan dan rahmah serta shalawat Musawa untuk keadilan relasi perempuan dan laki-laki. Keduanya dibuat oleh Faqihuddin Abdul Kodir. Shalawat ini merupakan manifesto dari perhatian agama terhadap problematika gender dan perempuan di Indonesia.
Pembicaraan lepas ketika makan siang dengan Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM, PhD tentang isu perempuan dan Islam memperlihatkan dua hal penting; yang pertama, kegiatan perempuan yang dikemas dengan konsep feminis ini, tidak memusuhi laki-laki. Dengan elegan kegiatan ini mengangkat bahwa banyak ulama perempuan di pesantren dan lainnya sudah bergerak sejak lama untuk mengangkat kepentingan perempuan. Melalui kegiatan ini, konsep ulama perempuan juga memasukkan para lelaki yang memiliki kepedulian terhadap isu ini. Akan tetapi suara mereka terkalahkan oleh suara ulama pada umumnya. Yang kedua, adanya konsep feminis Islam merupakan bagian dari kegiatan mereka yang menggarap isu perempuan yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan suara dari dalam bahwa meskipun secara umum terdapat asumsi bahwa agama adalah institusi patriarkhi. Membangun dan mengubah dari dalam merupakan strategi pisau bermata dua yang strategis mengangkat pandangan perempuan untuk mengatasi masalah sosial bangsa.

Konsep-konsep tentang kesetaraan dan bagaimana laki-laki memberi perhatian kepada perempuan menjadi salah satu data tarik tersendiri. Laki-laki muncul dengan menarik dan lepas dari isu isu tradisional laki-laki seperti poligami, mereka muncul untuk mengumandangkan kepedulian terhadap perempuan. Badriyah Fayyumi, ketua pengarah KUPI di dalam pidatonya memperlihatkan bahwa ahli tafsir perempuan dan perempuan yang berilmu agama jumlahnya cukup banyak, namun di dalam proses sejarah mereka hilang dan kemudian muncul ulama yang cenderung laki-laki yang biasa kita hadapi. Dengan demikian ada proses perubahan sosial yang melibakan perempuan yang hilang dan perlu dibahas untuk perkembangan lebih lanjut.
Hal ini merupakan salah satu tantangan dari bagaimana otoritas keilmuan dipengaruhi oleh laki-laki. Salah satu peserta bercerita bahwa di dalam pesantren dia adalah orang yang berilmu, namun keilmuannya diperhitungkan karena status pernikahannya dengan kyai. Karena pernikahan tersebut, maka dia bisa diperhitungkan otoritas keilmuan di kalangan pesantren, dapat dibayangkan bagaimana perempuan yang meskipun berilmu tetapi tidak memiliki status seperti dirinya. Beberapa lainnya mengkhawatirkan bahwa hadir diskusi yang sangat bagus dari konferensi ini bisa di”mentah”kan kembali karena adanya otoritas keilmuan yang bias laki-laki.
Otoritas keilmuan juga berbeda karena lokasinya berbeda seperti yang terjadi di Aceh, sang ulama perempuan ini mengajarkan bahwa perempuan harus membuka diri bagi perkembangan teknologi. Hal ini termasuk hal baru karena masih banyak ulama perempuan berpikiran konservatif seperti tidak memperbolehkan atau melarang penggunaan telepon genggam atau HP. Di dalam dakwahnya dia mengatakan bahwa ibu harus tahu HP kalau tidak bagaimana bisa mengetahui sisi pengaruh buruk dari HP anaknya. Diskusi ini memperlihatkan bahwa ulama perempuan memiliki kemampuan dan juga cara pandang yang progresif yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berpikir dan mengembangkan ketahanan di dalam perubahan sosial. Alimatul Qibtiah mencontohkan adanya dan upaya untuk melakukan reinterpretasi seperti tentang bapak rumah tangga. Seorang laki-laki tetapi seorang iman di dalam keluarganya, namun karena kebutuhan rumah tangga, maka dia bisa menggantikan peran rumah tangga istrinya. Hal ini tidak berbeda dengan aturan normatif dan bahkan mengembangkan alternatif di dalam interpretasi.
Di dalam pelaksanaan, panitia dengan rapi membagi diskusi di dalam sembilan masalah utama yang berkaitan dengan perempuan di Indonesia secara khusus dan bagi ke-Indonesia-an secara umum, seperti
1.Tantangan dan Peluang Pendidikan keulamaan perempuan di Indonesia;
2. Respon Pesantren terhadap Keulamaan Perempuan (Pengalaman Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon);
3. Penghentian kekerasan seksual dalam perspektif ulama perempuan;
4. Perlindungan anak dari pernikahan dalam perspektif ulama perempuan;
5. Perlindungan buruh migran dalam perspektif ulama perempuan;
6. Pembangunan berkeadilan berbasis desa dalam perspektif ulama perempuan;
7. Peran perempuan dalam menghadapi radikalisme agama, meneguhkan nilai kebangsaan dan mewujudkan perdamaian dunia;
8. Peran, tantangan dan strategi ulama perempuan dalam menjawab krisis dan konflik kemanusiaan.
9. Peran ulama perempuan dalam penyelesaian ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan
Diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber dan dipandu oleh moderator yang mumpuni karena sudah memiliki track record yang sesuai dengan tema tema disebutkan di atas. Dengan demikian diskusi berjalan dengan sangat menarik. Seperti yang terjadi di diskusi panel 8, ternyata banyak hal yang membuka wawasan seperti pandangan yang diperoleh dari Al Quran tentang apakah Islam suka perdamaian ataukah membuka peperangan. Ternyata ayat ayat Al Quran menyampaikan perdamaian, sehingga pertanyaannya adalah mengapa yang muncul di ruang publik adalah sisi yang suka berperang. Salah satu kemungkinannya adalah peran media yang mengangkat sisi Islam yang berkonflik dan menjadi bias karena tidak mengangkat Islam yang teduh dan penuh dengan kedamaian. Di dalam diskusi juga muncul pertanyaan dari kelompok yang saat ini mengalami kekerasan seperti Islam Shiah. Mereka mengalami kesulitan karena identitas yang beredar saat ini berbeda dengan identitas yang hidup di dalam komunitas mereka. Tentu belum terlihat adanya kata akhir, namun dengan konferensi seperti ini terjadi dialog yang berusaha mencari titik temu untuk mewujudkan Indonesia yang cinta damai. (Ranny Rastati/editor)
_____________________________________________
Widjajanti M Santoso adalah sosiolog namun perhatiannya juga berkembang pada pendekatan gender, dan kajian media. Saat ini yang bersangkutan berada pada tim yang mengkaji Penerapan Syariah Islam, yang memberikan impulse tentang kaitan gender dengan agama, yang dilihat dari kehidupan keseharian. Sebagai peneliti, Widjajanti M Santoso adalah redaksi di Jurnal (terakreditasi) Masyarakat dan Budaya, juga menjadi mitra bestari pada Jurnal Widyariset dan Jurnal Sosioteknologi. Selain itu Widjajanti M Santoso juga menjadi dosen di Kajian Gender UI, juga sebagai pembimbing di jurusan yang sama dan di jurusan Sosiologi UI. Baru baru ini menjadi editor buku Ilmu Sosial di Indonesia (Penerbit Obor). Yang bersangkutan juga menjadi anggota Ikatan Sosiologi Indonesia dan dapat di kontak di widjasantoso@gmail.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah