[Masyarakat & Budaya, Vol. 28, No.1, 2023]
Ubaidillah (Peneliti PMB BRIN)
Secara tekstual, komunikasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni eksplisit dan implisit. Keduanya memiliki keunggulan dan potensi yang sama untuk sukses menghantarkan pesan. Konteks corak komunikasi dalam kebudayaan Jawa, bahkan mungkin sebagian masyarakat Asia, simbolisme memiliki peran tersendiri dalam kebudayaan. Folklore, sebagai sarana komunikasi, dapat digunakan untuk menyampaikan kritik kepada kekuasaan. Contohnya ditunjukkan dalam komunikasi simbolisme tradisional dalam drama Korea yang populer di banyak negara dan lagu anak-anak berbahasa Jawa.
–
Seorang (calon) raja diperdengarkan oleh gurunya nyanyian ratapan rakyat yang terlampau miskin, sedangkan penguasa terlampau tamak menghisap segala sumber daya. Penguasa tersebut difigurasi dengan Tikus Besar dalam lirik nyanyian. Rakyat memilih meninggalkan raja dan pergi menuju negeri asing. Pembangkangan orang-orang kalah dan diabaikan tergambar sebuah fragmen dalam serial drama Korea Hwarang (2016). Drama Hwarang mengisahkan kehidupan seorang raja yang harus bersembunyi sejak kecil karena ketidakstabilan kerajaan mengancam hidupnya. Selama persembunyian, dia menyamar menjadi salah satu siswa dalam pelatihan anak-anak bangsawan calon pejabat di kerajaan yang disebut Hwarang. Nyanyian rakyat tersebut menjadi salah satu materi ajar bagi para Hwarang tersebut.
Dalam serial drama Korea lainnya, Empress Ki (2013) menampilkan lukisan yang menggambarkan kondisi asimetris: kemegahan dan keagungan penguasa dari pajak rakyat, serta kekeringan, kelaparan, dan keharusan membayar pajak di sisi rakyat. Rakyat membayar pajak dengan menjual satu-satunya harta yang dimiliki, yaitu sapi. Rakyat memasak dengan kayu bakar yang diambil dari dinding rumah. Patung Bodhisattva yang tersenyum dan gedung balai utama menggambarkan kekuasaan politik tetap sejahtera di tengah rakyat yang papa. Lukisan itu diilhami dari puisi Su Shi atau Su Tung-P’o yang hidup pada dinasti Song tahun 1037-1101.
Gambar 1. Lukisan dalam Empress Ki
Sumber: Drama Empress Ki, episode 25, menit 48.42
Lagu Gundul-Gundul Pacul di kebudayaan Jawa menggambarkan kesuraman yang sama. Irama riang gembira lagu tersebut adalah upaya menyembunyikan makna liriknya sekaligus taktik pedagogis kepada anak-anak. Pacul dan wakul (cangkul dan bakul nasi) dalam lagu tersebut memuat pesan mata pencaharian dan kesejahteraan. Sikap penguasa atau manusia tidak boleh lagi gembelengan (sembrono) tatkala sudah mengurusi kesejahteraan orang lain atau orang banyak (nyunggi wakul-membawa tempat nasi dengan kepala).
Lirik lagu Gundul-Gundul Pacul menyimpan pesan, terutama kepada mereka yang memikul kewajiban mendistribusikan kesejahteraan. Penyalahgunaan tanggung jawab atau sikap tidak mawas hanya akan membuat kesejahteraan diterima oleh orang yang tidak tepat (segane dadi sak latar-nasinya jadi sehalaman). Sikap sembrono hanya berlaku pada masa anak-anak, ketika berada pada tahap belajar dan eksplorasi atau saat masih gundul.
Maka tidak heran, dalam pertunjukkan cerita wayang almarhum Ki Seno Nugroho, uluk salam pamit yang dilakukan oleh anak kepada orangtua, murid kepada guru, punggawa kerajaan kepada raja, para ksatria kepada dewa, para dewa kepada Batara Guru, atau Batara Guru kepada Sang Hyang Wenang dibalas dengan ungkapan bermakna serupa dengan lagu Gundul-Gundul Pacul, yakni ‘sing ati-ati, aja kaya bocah cilik’ (hati-hari, jangan seperti anak kecil).
