[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 25, April 2022]

oleh Imelda (Peneliti PMB BRIN)

Sumber Foto: Koleksi Pribdai Kunta Anjana dari twinbon Paguyuban pasundan (2022)

Otonomi daerah berdampak terhadap bahasa minoritas di Indonesia, khususnya orang Sunda di provinsi Jawa Tengah. Tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana Sunda menjadi bahasa yang terabaikan di Provinsi Jawa Tengah setelah otonomi daerah (otda).

Kebijakan Bahasa Daerah dan Pasang Surut Pengajaran Bahasa Sunda di Provinsi Jawa Tengah

Otda berlaku setelah UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetapkan. Sejak saat ini, daerah provinsi dan kabupaten/kota membuat berbagai peraturan untuk kebutuhan identitas daerahnya, salah satunya peraturan tentang bahasa daerah. Povinsi Jawa Tengah, contohnya, menetapkan, tiga peraturan daerah tentang bahasa, antara lain: (1) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa, (2) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Bahasa, Sastra, Dan Aksara Jawa, dan (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 55 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Inti dari kebijakan tersebut ialah untuk “melindungi, membina dan mengembangkan bahasa, sastra dan aksara Jawa” (Pasal 2, Perda 9/2012) dan dalam konteks pendidikan “[s]emua satuan pendidikan di Jawa Tengah wajib melaksanakan Pelajaran Bahasa Jawa” (Ayat 1, Pasal 13 Pergub 57/2012)

Orang Sunda di provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu etnis minoritas yang berjumlah 323.207 jiwa atau 1,05 % dari total penduduk provinsi Jawa Tengah, berdasarkan sensus tahun 2010 (Suryadinata, Arifin, dan Ananta (2003:20)). Di provinsi tersebut mereka tersebar di dua kabupaten: Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap. Fakta yang paling menarik ialah bahwa mereka bukanlah migran dari Jawa Barat, tetapi penduduk setempat yang telah berada di tempat tersebut sejak zaman kerajaan Sunda karena batas kerajaan tersebut ialah Sungai Cipamali yang ada di Provinsi Jawa Tengah saat ini (Noorduyn, 2019: 8).

Kembali pada kebijakan bahasa, Sejak ditetapkannya kebijakan bahasa daerah Jawa, pengajaran bahasa Sunda mengalami pasang surut. Dalam sebuah artikel berbahasa Sunda, DI (60 th), seorang kepala sekolah dasar di Desa Buara, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes menegaskan bahwa pengajaran bahasa Sunda praktis berhenti setelah ada peraturan tersebut di kurikulum 2013. Di pertengahan tahun 2014 tiba-tiba sekolah diharuskan melakukan ujian tengah semester bahasa Jawa, padahal yang diajarkan bahasa Sunda. Kondisi ini menghasilkan rasa kecewa di kalangan guru beretnis Sunda. Berbeda dari Brebes, sekolah dasar di Kabupaten Cilacap telah lebih dahulu merasakan dampaknya. Salah satu kecamatan yang dapat dikatakan 100 persen orang Sunda ialah Kecamatan Dayeuhluhur yang terletak persis di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sejak otonomi daerah, wilayah ini wajib mengajarkan bahasa Jawa kepada para pelajar sebagai kebijakan muatan lokal provinsi Jawa Tengah. Namun demikian, di awal kemunculan media sosial Facebook para perantau dan masyarakat/pemuda Dayeuhluhur mendiskusikan isu ini di ruang media sosial dan diwujudkan dalam sebuah surat dari masyarakat bahwa mereka meminta pelajaran bahasa Sunda dikembalikan. Surat tersebut segera direspons oleh pengawas pendidikan setempat karena tekanan dari media massa yang gencar memberitakan hal ini dan tekanan dari pemuda dan masyarakat Dayeuhluhur. Melalui Rekomendasi Nomor 420/0778/02/14 tentang Bahasa Sunda sebagai Salah Satu Muatan Lokal dalam kurikulum SD/MI, muatan lokal bahasa Sunda dilaksanakan di tahun ajaran 2012/2013 di SD/MI. Namun demikian, surat tersebut tidak cukup kuat untuk melawan Perda Bahasa karena terbukti bahwa di tahun ajaran 2021/2022 ini bahasa Sunda berhenti diajarkan dengan alasan mengikuti peraturan provinsi Jawa Tengah.

