[Masyarakat & Budaya, Vol. 27, No. 4, September 2022]

oleh Indra Prasetya Adi Nugroho (Analis Kebijakan Kemenko PMK)

Berdasarkan catatan tahunan periode 2022, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan (KBGTP) sepanjang 2021 sejumlah 338.496 kasus naik dari 226.062 kasus di tahun 2020 (Komnas Perempuan, 2022a, 2022b). Hasil Survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene menyebutkan 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum (APH) dengan berbagai ragam alasan seperti malu, takut disalahkan, tidak cukup bukti, tidak didukung keluarga, dan intimidasi pelaku (Asmarani, 2016). Realita tidak melapornya para korban kepada APH merupakan bukti kuatnya isu patriarki yang ada di masyarakat. Isu patriarki mengemuka karena para korban yang mayoritas adalah kaum perempuan diminta untuk diam oleh sistem atau mekanisme yang ada di masyarakat. Beberapa contoh sistem atau mekanisme tersebut diantaranya adalah menyalahkan korban kekerasan seksual, dengan bentuk beragam misalnya menyalahkan si korban dari cara berpakaian. Hal ini termasuk juga adanya sistem di dalam keluarga yang tidak mau menanggung malu apabila ada anggota keluarganya yang menjadi korban kekerasan seksual.

Data KBGTP sendiri pada tahun 2022 masih didominasi oleh kekerasan di ranah personal dengan 2.527 kasus, dimana 771 kasus diantaranya adalah kekerasan terhadap istri dan 212 kasus kekerasan terhadap anak perempuan (Komnas Perempuan, 2022b). Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018 (KPPPA, 2018) yang salah satu tujuannya untuk mengidentifikasi faktor risiko dan faktor perlindungan dari tindak kekerasan menyebutkan bahwa 1 dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual, dengan prevalensi usia 18-24 tahun sejumlah 83.2% mengalami kekerasan berbentuk sentuhan, dan 70% diantaranya berupa pemaksaan fisik. Sementara itu untuk pelaku kekerasan seksualnya 10.3% dilakukan oleh keluarga, 15.7% oleh pasangan/pacar, dan 47.1% oleh teman/sebaya. Lagi lagi keluarga dan lingkaran terdekat korban lah yang menjadi pelaku tindak kekerasan ini, sebuah realita yang sangat miris.

Banyaknya kekerasan di dalam rumah tangga menjadi isu yang seakan tidak pernah selesai dan menjadi lingkaran setan di dalam realita tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di lapangan. Budaya patriarki dimana kaum lelaki di rumah tangga adalah superior dan kaum wanita adalah inferior menjadi alasan klasik yang tidak akan selesai tanpa adanya kesepakatan dan kesepahaman bersama bahwa budaya patriarki yang banyak berdampak negative ini harus dihapus. Kaum wanita di dalam keluarga baik itu istri maupun anak adalah kaum yang harus dibela dan dilindungi dalam koridor kesetaraan gender di dalam keluarga (Handayani, 2016; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2020; Lubis, 2017; Muhajarah, 2016; Purwanti & Zalianti, 2018).

Peningkatan dan penguatan pemahaman terhadap kesetaraan hak antara laki laki dan perempuan serta bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan bagi para pihak di dalam keluarga maupun lingkungan pendidikan menjadi salah satu poin krusial penyelesaian persoalan kekerasan ini. Dengan meningkatnya pemahaman serta menguatnya perhatian para pihak di dalam keluarga terhadap bentuk kekerasan terhadap perempuan akan menjadi batas atau dinding pemisah yang tegas antara melakukan tindak kekerasan ataukah melindungi hak-hak para perempuan dari kekerasan sekaligus menghancurkan relasi kuasa timpang antara keduanya yang telah membudaya selama ini.

Budaya Patriarki di Masyarakat Indonesia

Dalam sebuah analisa di 14 negara Asia Pasifik tentang keamanan, kesehatan dan kesempatan untuk perempuan disebutkan bahwa Indonesia bersama Filipina dan India di ranking terendah dengan indikasi peraturan pemerintah tidak dapat meningkatkan kualitas hidup apabila berkebalikan dengan agama dan nilai budaya. Indonesia bersama Filipina dan India dianggap menjadi negara tujuan paling berbahaya bagi perempuan dimana salah satu faktor penyebabnya adalah perilaku patriarki yang didasarkan pada nilai budaya atau agama dimana perempuan takut akan keselamatannya dibanding dengan negara lain di Asia Pasifik (Dedees, 2016; Evlanova, 2019; Hannah, 2017). Penelitian diatas nampaknya menjadi penegas bahwa ketimpangan relasi kuasa antara laki laki dan perempuan didasarkan pada nilai atau dogma yang ada di masyarakat baik adat, budaya maupun agama.

Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat menyuburkan pendekatan patriarki di setiap lini kehidupan, baik di ranah sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan dalam ranah hukum pada saat penyusunan regulasi. Realita terakhir ini sudah seharusnya menjadi fokus perhatian dari pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk dapat menemukan rumus terbaik dalam pencegahan perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan di masyarakat. Permasalahan utama nya adalah ketimpangan di masyarakat ini terus dinarasikan menjadi sebuah kewajaran (Afifah, 2017; Indaryani, 2019; Primagita & Riantoputra, 2019; Rosida, 2018; Sumadi, 2017; Yusalia, 2014).

Dibutuhkan energi yang sangat besar dan simultan serta dari semua sisi kehidupan untuk merubah budaya patriarki ini, sehinga hak hak asasi manusia para perempuan tidak lagi didesak dalam jurang ketimpangan dan diskriminasi diperbandingkan dengan para laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat di lapangan. Sebagai contoh, adat istiadat dan norma agama yang selalu dikaitkan dengan langgengnya ketimpangan relasi kuasa antara laki laki dan perempuan membutuhkan kemauan dari para pemuka adat dan agama untuk tidak menganggap peran perempuan hanyalah di dapur dan sekadar pemenuh kebutuhan biologis suami. Oleh karenanya peningkatan dan penguatan pemahaman terhadap pada pemuka adat dan pemuka agama secara umum ini merupakan sebuah kebutuhan mendesak demi hancurnya ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki laki yang sudah menjadi budaya di masyarakat.

Dengan peningkatan dan penguatan pemahaman kesetaraan hak antara laki laki dan perempuan serta bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan bagi para pemuka adat dan pemuka agama sebagai salah satu pihak yang sering kali dijadikan acuan dalam hidup bermasayarakat, akan dapat melahirkan jawaban terbaik di lapangan. Sebutkanlah misalnya para pemuka agama saat sudah memiliki pemahaman yang kuat terhadap bentuk bentuk kekerasan akan memberikan masukan kepada para pasangan suami istri, khususnya para suami untuk tidak memaksakan kehendak terhadap istrinya, misalnya kehendak untuk berhubungan seksual padahal istrinya dalam kondisi haid.

Sudah saatnya semua pihak menjadi kolaborator dari penjaminan hak hak asasi manusia dan mengikis habis ketimpangan relasi kuasa antara laki laki dan perempuan di dalam lingkungan manapun, baik di ranah keluaga, maupun dalam ranah dunia profesionalisme seperti di lingkungan pendidikan.

Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Sebuah Oase Intervensi terhadap Kekerasan terhadap Perempuan dan Budaya Patriarki?

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah salah satu bentuk perlindungan derajat martabat manusia terhadap jaminan keamanan dan ketentraman serta keadilan di masyarakat (Sekretariat Negara, 2022). UU TPKS ini dielu-elukan oleh mayoritas masyarakat dan lembaga pemerhati perlindungan HAM khususnya hak perempuan setelah melewati proses yang panjang dan berliku, bak oase di tengah padang pasir. Pertanyaan mendasar kemudian adalah apakah UU TPKS ini bisa benar benar menjadi oase jaminan hak asasi manusia di tengah tindak pidana kekerasan berdasarkan relasi kuasa yang masih mengakar kuat sebagaimana sudah diungkap di depan.

UU TPKS menegaskan ada 9 macam tindak pidana kekerasan seksual dan 10 tindak pidana lain yang meliputi TPKS, sangat terkait tulisan ini khususnya dalam pasal 4 ayat (2) huruf h yaitu kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga. Dengan disebutkannya kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga sebagai tindak pidana kekerasan seksual maka diharapkan runtuhnya budaya patriarki yang mengakar dan menjadi penyebab dari lahirnya kekerasan terhadap perempuan di ranah keluarga dapat terwujud sehingga anggota keluarga khususnya para perempuan akan memiliki jaminan perlindungan dan keamanan yang jelas serta terukur.

UU TPKS sebagaimana diharapkan oleh banyak pihak akan mampu menjadi penegas batas dan dinding yang kokoh bagi penjaminan hak hak asasi perempuan khususnya di masa kini dimana ketimpangan relasi kuasa antara laki laki dan perempuan masih sangat terasa. Penegasan melalui adanya sanksi pidana baik pidana penjara maupun pidana denda sesuai dengan tindakan pelanggaran di dalam UU ini juga setidaknya akan membuat efek gentar bagi para pelaku maupun calon pelaku kekerasan terhadap perempuan. Sebuah keniscayaan yang harus terus dibangun bahwa meskipun klise kita masih membutuhkan regulasi sebagai seperangkat aturan untuk menjamin keteraturan di dalam kehidupan bersosial budaya dan bernegara demi terjaganya batas batas atau rambu rambu hak hak asasi manusia bagi para warga negara.

