[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 24, April 2022]
Oleh Nuzul Solekhah (Peneliti Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa, dan Konektivitas, BRIN)
Pandemi mengakibatkan penggunaan media sosial di Indonesia mengalami peningkatan. Dari sebanyak 274,9 juta jiwa total populasi di Indonesia, 170 juta diantaranya merupakan pengguna aktif media sosial (KOMPAS, 2021). Salah satu berita yang cukup menghebohkan media sosial di tahun 2021 adalah maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren. Menurut data Komnas Perempuan, selama tahun 2015-2020, kasus kekerasan seksual di Pondok pesantren menempati posisi tertinggi kedua setelah perguruan tinggi. Sejalan dengan peningkatan alokasi penggunaan waktu dalam bermedia sosial, aktivisme tagar menjadi salah satu pendorong bagaimana kasus ini akhirnya terkuak ke publik pada tahun 2021. Viralnya HW (36) dengan kasus pemerkosaan belasan santriwati di sebuah rumah tahfidz di Bandung, Jawa Barat hingga korbannya hamil hanyalah salah satu dari sekian kasus kekerasan seksual yang mengantre untuk direspon dan dikawal.
Grafik. 1. Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Sumber: (Komisi Nasional Perempuan, 2020)
Mengacu pada poin Sustainable Development Goals (SDG’s), terdapat dua poin tujuan yang bersinggungan dengan Pesantren. Tujuan ke empat yaitu Memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua, serta tujuan ke lima yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Seharusnya, pondok pesantren menjadi salah satu institusi sosial yang berkontribusi terhadap pencapaian kedua tujuan SDG’s tersebut. Mengingat pondok pesantren merupakan institusi yang di dalamnya melekat dua mandat penting, yaitu sebagai institusi pendidikan sekaligus juga sebagai institusi agama. Pada aspek sejarah, pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas di Indonesia (Zakiah, 2015), meskipun di negara lain seperti Malaysia, India, Pakistan, dan China juga terdapat praktik pendidikan semacam pesantren dengan sebutan Madrasah (Noor, 2019). Pelajar (dalam hal ini juga termasuk santri) merupakan salah satu komponen indikator pembangunan nasional melalui institusi Pendidikan. Di sisi lain, pesantren merupakan institusi agama yang di dalamnya terdapat praktik transfer pengetahuan yang saat ini konon sudah mengalami modernisasi pengajaran Pendidikan islam. Sehingga jebolan pesantren nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan keagamaan yang dapat memperkokoh nuansa pembangunan nasional, khususnya dari aspek agama.
Penyebutan Oknum di tengah Sistem Pesantren yang Eksklusif
Viralnya berbagai kasus kekerasan seksual, ternyata diikuti dengan penyebutan istilah oknum dalam pemberitaan di media. Istilah tersebut rupanya digunakan untuk merujuk tindakan negatif seseorang yang tidak mewakili institusi atau lembaga yang menaunginya (KOMPASIANA, 2015). Padahal jika kita telusuri dalam KBBI, arti kata oknum merujuk pada : 1) penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi: kesatuan antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus Sebagai tiga—keesaan Tuhan; 2) orang seorang; perseorangan; 2) orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). Namun, penggunaan istilah oknum di Indonesia bukan hal baru ketika membahas kasus pelanggaran atau tindakan negatif yang terjadi pada institusi yang menaungi norma hukum, agama, dan pendidikan. Misalnya, penyebutan oknum ketika terdapat polisi, pendidik di institusi Pendidikan maupun kiai atau pengasuh yang melakukan kasus kekerasan seksual. Terlepas dari politik bahasa dalam penggunaan kata oknum untuk pelaku kekerasan seksual, rupanya kasus kekerasan seksual di pesantren menempati posisi teratas kedua dengan jumlah aduan terbanyak setelah universitas. Apakah hal ini suatu kebetulan semata atau memang ada sistem yang bersifat laten dan berpotensi menjadi celah peristiwa itu bisa terjadi secara berulang di lingkungan pesantren?