Bocah cilik adalah fase manusia belum menggunakan akal pikirannya untuk bersikap eling lan waspada (sadar dan mawas). Oleh karena itu, secara simbolik lagu GUndul-Gundul Pacul menunjukkan bahwa orang yang memiliki kewenangan mendistribusikan kesejahteraan harus menggunakan olah pikir dan rasanya. Simbolisasi tersebut ditandai dengan bait Nyunggi wakul atau membawa bakul nasi dengan menaruhnya di atas kepala.
Kerelaan Memahami
Dalam komunikasi, konvensionalitas adalah faktor penting agar pesan yang disampaikan sesuai dengan yang diterima (Ubaidillah, 2019). Seorang komunikan (penerima pesan) dalam proses decoding harus mau melampaui ego dan kepentingan pribadinya agar bisa memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator dengan menjangkau faktor kontekstual yang sama dengan komunikator saat memformulasi ujaran dalam tahap encoding. Kemampuan ini juga membantu dalam menyingkirkan noise dalam komunikasi, baik yang bersumber dari bias prasangka maupun noise eksternal dari pilihan tekstual dan saluran komunikasinya. Mengikuti Hall (1973), proses komunikasi pada dasarnya terbagi atas tiga tahap, yaitu encoding (fase proses mental komunikan memformulasi teks atau pernyataan), coding (fase teks disampaikan) dan decoding (fase proses mental komunikan menginterpretasi teks).
Penguasa perlu menanggalkan kebanggaan diri dan ketinggian derajat pangkat. Mereka juga perlu menempatkan diri setara, bahkan lebih rendah dari penyampai kritik agar dapat memahami kritik secara arif. Terlebih kritik tersebut disampaikan disampaikan secara simbolis seperti dalam tiga folklore di atas. Folklore adalah tradisi yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dan meneruskan transmisinya ke generasi selanjutnya, baik berbentuk lisan, setengah lisan, maupun bukan lisan (Danandjaja, 1997).
Pada titik ini, kita memahami mengapa pesan-pesan dalam folklore disampaikan melalui simbol-simbol. Pesan utama yang ingin disampaikan adalah tentang pentingnya kedewasaan mengendalikan diri. Pesan yang disampaikan secara eksplisit hanya mengantar pesan kognitif. Penerima pesan menerima pesan secara terpaksa. Penyampain pesan secara langsung tidak selalu menjamin kesuksesan dalam mengubah persepsi atau sikap seseorang.
Terdapat tiga pilihan sikap komunikan ketika menerima pesan, yakni menerima begitu saja, menegosiasikan atau menolak sama sekali pesan (Hall, 1973). Derajat kelangsungan pesan yang terlampau tinggi bisa berubah menjadi ancaman terhadap harga diri penerima pesan. Kata-kata makian untuk memberi daya hentak dan penekanan dalam kritik tekstual, justru sering kali disalahpahami sebagai pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Penyampaian kritik dalam folklore secara tersirat atau melalui simbol didasarkan pada kesadaran bahwa penerima pesan dianggap atau merasa memiliki posisi yang lebih tinggi, seperti penguasa atau raja. Tujuan pesan tersirat adalah untuk menyentuh sisi afektif (perasaan) dari penerima pesan, tidak hanya sisi kognitifnya.
Penyampaian kritik secara implisit atau melalui simbol dilakukan untuk mengurangi sifat agresif dari pesan. Penguasa memahami dan memaknai pesan kritik dengan cara yang mereka pilih. Pesan kritik yang disampaikan secara tidak langsung memberi ruang kontemplatif yang luas. Sifat agresif dalam pesan yang diterima menjadi tanggung jawab komunikan sendiri.
Folklore menggunakan komunikasi simbolis untuk mengedepan kesadaran diri penguasa dalam menerima kritik. Kesadaran diri muncul mendahului pesan yang dimaknai sebagai kritik. Hal demikian, berbeda dari kritik yang disampaikan secara langsung, kesadaran diri muncul setelah tahap interpretasi pesan.
Referensi
Danandjaja, J. (1997). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Pustaka Grafiti.
Hall, S. (1973). Encoding and Decoding in the Television Discourse. Centre for Contemporary Cultural Studies.
Ubaidillah. (2019). Resignification: Wacana balik orang Papua menanggapi rasisme. Jurnal Masyarakat dan Budaya, vol. 21, no. 3.
Watson, B. (1993). Selected Poems of Su Tung-P’o. Copper Canyon Press.
¹ Versi bahasa Inggris puisi ini diterjemahkan oleh Burton Watson dan diberi judul ‘Eastern Slope’.
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN.
Tentang Penulis