Jakarta. Humas LIPI. Kebaya, adalah salah satu ikon identitas Indonesia, terutama bagi perempuan “Fashion representasi kekuatan konstruksi sosial yang dapat menyatukan isu sosial, baik gender, ras, etnik, dan ideologi”. Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, Dr. Widjajanti M. Santoso, dalam webinar Performing The Self and Playing with The Otherness: Clothing and Costuming under Transcultural Conditions, pada Senin (26/10), menunjukkan bahwa “Kebaya digunakan tidak hanya untuk wanita Jawa melainkan juga digunakan oleh wanita dari pulau-pulau lainnya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Kebaya selain berfungsi sebagai busana nasional juga sebagai busana tradisional”, tuturnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebaya berkaita dengan sejarah, di mana perempuan Indonesia berkonstribusi pada perkembangan nasionalisme Indonesia. Perempuan menciptakan rasa kebangsaan, kebaya selain itu juga menunjukkan keberagaman, selain itu juga menunjukkan ekspresi anti Barat.
Fashion dalam konteks sosiologi adalah konstruksi sosial, yang terlihat dalam kaitannya dengan femininitas. Sejarah fashion Barat, korset, sepatu dan skirt, mengekang badan perempuan, walau tampak cantik, kebaya memiliki kesamaan dengan ciri ini. Perkembangan kajian gender ataupun feminism menunjukkan bahwa kemampuan perempuan menentukan fashion adalah kemamupuan sebagai aktor atau agensi atas dirinya sendiri. Fashion menunjukkan bahwa perempuan memembalur dirinya dengan “kecantikan” merupakan ekspresi dari norma dan nilai yang ada di luar dirinya. Dengan berkembangnya waktu, perempuan memilih sendiri fashionnya dengan ukuran nyaman dan sesuai dengan pilihannya. Di bawah ini adalah narasi, kebaya dari konteks makro, formal, nasionalisme bertransformasi menjadi fashion yang nyaman, walau bisa informal bahkan avant garde, sekaligus tetap menunjukkan identitas keindonesiaan.

Pada masa Presiden Soekarno kebaya dinyatakan sebagai pakaian nasional, ketika itu menggunakan kain dengan gambar bunga-bunga menggunakan selendang yang ketika itu merepresentasikan kesetaraan. Kebaya juga menunjukkan kelompok sosial seperti perempuan Belanda menggunakan kebaya dengan renda dan berwarna putih, dan juga kebaya peranakan dengan warna dan sulaman. Kebaya, juga menjadi bagian yang formal, seperti yang dikenakan oleh ibu Negara, dan juga hal yang berkaitan dengan politik yang terlihat pada foto formal tokoh perempuan politik. Secara sosiologis, kebaya menunjukkan perubahan dan keberlangsungan, seperti dicontohkan melalui iklan film Tiga Dara. Iklan tersebut memperlihatkan tiga dara dalam film tersebut, di mana satu diantaranya menggunakan kebaya dan yang lainnya mengunakan dress. Kebaya dan fashion secara umum, menggambarkan perubahan sosial pada masyarakat, menjadi masyarakat modern. Perubahan sosial juga terlihat di dalam penggunaan kebaya di dalam perjalanan dari Orde Lama, Orde Baru, hingga setelah reformasi

Kebaya berubah, setelah ditangani para disainer seperti Dhea Panggabean sebagai fashion masa kini, selain itu, model Kebaya yang pernah populer yaitu, Kebaya Encim/ Betawi, Kutu baru, Kartini, Bali dan Sunda. Setelah reformasi, Kebaya menjadi garda terdepan dengan tampilan model lebih modern, berkilau, dan gaya western. Anne Avantie mengembangkannya menjadi pilihan tidak hanya modern, tetapi juga avant garda dan perancang busana lainnya mampu merancang kebaya kekinian dan memodifikasi hingga lebih bernilai. Bahkan penamaan kebaya berkembang dan dimodifikasi dengan hijab, yang diadaptasi untuk fashion Muslim.

Yang menarik dari kebaya, muncul dengan adanya gerakan “Selasa Berkebaya”, yang dinisiasi oleh beberapa perempuan untuk mengangkat kembali identitas dan nasionalisme Indonesia. Mereka menggunakan beragam media untuk mengajak berpartisipasi di dalam kegiatan ini. Mereka adalah perempuan yang merancang untuk diri mereka, bahwa berkebaya tidak ribet, dapat digunakan di dalam berbagai kegiatan. Mereka menggunakan ruang publik “baru” di Jakarta – MRT, di mana mereka berjalan dan menggunakannya untuk menunjukkan kebaya tidak hanya indah, tetapi juga modern dan mengikuti jaman. Kebaya di dalam gerakan ini, merupakan ungkapan perempuan terhadap fashion yang diinginkannya, menjadikannya istimewa, sekaligus mewakili identitas keindonesiaan. Seiring berjalannya waktu, “Kini, pemakaian Kebaya sebagai kostum atasan dapat dipadukan dengan bawahan yang dimodifikasi dengan kain, celana jeans, sarung, dan sebagainya”, di lain pihak pemerintah dalam hal ini Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Barangkali yang mengagetkan adalah adanya fitnah bahwa berkebaya disebut murtad karena tidak sesuai dengan norma Islami, padahal sudah dipaparkan bahwa ada juga mode kebaya muslimah. Mari dukung “Selasa Berkebaya”, pilihan perempuan sesuai dengan mode yang diinginkannya, dan menunjukkan keindonesiaan. (dsa/ed:mtr)

 

Ilustrasi: pageantempire