Pencarian data kasus pelecehan seksual pada anak sulit dilakukan karena sebagian besar kasus tidak dilaporkan atau tidak dikenal (Wismayanti et al., 2019). Begitu pula dengan konteks kasus pelecehan dan kekerasan seksual di institusi pesantren. Sistem di pesantren rata-rata mengharuskan santrinya untuk membatasi diri dengan dunia luar, salah satunya dengan tidak membawa handphone ketika berada di pesantren agar fokus pada kegiatan pembelajaran di pesantren. Dari hasil pembacaan penulis terhadap beberapa berita kekerasan seksual di pesantren, rata-rata kasus tersebut terjadi pada pesantren dengan sistem eksklusif seperti ini. Ruang gerak mereka hanya dibatasi pada lingkungan pesantren, tidak adanya media untuk berkomunikasi dengan keluarga maupun teman di luar pesantren membuat mereka tidak memiliki kekuatan dan saluran untuk melapor. Beberapa kasus bisa terkuak ke publik karena korban sempat kabur dari pesantren dan melapor pada orang tua atau keluarga terdekat. Sistem yang seperti ini membuat pelaku berpotensi melakukan perbuatan tersebut selama berkali-kali, karena tidak ada ruang pengawasan yang ketat dari lingkungan eksternal.
Penanaman Sikap Kritis dalam Narasi Mencari Berkah di Lingkungan Pesantren.
Berdasarkan Pangkalan Data Pondok Pesantren Kementerian Agama, pada tahun 2019 terdapat 2.905.316 santri mukim dan sisanya 1.171.091 adalah santri non mukim. Santri yang mukim sudah tidak asing dengan istilah nilah berkah dan relasinya dengan eksistensi kiai, karena kiai memiliki peran penting dalam pesantren. Dalam pesantren, dikenal istilah terminologi talmadzah yang menggambarkan bagaimana sikap pasif santri ke guru terjadi karena pola pendidikan santri sebagai murid, abdi dan kawula yang mana hal ini dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’allim, suatu referensi kitab kuning yang dipelajari di pesantren (Zakiah, 2015). Selain memiliki gaya kepemimpinan karismatik, posisi kiai sebagai penyambung ilmu di pesantren membuat mereka dihormati karena dianggap menguasai dan mengamalkan ilmu yang diajarkan, sehingga para santri merasa harus patuh apabila ingin mendapat berkah dari mereka. Posisi kiai sebagai patron bagi para santri menjadikan mereka melakukan tindakan sukarela dalam menjalankan perintah kiai. Lantas apa hubungannya voluntary action yang cenderung dimiliki para santri dengan kasus kekerasan seksual di pesantren?
Sebuah artikel dalam Majalah Tempo mengatakan bahwa dengan alasan ngalap berkah, pemilik pesantren di Pamekasan Madura mencabuli dua santri yang masih di bawah umur, kedua korban memiliki trauma berat, ada korban yang takut kualat melapor polisi (TEMPO, 2022). Alasan semacam ini menunjukkan bahwa narasi mencari berkah yang seharusnya menjadi saluran voluntary action santri kaitannya dengan menyempurnakan ilmu agama yang dipelajari, justru disalahgunakan lagi-lagi oleh “oknum” untuk menormalisasi kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Tindakan mencari berkah atau dalam Bahasa arab disebut dengan Tabaruk, sudah menjadi tradisi di Indonesia, terutama di Pesantren.
Fenomena semacam ini menunjukkan perlunya menanamkan sikap kritis pada pembelajaran di pesantren. Penanaman sikap kritis merupakan urgensi yang seharusnya dimasukkan dalam sistem pembelajaran di pesantren saat ini. Sebagai pencari ilmu, selayaknya para santri mendapatkan penguatan sikap kritis dengan pengenalan konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi terkait realitas atau kebenaran yang akan dipelajari, epistemologi terkait hakikat atau susunan berpikir untuk mengetahui kebenaran yang ingin diketahui, sedangkan aksiologi adalah analisis terkait hakikat nilai-nilai kebaikan, kebenaran, keindahan dan religiositas (Rahmadani et al., 2021). Rangkaian pemahaman terhadap filsafat keilmuan ini yang kemudian digunakan sebagai refleksi atas pencarian suatu ilmu agar tetap pada koridor klarifikasi dalam menjembatani tujuan hidup dan pendidikan.