Perda Bahasa dan Minoritasi Bahasa Sunda

Telah diuraikan di atas bagaimana pengajaran bahasa Sunda timbul-tenggelam di Provinsi Jawa Tengah. Dalam konteks negara Indonesia yang memiliki 710 bahasa yang masih hidup (Eberhard dkk., 2021) dan masyarakatnya yang mayoritas multilingual karena mampu berbahasa lebih dari satu, perda bahasa merupakan sebuah ancaman memiskinkan bahasa.

Pertama, Perda bahasa telah menciptakan kondisi minoritasi bahasa kelompok minoritas. Melalui kebijakan bahasa, pemerintah daerah memilih sebuah identitas untuk mewakili identitas mayoritas daerahnya, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Dengan perda bahasa, orang Sunda yang dianggap bukan identitas Jawa mengalami tekanan karena identitasnya tidak diakui dan tidak mewakili Jawa Tengah yang lebih ingin menonjolkan identitas kejawaan. Kondisi ini tentu tidak sehat bagi kelompok minoritas karena mereka terpaksa atau dipaksa untuk mengikuti keinginan politis pemerintah daerah. Kemudian, perlu ditambahkan pula bahwa dalam konteks perda bahasa Jawa, dialek Jogja/Solo sebagai ragam yang akan dipertahankan sebagai identitas daerah. Padahal, di provinsi ini juga terdapat ragam dialek Jawa lainnya, seperti Jawa Ngapak di Brebes dan Tegal dan Jawa Perinyongan di Banyumas dan dialek-dialek lain di Kabupaten Cilacap. Dengan demikian, minoritasi terjadi tidak hanya pada kelompok minoritas Sunda tetapi juga pada dialek-dialek bahasa Jawa yang dianggap kurang memadai sebagai identitas provinsi. Dengan demikian, peraturan daerah bahasa Jawa di satu sisi telah menegasi eksistensi etnis minoritas lainnya dan memiskinkan dialek-dialek bahasa Jawa yang ada ditengah masyarakat. Padahal, hadirnya perda tersebut pada awal otda juga didukung dengan itikad baik pemerintah Indonesia untuk melestarikan budaya (baca: bahasa) lokal melalui ratifikasi Konvensi tentang Proteksi dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya dan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya tak Benda (Heriyadi, 2015:2).

Menanti Perda Bahasa untuk Kelompok Minoritas

Kembali lagi pada konteks Indonesia yang memiliki ratusan bahasa, kondisi minoritas dari segi jumlah penutur merupakan status yang dimiliki oleh hampir seluruh bahasa daerah di sini. Ethnologue (Eberhard, dkk., 2021) mencatat bahwa sekitar 452 bahasa yang berstatus terancam kepunahan hingga punah. Dengan demikian lebih dari separuh bahasa di Indonesia tampaknya tergolong minoritas. Selain itu, terdapat pula kondisi-kondisi yang menyebabkan mereka minoritas, seperti yang terjadi pada penutur bahasa Sunda di Jawa Tengah. Dengan kondisi yang demikian dan keinginan Indonesia mempertahankan keberagaman bahasa, dibutuhkan kebijakan yang lebih inklusif terhadap minoritas bahasa. Hal ini penting tentu saja karena bahasa Minoritas merupakan kategori yang menjaga keberagaman bahasa. (Editor: Jalu L.YA.)

Referensi:

Ilustrasi: Shutterstock

Eberhard, D. M., Simons, G. F., & Fennig, C. D. (Ed.). (2021). Ethnologue: Languages of the World (24th ed.). Dallas, Texas: SIL International. http://www.ethnologue.com

Heriyadi, W. (2015). Bahasa dan Hukum. Ciamis: Kentja Press.

Noorduyn, J. (2019). Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno. Jakarta: KITLV-Jakarta.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa.

Peraturan Gubernur Nomor 57 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Bahasa, Sastra, Dan Aksara Jawa.

Peraturan Gubernur No 55 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa.

Rekomendasi Nomor 420/0778/02/14 tentang Bahasa Sunda sebagai Salah Satu Muatan Lokal dalam kurikulum SD/MI

Suryadinata, L., Arifin, E. N., & Ananta, A. (2003). Indonesian’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Pasir Panjang, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Penulis adalah seorang peneliti bahasa-bahasa minoritas di Indonesia, khususnya Indonesia Timur (Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua). Penulis memiliki keahlian di bidang sosiolinguistik dan sosiologi bahasa. Penulis dapat dihubungi pada email: imeldamatahari223@gmail.com