[Masyarakat & Budaya, Vol 23, No 21, November 2021]

Oleh Lutfia Sashi Kirana (Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia)

Pengasosiasian suatu jenis kelamin dengan gender tertentu — seperti perempuan dengan feminitas dan laki-laki dengan maskulinitas (Bem, 1981) — atau sex typing merupakan praktik yang sudah lumrah dilakukan, baik di negara Timur maupun Barat. Pandangan bahwa hanya terdapat dua gender yang diakui atau biner gender pun secara tidak disadari telah dalam tertanam di benak masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Barat menjadi semakin terbuka dengan berbagai ekspresi gender. Bahkan, ketika seorang lelaki — terutama selebritas terkenal — mengenakan pakaian yang identik dengan feminitas atau riasan wajah, banyak orang yang kagum karena menganggap figur tersebut berani menentang maskulinitas normatif yang berlaku selama ini.

Praktik ini kemudian ikut dikenal oleh masyarakat Timur berkat peran media sosial dalam sirkulasi informasi. Masyarakat Indonesia secara lambat laun mulai terpapar dengan berbagai ekspresi gender. Para figur publik pun tidak tertinggal dalam perkembangan ekspresi gender ini. Sebagai contoh, aktor Jefri Nichol yang menggunakan riasan wajah cukup tebal dalam salah satu pemotretannya. Konsep pemotretan secara keseluruhan juga identik dengan nilai feminitas secara normatif. Ketika salah satu foto dalam pemotretan terkait mulai dilihat oleh publik karena diunggah di media sosial, reaksi yang dituai pun bermacam-macam. Salah satu respons yang sempat menjadi cukup viral berasal dari beberapa anggota komunitas queer Indonesia. Pasalnya, konsep dari foto tersebut dianggap sebagai bentuk queerbaiting sehingga mereka merasa tidak terima.

Queerbaiting dijelaskan oleh Brennan (2018) sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut produsen atau pemain lain dalam media yang diyakini sengaja memasukkan subteks homoerotik untuk menarik konsumen queer, tetapi tidak pernah mengaktualisasi subteks tersebut. Beberapa produk media yang sering diangkat ketika membahas queerbaiting adalah serial Sherlock (2010) dan Killing Eve (2018). Khalayak menuduh produsen kedua serial ini melakukan queerbaiting karena menampilkan ketegangan seksual antara dua pemeran utama dengan jenis kelamin yang sama tanpa pernah menegaskan jenis hubungan mereka. Pada akhirnya, sebagian penonton menyuarakan kekesalan melalui media sosial karena merasa para produsen media telah menjebak mereka dengan subteks tersebut.

Tidak hanya pada produk media, figur publik pun terkadang dituduh telah melakukan praktik queerbaiting, seperti penyanyi Billie Eilish yang pernah mengunggah foto dengan caption berbunyi “I like girls” tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Poin yang ditekankan oleh komunitas queer adalah bagaimana para figur publik dapat dengan leluasa mengadopsi budaya komunitas LGBTQ+ dan dianggap revolusioner oleh masyarakat luas karena berani melewati batas gender — sedangkan ketika komunitas LGBTQ+ melakukan hal serupa, mereka mendapat cercaan dan ancaman. Di sisi lain, para figur publik ini dianggap melakukan queerbaiting karena tidak pernah menyuarakan isu LGBTQ+ sehingga terkesan hanya ingin menarik perhatian komunitas queer demi publisitas.

Queerbaiting dan Komersialisasi Ekspresi Gender

Ketika membahas tentang queerbaiting, konsep lain yang berkaitan adalah kapitalisasi atau komersialisasi. Mengacu pada penjelasan Brennan (2018) sebelumnya, queerbaiting dapat disebut sebagai taktik pemasaran untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Produsen dan pemain media dipandang hanya memanfaatkan penggunaan estetika queer agar terlihat progresif dan representatif — yang kemudian membuat komunitas LGBTQ+ dan pendukungnya tertarik.

Jika fenomena queerbaiting semata-mata dianggap sebagai kegiatan pemasaran yang berorientasi pada profit, dapat dikatakan bahwa estetika queer telah berubah menjadi suatu komoditas atau barang yang memiliki nilai tukar. Dengan logika ini, budaya — dalam bentuk estetika queer — telah berubah menjadi industri, sesuai dengan konsep industri budaya yang dicetuskan oleh Adorno dan Horkheimer (1944). Lebih dari itu, keduanya juga menjelaskan bagaimana produk-produk budaya menjadi homogen dan terstandardisasi karena adanya orientasi pada profit.

Tren queerbaiting pada dasarnya berasal dari Barat, mengingat iklim politik Amerika Serikat sudah lebih terbuka dan toleran terhadap komunitas LGBTQ+, serta adanya tuntutan dari masyarakat untuk menampilkan media yang lebih beragam dan representatif. Bila kembali pada studi kasus Jefri Nichol, terlihat bahwa tren ini sudah memasuki Indonesia. Dalam konteks industri budaya, ketika figur publik di Indonesia mulai mencontoh perilaku figur Barat, budaya dapat dikatakan semakin homogen dan terstandardisasi.

Ekspresi Gender di Indonesia

Namun, praktik queerbaiting sebenarnya belum marak tampil di media Indonesia karena komunitas LGBTQ+ belum ditoleransi oleh sebagian besar masyarakat. Pemerintah pun beberapa kali mengambil langkah tegas yang menunjukkan bahwa komunitas LGBTQ+ tidak memiliki tempat di media Indonesia. Walaupun begitu, teguran warganet mengenai pemotretan Jefri Nichol menunjukkan adanya kemungkinan queerbaiting mulai ditiru oleh figur publik Indonesia. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa aktor tersebut nekat mengambil langkah riskan ini, mengingat iklim Indonesia belum begitu terbuka terhadap komunitas queer?

Terdapat setidaknya dua alasan utama yang dapat melatarbelakangi keberanian Jefri Nichol. Alasan pertama adalah masyarakat Indonesia tampak semakin terbuka terhadap ragam ekspresi gender. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan popularitas produk media boys’ love (Shamoon, 2017), yaitu genre hiburan dengan alur cerita yang berfokus pada hubungan romantis antara dua orang lelaki (McLelland, 2005). Sedangkan, alasan kedua adalah anggota komunitas LGBTQ+ yang semakin terlihat eksistensinya, baik di dalam maupun di luar dunia maya. Menurut Ridwan dan Wu (2018), aktivisme LGBTQ+ bahkan mengalami peningkatan di Indonesia meski mendapat berbagai kecaman.

Tindakan Jefri Nichol memang terlihat seperti publicity stunt yang berhasil membuahkan perhatian dari warganet. Namun, masih terlalu dini untuk menyebut bahwa perlakuan tersebut adalah bentuk queerbaiting. Selain karena komunitas LGBTQ+ yang belum diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia, istilah queerbaiting pun masih dalam perdebatan sehingga sulit untuk menentukan batas antara queerbaiting dan pemberdayaan yang tulus. Di sisi lain, rasanya terlalu naif untuk mengatakan bahwa Jefri Nichol telah melakukan queerbaiting semata-mata karena menggunakan riasan wajah yang tebal dalam sebuah pemotretan. Alih-alih progresif, cara pandang seperti ini malah lekat dengan biner gender dan sex typing.

Jika melihat konteks Indonesia, praktik queerbaiting dapat dilihat sebagai bentuk pemberdayaan tersendiri. Setidak-tidaknya, taktik publisitas ini diharapkan dapat membuat masyarakat Indonesia lebih terbuka dengan ragam ekspresi gender. Walaupun memang jauh dari ideal, untuk saat ini mungkin privilese figur publik dapat berperan dalam normalisasi estetika queer — dengan harapan dapat berujung pada penerimaan komunitas tersebut (Editor Hidayatullah Rabbani).

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1944). The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception.

Bem, S. L. (1981). Gender schema theory: A cognitive account of sex typing. Psychological review, 88(4), 354.

Brennan, J. (2018). Introduction: Queerbaiting. The Journal of Fandom Studies, 6(2), 105-113.

McLelland, M. (2005). The world of Yaoi: The internet, censorship and the global ‘boys’ love’ fandom. Australian Feminist Law Journal, 23(1), 61-77.

Ridwan, R., & Wu, J. (2018). ‘Being young and LGBT, what could be worse?’ Analysis of youth LGBT activism in Indonesia: challenges and ways forward. Gender & Development, 26(1), 121-138.

Shamoon, D. (2017). Boys Love Manga and Beyond: History, Culture, and Community in Japan ed. by Mark McLelland et al. The Journal of Japanese Studies, 43(2), 462-466.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Lutfia Sashi Kirana adalah seorang mahasiswi tingkat akhir dari Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Ia memiliki ketertarikan pada bidang-bidang terkait gender dan seksualitas, serta budaya pop khususnya dari Asia. Selain itu, Sashi aktif memublikasikan artikel nonfiksi di Medium dan menjadi penulis novel lepas di beberapa penerbit. Sashi dapat dihubungi melalui e-mail: lutfia.sashi@ui.ac.id atau sashikirana.acc@gmail.com.