Grafik 2. Perbandingan Santri Mukmin dan Non Mukmin
Sumber: Diolah dari https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/grafik
Pendidikan Seksual dalam Kurikulum Pondok Pesantren
Sering kita mendengar pengajaran tentang bab pernikahan dan akil balig yang diajarkan dalam pesantren. Hal ini perlu ditindak lanjuti dengan membuat kurikulum tentang pendidikan seksual di lingkungan pendidikan pesantren. pendidikan seksual yang dimaksud dalam hal ini dalam artian komprehensif, yaitu suatu upaya agar santri dapat melakukan proteksi diri terhadap tindakan eksploitasi seksual, perlindungan baik secara moril, psikologis maupun hukum terhadap korban kekerasan seksual di pesantren. Sikap kritis dan perlindungan atas otoritas tubuh mereka diharapkan dapat menjadi bekal bagi para santri agar tidak berada dalam powerlessness ketika menghadapi situasi kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Sejauh ini, terapat lima unsur pokok dalam pendirian pesantren di Indonesia, yaitu 1)adanya Kyai,tuan/guru/ustad atau sebutan lain sebagai figur dan/atau sekaligus pengasuh yang dipersyaratkan wajib berpendidikan pondok pesantren, 2)terdapat minimal 15 santri, 3) adanya pondok/asrama, 4) adanya masjid atau mushala, 5) terdapat pengajaran kitab-kitab atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mu’allimin (KEMENAG RI, 2021). Dengan terungkapnya berbagai kasus kekerasan seksual di pesantren, sudah selayaknya pesantren memasukkan pendidikan seksual dalam kurikulum pondok, serta Syarat Operasional Prosedur (SOP) jika terjadi kasus kekerasan seksual di dalam instansi tersebut. (Editor: Al Araf A.M)
Referensi:
Ilustrasi: Shutterstock
Komisi Nasional Perempuan. (2020). Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan. Https://Komnasperempuan.Go.Id/, 1–3. https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/webOld/file/pdf_file/2020/Lembar Fakta KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN (27 Oktober 2020).pdf
Noor, F. A. (2019). 7. From Pondok to Parliament: The Role Played by the Religious Schools of Malaysia in the Development of the Pan-Malaysian Islamic Party (PAS). The Madrasa in Asia, 191–216. https://doi.org/10.1515/9789048501380-009
Rahmadani, E., Armanto, D., Syafitri, E., & Umami, R. (2021). Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Karakter. Journal of Science and Social Research, 4(3), 307. https://doi.org/10.54314/jssr.v4i3.680
Wismayanti, Y. F., O’Leary, P., Tilbury, C., & Tjoe, Y. (2019). Child sexual abuse in Indonesia: A systematic review of literature, law and policy. Child Abuse and Neglect, 95(November 2018), 104034. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2019.104034
Zakiah, L. (2015). Kepercayaan Santri Pada Kiai. Buletin Psikologi, 12(1), 33–43. https://doi.org/10.22146/bpsi.7467
KEMENAG RI. (2021, Maret 24). https://ntb.kemenag.go.id/. Retrieved from kemenag.go.id/: https://ntb.kemenag.go.id/baca/1616559420/ingin-mendirikan-pondok-pesantren-ini-syaratnya
KOMPAS. (2021, 10 14). kompas.com. Retrieved from https://tekno.kompas.com/read/: https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/11320087/berapa-lama-orang-indonesia-akses-internet-dan-medsos-setiap-hari?page=all
KOMPASIANA. (2015, 6 24). Kompasiana. Retrieved from https://www.kompasiana.com/: https://www.kompasiana.com/dimasadiputra/552e2e1c6ea83435188b4576/mari-kita-sebut-mereka-sebagai-oknum
TEMPO. (2022, February 12). Majalah Tempo. Retrieved from https://majalah.tempo.co/read/hukum/: https://majalah.tempo.co/read/hukum/165286/bagaimana-pelecehan-seksual-di-pondok-pesantren-pamekasan
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Nuzul Solekhah saat ini adalah seorang Peneliti Ahli Pertama di Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Saat ini Ia sedang tertarik dengan tema permasalahan kesejahteraan sosial dan keterkaitannya dengan aspek gender, well being dan permasalahan ruang urban. Di samping itu, penulis memiliki minat terhadap budaya, teknologi dan media karena penelitian di era saat ini tidak dapat dilepaskan dari hal tersebut. Email : nuzulsoleka@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.06.08“Jelita Di Tengah Bara”: Meneroka Inovasi Konservasi Sosial Ekonomi Anggrek Endemik Vanda tricolor Di Kawasan Gunung Merapi
Berita2023.06.08BRIN – Populix Jalin Kerja Sama Riset Budaya Ilmiah Pada Generasi Milenial dan Gen Z
Call for Paper2023.06.06CALL FOR PAPERS INTERNATIONAL FORUM ON SPICE ROUTE (IFSR) 2023
Artikel2023.05.04Re-Rekognisi Mitos Maskulinitas (yang) Mahal Dalam Uang Panai’