[Masyarakat & Budaya, Volume 19, Nomor 14, Juli 2021]
Oleh Martin Yehezkiel Sianipar (Mahasiswa Magister Ilmu Manajemen STIE Sultan Agung)
Kesusastraan merupakan salah satu hasil kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Berbagai literatur dan penelitian menunjukkan bahwa kesusastraan berdampak positif bagi majunya peradaban masyarakat suatu bangsa. Hasil penelitian Idawati dan Verlinda (2020) memaparkan bahwa sastra lisan yang merupakan salah satu bentuk kesusastraan yang berperan penting dalam pengenalan budaya bangsa. Studi lain yang dilakukan oleh Karmini (2017), menyebutkan bahwa sastra Bali tradisional selain berfungsi sebagai hiburan, juga memuat nilai-nilai pendidikan bagi masyarakat. Kemudian penelitian Haryadi (1994), turut menguatkan bahwa keberadaan sastra lisan nusantara bermanfaat untuk pembangunan bidang pendidikan, seperti: (1) dapat berperan sebagai hiburan dan media pendidikan di dalam keluarga; (2) dapat menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan berbangsa serta rasa hormat terhadap leluhur; (3) isinya dapat menambah wawasan dan informasi tentang kepercayaan, pandangan hidup, adat istiadat, dan peradaban bangsa; (4) penyajiannya dapat mengakrabkan hubungan antara penyaji dan penikmat; (5) proses penciptaannya menumbuhkan sikap kreatif, responsif, dan dinamis yang mengarah pada kemajuan; (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain; (7) proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, professional, dan sifat rendah hati; (8) pergelarannya memberi teladan tentang sistem kerjasama yang kompak dan harmonis; dan (9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberikan gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan yang luas.
Telah nyata bahwa kesusastraan memiliki andil yang cukup dominan dalam perubahan sejarah bangsa-bangsa di dunia (Latif, 2020). Selanjutnya, dapat disaksikan bersama bahwa komunitas sastra yang hadir di tengah-tengah masyarakat berbagai kota maupun daerah lain di Indonesia turut memberi sumbangsih bagi toleransi warganya. Toleransi merupakan suatu sikap dan tindakan yang bukan hanya membutuhkan kesadaran, tetapi juga semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang lebih baik dengan cara memberikan peluang atau kesempatan pada kelompok/umat agama lain untuk melakukan sesuatu bagi terciptanya hubungan antarmasyarakat yang harmonis dan rukun (Hutabarat dan Panjaitan, 2016). Melalui toleransi keberagaman identitas dalam masyarakat dapat dirangkul agar dapat hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dalam perbedaan. Dengan kata lain dikatakan bahwa tanpa kesusastraan maka sikap toleransi cenderung sulit untuk diwariskan sampai ke generasi-generasi yang lebih muda. Sedangkan tanpa toleransi, perkembangan kesusastraan di suatu wilayah hanya menjadi kegiatan yang kurang optimal keberadaannya dalam masyarakat yang multietnis. Oleh karena itu, sastra dan toleransi ibaratnya dua sisi mata uang yang sepatutnya tidak boleh dipisahkan. Sehingga dapat dikatakan dengan merawat eksistensi kesusastraan dalam sebuah kota, kita juga turut merawat keragaman agama, bahasa, budaya, dan etnis yang ada dalam masyarakat tersebut.
Sebagai pembahasan, Kota Pematangsiantar dalam perkembangannya mengalami pasang surut kesusastraannya. Salah satu contoh komunitas sastra yang ada di Pematangsiantar, seperti: Komunitas Tugu Sastra Siantar pernah melakukan kegiatan sastra, yaitu Temu Penyair Nusantara 2018 dengan tema “Puisi Meretas Jalan Keberagaman, Menolak Intoleransi” (12-14 April 2018). Kegitan bertema puisi tersebut berhasil menarik minat penyair-penyair muda untuk ikut serta. Selain itu, ada juga komunitas Teater Kosong Satoe yang adalah UKM FKIP Universitas Simalungun Pematangsiantar. Terkadang komunitas-komunitas yang ada juga terkait dengan berbagai hal kebudayaan termasuk sastra, kesenian, dan sebagainya. Komunitas-komunitas tersebut sering menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sastra dengan tema toleransi karena mereka sadar bahwa kekuatan Kota Pematangsiantar ada pada toleransi warganya yang sudah terjaga dengan baik. Sehingga nampak jelas bahwa dengan meningkatkan budaya literasi dan sastra juga berperan dalam membentengi generasi muda terhadap isu-isu intoleransi dimana kehadirannya pun semakin canggih lewat internet, media sosial, dan dunia digital lainnya yang sangat familiar bagi generasi muda saat ini (Kusumaningsih, et. al., 2018).