Kekerasan terhadap perempuan sebagai hasil dari ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki laki yang mengakar dan menjadi budaya patriarki bukan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Kekerasan terhadap perempuan ini dapat dihilangkan melalui berbagai macam format atau cara penyelesaian yang saling bertautan satu sama lain yaitu melalui:

  1. peningkatan dan penguatan pemahaman serta kesadaran masyarakat atas kesetaraan hak dan bentuk kekerasan terhadap perempuan Misalnya 1) di dalam ranah pendidikan melalui perbaikan kurikulum yang harus menyebutkan bentuk kekerasan terhadap perempuan kepada para peserta didik, dan 2). di dalam ranah berkehidupan sosial dan bermasyarakat kepada para pemuka adat dan pemuka agama agar bersama sama menjadi panutan yang menjunjung tinggi hak hak asasi manusia khususnya perempuan di tengah pergulatan dogma dan norma yang ada di masyarakat;
  2. penyebarluasan informasi dan diseminasi pemahaman kesetaraan hak dan bentuk kekerasan terhadap perempuan di semua ranah kehidupan. Hal ini harus dilakukan baik kepada para laki laki maupun perempuan itu sendiri, baik terhadap masyarakat maupun aparat penegak hukum sebagai representasi negara. Semua pihak harus memiliki landasan pijak yang sama dalam memahami bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan dan cara untuk menyelesaikannya.
  3. penguatan regulasi payung hukum tindak pidana kekerasan terhadap perempuan. Hal ini harus dilakukan baik kepada peraturan yang sudah ada maupun turunan dari peraturan perundangan yang harus ada sebagai petunjuk pelaksanaan di lapangan dari institusi negara terkait. UU TPKS bisa jadi merupakan contoh oase yang dibutuhkan dalam penyelesaian persoalan kekerasan terhadap perempuan, meski masih membutuhkan waktu panjang untuk pembuktiannya. (Editor: Hidayatullah Rabbani)

Referensi:

Afifah, W. (2017). HUKUM DAN KONSTITUSI: PERLINDUNGAN HUKUM ATAS DISKRIMINASI PADA HAK ASASI PEREMPUAN DI DALAM KONSTITUSI. DiH Jurnal Ilmu Hukum, 13(26), 201–216.

Asmarani, D. (2016). 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei. Magdalene. Retrieved from https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei

Dedees, A. R. (2016). Merebut Kursi Impian Partisipasi Perempuan di Tengah Intervensi Negara dan Dinasti Politik. Intizar, 22(2), 319. https://doi.org/10.19109/intizar.v22i2.947

Evlanova, A. (2019). Top 5 Safest Countries in Asia Pacific for Women. ValueChampion. Retrieved from https://www.valuechampion.sg/top-5-safest-countries-asia-pacific-women

Handayani, T. (2016). Peningkatan Ketahanan Keluarga melalui Optimalisasi Pola Asuh Maternalistik dalam Pencegahan Kejadian Pedofilia. PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 3(3), 547–564. https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a6

Hannah, N. (2017). Seksualitas dalam Alquran, Hadis dan Fikih: Mengimbangi Wacana Patriarki. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2(1), 45–60. https://doi.org/10.15575/jw.v2i1.795

Indaryani, S. (2019). Dinamika Psikososial Remaja Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Psikologi Perseptual, 3(1), 1–6. https://doi.org/10.24176/perseptual.v3i1.3677

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020). Profil Perempuan Indonesia. Profil Perempuan Indonesia, xviii+178.

Komnas Perempuan. (2022a). Bayang-bayang Stagnansi : Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah , Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan.

Komnas Perempuan. (2022b). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022.

KPPPA, K. P. P. dan P. A. (2018). Fakta kekerasan terhadap anak di Indonesia. 25.

Lubis, E. Z. (2017). Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9(2), 141–150. https://doi.org/10.24114/jupiis.v9i2.8242

Muhajarah, K. (2016). Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga: Perspektif Sosio-Budaya, Hukum dan Agama. Sawwa, 11(2), 127–146.

Primagita, P., & Riantoputra, C. D. (2019). Factors that influence woman–leader identity conflict among Indonesian women leaders. Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities, 27(3), 1769–1786.

Purwanti, A., & Zalianti, M. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan Anak Melalui Ruu Kekerasan Seksual. Masalah-Masalah Hukum, 47(2), 138–148. https://doi.org/10.14710/mmh.47.2.2018.138-148

Rosida, I. (2018). Tubuh Perempuan Dalam Budaya Konsumen: Antara Kesenangan Diri, Status Sosial, Dan Nilai Patriarki. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 20(1), 85. https://doi.org/10.25077/jantro.v20.n1.p85-101.2018

Sekretariat Negara. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. , (2022).

Sumadi. (2017). Islam Dan Seksualitas : Bias Gender Dalam Humor Pesantren. El Harakah, 19(Gender dan Seksualitas), 21–40.

Yusalia, H. (2014). Pengarusutamaan Gender (PUG) Dalam Tantangan Budaya Patriarki. Wardah: No. XXVIII/ Th. XV/Desember 2014, 1, 195–201.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Indra Prasetya Adi Nugroho merupakan seorang Analis Kebijakan Ahli Muda pada Asisten Deputi Pemberdayaan Pemuda, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Ia pernah menempuh pendidikan pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia dan Departement Public Policy Higher School of Economics, Moscow, Russia Federation. Penulis dapat dihubungi melalui email: indra.kpmk@gmail.com.