Demi mendukung maupun merawat segala potensi kesusastraan di Kota Pematangsiantar perlu digagas adanya fasilitas publik berupa pusat kesusastraan. Terlebih pada peradaban masa kini, tantangan dalam merawat kesusastraan tengah terancam oleh sikap-sikap intoleransi yang kian marak. Jangan sampai rekam jejak Kota Pematangsiantar yang secara berturut-turut mendapatkan penghargaan sebagai kota toleransi menurut survei yang dilakukan oleh Setara Institute menjadi surut karena masyarakatnya kurang mampu dalam merawat dan menumbuhkembangkan sikap toleransi ditengah-tengah maraknya fenomena intoleransi. Menurut survei tersebut, terdapat indikasi menurunnya toleransi kota Pematangsiantar berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) Setara Institute, yaitu tahun 2015 pada posisi satu atau kota toleransi tertinggi, kemudian tahun 2017 pada posisi dua, dan pada tahun 2018 pada posisi tiga. Sedangkan untuk tahun 2016 dan 2019, Setara Institute tidak ada melakukan survei Indeks Kota Toleran. Ujungnya pada tahun 2020, Kota Pematangsiantar tidak termasuk lagi sebagai 10 Kota dengan Skor Toleransi Tertinggi IKT 2020 (Setara Institute, 2021).
Adapun indikator yang digunakan Setara Institute dalam menilai Kota Pematangsiantar sebagai kota paling toleran diantaranya, yaitu: 1) Pemerintah kota memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan; 2) pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota kondusif bagi praktik dan promosi toleransi; 3) Pematangsiantar memiliki tingkat peristiwa dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali; dan 4) Pematangsiantar menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya. Agar sastra mampu mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya dan dinikmati sebagai bagian dari peradaban masyarakat masa kini, terutama dampaknya bagi anak muda, maka pemerintah Kota Pematangsiantar perlu merencanakan sebuah konsep ruang publik yang diharapkan menjadi tempat untuk para sastrawan maupun pegiat literasi lokal untuk bekerja sama demi kepentingan bersama (bonum commune).
Salah satu kepentingan bersama yang patut diperjuangkan, yaitu dengan kehadiran fasilitas publik sebagai pusat kesusastraan dan literasi di Kota Pematangsiantar akan memperkuat posisi kota ini sebagai kota toleransi. Kesusastraan dan toleransi sangat erat kaitannya sehingga antara satu dengan yang lain perlu untuk dirawat dan ditumbuhkembangkan. Dengan adanya berbagai kegiatan sastra, keberagaman yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat tersebut bukanlah dalih untuk konflik, tetapi merupakan kondisi untuk belajar hidup bersama dalam perbedaan (Santosa, 2018).
Selain itu, pemanfaatkan potensi budaya seni, kesusastraan, dan literasi disini pada akhirnya juga menciptakan suatu ciri khas Kota Pematangsiantar bila dikelola dan dikemas dengan baik akan bermanfaat sebagai konsep branding kota dalam rangka mendukung kepariwisataan (Sari, 2020). Harapannya dengan memanfaatkan potensi kesusastraan dan kebudayaan lainnya yang ada di Kota Pematangsiantar maka nantinya akan mendukung aspek kepariwisataan Kota Pematangsiantar. Melalui budaya literasi yang kuat, Kota Pematangsiantar akan memunculkan banyak karya yang berkualitas yang akan menumbuhkembangkan budaya literasi di tengah-tengah masyarakat. Diharapkan budaya literasi yang berkembang tersebut merupakan literasi yang bermutu dan berdaya ungkit dalam meningkatkan level kemajuan masyarakat Kota Pematangsiantar.
Telah kita ketahui bersama meskipun kondisi masyarakat Kota Pematangsiantar yang multietnis, namun masih mampu untuk bersikap maupun bertindak toleran dalam pergaulan bersama. Keadaan tersebut akan semakin dirawat dengan adanya komunitas sastra yang didukung oleh ruang publik sebagai pusat kesusastraan yang hadir di tengah-tengah kota. Dengan kondisi ini, nantinya akan lebih luas kesempatan masyarakat yang berperan sebagai produsen gagasan dan ide, misalnya melalui budaya baca dan tulis sehingga masyarakat sekaligus menjadi konsumen penikmat gagasan dan ide tersebut. Benang merah antara masyarakat yang menghasilkan berbagai karya berkualitas dan peningkatan kualitas sumber daya manusia inilah dinamakan literasi (kemampuan baca tulis). Lingkungan kebersamaan yang sehat diantara banyak keberagaman merupakan hal yang sama-sama kita cita-citakan sebagai warna negara yang baik. Oleh karena itu, pemerintahan kota Pematangsiantar haruslah didorong dan diberi masukan agar segera merencanakan konsep ruang publik yang menjadi pusat komunitas sastra di tengah-tengah kota ini.
Diharapkan dengan adanya pusat kesusastraan seperti ini nantinya, maka akan lahir dan bermunculan potensi-potensi bidang sastra dari masyarakat kota Pematangsiantar. Bahkan, dengan semakin banyak karya sastra bermutu tinggi yang lahir dan beredar di masyarakat efeknya akan memengaruhi pada aspek budaya, perilaku, pola pikir, dan kualitas sumber daya manusia yang semakin tinggi pula nilainya. Selain hal tersebut, budaya sastra dan literasi yang kuat juga akan berperan sebagai benteng bagi masyarakat terhadap kemunculan radikalisme agama yang sempit dan cenderung berpotensi menggerus toleransi dalam kehidupan bernegara (Editor Hidayatullah Rabbani).
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Haryadi. (1994). Manfaat Sastra Lisan Nusantara Dalam Pembangunan Bidang Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 1(1). https://doi.org/10.21831/cp.v1i1.9054
Hutabarat, B. A., & Panjaitan, H. H. (2016). Tingkat Toleransi Antaragama di Masyarakat indonesia. Societas Dei: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 3(1), 8–34.
Idawati, & Verlinda, D. (2020). Peran Sastra Lisan Dalam Pengenalan Budaya Bangsa Indonesia. Imajeri: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 2(2), 175–181. https://doi.org/10.22236/imajeri.v2i2.5095
Institute, S. (2021). Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2020. In Setara Institute. https://drive.google.com/file/d/1X3_ou-vYx3f7GHDzcFPKHeAA-m69mbyr/view
Kusumaningsih, D., Nainggolan, M., & Sudiatmi, T. (2018). Tantangan Pengajaran Kultur Kebangsaan melalui Karya Sastra terhadap Siswa Generasi Digital. Prosiding SENASBASA (Seminar Nasional Bahasa Dan Sastra), 84–90. http://researchreport.umm.ac.id/index.php/SENASBASA
Latif, Y. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan. PT Gramedia Pustaka Utama.
Ni Nyoman Karmini. (2017). Fungsi Dan Makna Sastra Bali Tradisional Sebagai Pembentuk Karakter Diri. MUDRA Jurnal Seni Budaya, 32(2), 149–161.
Santosa, P. (2018). Peran Bahasa Dan Sastra Indonesia Dalam Konteks Masyarakat. Pemertahanan Identitas Masyarakat Multikultural Di Era Global, July, 241–254.
Sari, I. A. L. (2020). Storynomics: Memanfaatkan Kekuatan Branding Cerita Rakyat. Prosiding ISBI Bandung, 10–16.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
_______________________________________
Tentang Penulis
Martin Yehezkiel Sianipar adalah mahasiswa pascasarjana Program Magister Ilmu Manajemen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Sultan Agung Pematangsiantar. Penulis merupakan akademisi bidang manajemen, penulis, dan pegiat literasi yang tertarik juga isu–isu sosial budaya masyarakat. Saat ini memiliki kegemaran dengan sastra puisi dan belajar produktif menulis opini di beberapa media cetak dan online. Penulis bisa dihubungi di martinsianipar@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial