Oleh Heny Listiya Febrianti (Mahasiswa Jurusan Sosiologi-Universitas Brawijaya)

 

Media Pembentuk Realitas

Berbicara tentang Indonesia berarti bicara tentang kekayaan multikulturalisme. Sayangnya, keberagaman tersebut tidak jarang memuat berbagai persoalan yang membuat rakyat gaduh. Salah satu bentuk kegaduhan tersebut banyak tersaji dalam konflik horizontal. Bentuk konflik horizontal besar yang tidak lama terjadi pada bangsa ini ialah peristiwa yang viral dengan berbagai nama namun serangkai, yakni Al-Maidah, Penistaan Agama, Aksi Bela Islam 411 dan 212. Peristiwa ini mengundang beragam reaksi pro dan kontra. Selain reaksi yang datang dari dua kubu yaitu kubu pembela Islam dan kubu Basuki Tjahja Purnama (Ahok), elemen yang ikut mengundang reaksi yang lebih besar ke masyarakat ialah media. Dalam hal ini, media menjadi salah satu elemen yang memainkan peran pada pembentuk trust masyarakat. Melalui teks berita yang diproduksi, media membentuk struktur pengetahuan baru atau episteme yang berkembang, kemudian pengetahuan yang diproduksi tersebut secara tidak langsung menjadi bentuk penguasaan media. Pada sisi lain, masing-masing media memiliki cara tersendiri untuk menginformasikan suatu peristiwa dan fenomena. Cara tersebut dibangun dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam memberitakan peristiwa, media tidak menonjolkan semua sisi peristiwa melainkan hanya menargetkan sisi-sisi tertentu sebagai fokus yang menguntungkan bagi media tersebut. Untuk itu, media tumbuh sebagai pembentuk pengaruh, realitas dan ideologi berdasarkan strategi framing.

Aksi 212 (Sumber : http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/02/ohjkpx335-kami-menuntut-penegakan-hukum-penistaan-agama)

 

Framing Media sebagai alat Pembentuk Discourse

Hal pertama yang menjadi catatan adalah sebelum adanya kasus penistaan agama, sosok Ahok sudah menjadi sosok yang kontroversial. Kedua, kasus penistaan agama pada konteks Ahok mencuat  ke permukaan seiring dengan berjalannya kontestasi politik DKI-Jakarta, yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2021. Ketiga, kasus penistaan agama oleh Ahok yang terjadi saat adanya kontestasi politik adalah dua momen besar. Tentu, media tidak akan melewatkan dua kesempatan tersebut dengan berlomba-lomba membuat pemberitaan penistaan agama kasus Ahok berdasarkan framingnya masing-masing. Selain menyoroti kasus tersebut, media yang memiliki sisi lain akan memnafaatkan liputannya untuk berbagai kepentingan, baik kepentingan konteks media maupun jaringannya.

Dalam analisa framing, media merupakan agen pembentuk konstruksi. Media dapat dipandang sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas yang mencakup pandangan, bias dan pemihaknya. Framing media pada akhirnya, menentukan  menentukan fakta apa yang diambil dan bagian mana yang ditonjolkan juga dihilangkan sehingga muncul suatu kecenderungan dari peristiwa yang sudah di framing-kan. Dalam melihat framing pemberitaan media sebagai alat pembentuk discourse disini, penulis menggunakan pemberitaan pada media Kompas dan Republika. Kompas dan Republika mengemas berita tersebut dengan cara yang berbeda. Justifikasi penggunaan kedua media ini adalah, Kompas dan Republika merupakan media yang berskala nasional yang memiliki karakter ideologi masing-masing. Menurut Hill (1994) menemukan data statistik bahwa baik Kompas dan Republika bertiras diatas seratus ribu. Kompas dan Republika sendiri tidak pernah lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh media yang bersangkutan dalam melaporkan peristiwa dan menyajikan beritanya.

Kompas didirikan pada tahun 1965 oleh Jacob Oetama seorang wartawan Jawa-Cina-Katolik sebagai prakarsa partai Katolik dalam usaha mempresentasikan suara mereka pada kancah politik Indonesia di tahun 1960-an.  Tahun 1990-an, Kompas menjadi induk bagi 38 anak perusahaan yang dikenal dengan kelompok Kompas-Gramedia yang bergerak di percetakan, penerbitan dan stasiun radio. Ekspansi Kompas mendominasi penerbitan dan termasuk jajaran 40 teratas konglomerasi negara (Pahlemy, 2001). Sementara itu, Republika lahir di tahun 1993 oleh peserta Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui gagasan Abdi Bangsa yang dikepalai B.J Habibie. Republika hadir mewakili kelas menengah muslim intelektual dan mereka yang ada di pemerintahan. Dari karakteristik kedua media tersebut terlihat bahwa masing-masing memiliki kredibilitas tinggi dan terpercaya. Selain itu, jika dilihat dari latar belakangnya, keduanya memiliki nilai-nilai tersendiri sehingga penggunaan media Kompas dan Republika menjadi relevan untuk dianalisis.

Analisa framing ini menggunakan analisa model Robert N. Entman. Dalam konsep Robert  N. Entman framing merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Proses analisa framing berdasarkan cara Robert Entman ialah, (1) Menyeleksi isu. Aspek ini berkaitan dengan pemilihan fakta. Artinya, dilakukannya penyeleksian atas realitas yang kompleks dari kasus penisataan agama oleh Ahok. Dari realitas kasus tersebut, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan. Proses penyeleksian isu ini mengandung berita yang dimasukkan (included) atau bagian peristiwa yang ditonjolkan dan berita yang dikeluarkan (excluded) atau bagian peristiwa berita yang dihilangkan oleh wartawan penulis berita. (2) Penonjolan aspek. Aspek ini berkaitan dengan penulisan fakta. Pada saat aspek tertentu dari isu atau peristiwa penistaan agama oleh Ahok telah dipilih, maka selanjutnya adalah mengkaji bagaimana aspek berita tersebut ditulis oleh penulis berita. Adapun isu tertentu yang penulis temukan ialah, isu aksi bela Islam merupakan  bentuk tekanan massa yang berdampak pada lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Isu ini menjadi isu yang ditonjolkan oleh media Kompas sedangkan Republika menonjolkan isu penistaan agama yang harus ditindak lanjut secara tegas. (3) Pendefinisian masalah (Define Problems). Artinya menganalisa bagaimana isu penistaan agama oleh AHOK dilihat oleh media Kompas dan Republika. Sebagai masalah pada konteks apa media Kompas dan Republika dalam memeberikan sudut pandangnya terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok. (4) Memperkirakan masalah atau sumber masalah (Diagnose Causes). Artinya, menganalisa penyebab yang ditonjolkan oleh masing-masing media baik Kompas maupun Republika dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Hal apa yang dianggap media Kompas dan Republika sebagai penyebab dari kasus penistaan agama dan siapa aktor yang dianggap sebagai penyebab yang menimbulkan pro dan kontra terhadap masalah penistaan agama kasus Ahok. (5) Membuat keputusan moral (Make Moral Judgement). Pada tahap ini, dilakukannya analisa nilai moral yang dibangun media Kompas dan Republika untuk menjelaskan dan melegitimasi masalah penistaan agama pada kasus Ahok. (6.) Menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation). Di tahap terakhir ini, dilakukannya analisa penyelesaian atau solusi apa yang ditawarkan media Kompas dan Republika dalam mengatasi masalah penistaan agama pada kasus Ahok. Berikut beberapa pemberitaan yang menjadi inti dari sekian banyak berita yang telah didapat sehingga menjadi hasil temuan analisa framing pada masalah penistaan agama dalam kasus Ahok.

Pada berita Kompas yang berjudul “Harus Diakui, Hakim Bekerja di Bawah Tekanan Gelombang Massa” ditulis oleh Fabian Januarius Kuwado pada 9 Mei 2017. Pada berita ini, mengambil sudut pandang dari Hendardi selaku ketua SETARA Institute yang mengatakan bahwa publik harus mengakui bahwa tekanan gelombang massa terhadap hakim yang mengadili Ahok sangat tinggi. Vonis hakim atas Ahok sekaligus mempertegas bahwa delik penodaan agama sangat rentan dijadikan alat untuk menekan kelompok kepentingan manapun. Dalam hal ini framing yang dibentuk ialah betapa bahayanya jika terjadi multitafsir terhadap ketentuan dari pasal 156a KUHP (penodaan agama). Berita selanjutnya pada media Kompas berjudul “Ahok: Apa Mereka Mau Tanggung Jawab Tanaman yang Rusak Setelah Demo?” ditulis oleh Alsadad Rudi pada 14 Oktober 2016 disebutkan bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama meyakini bahwa para demonstran yang berunjuk rasa tidak akan mau mengganti kerugian akibat rusaknya taman. Sebab, ia menyebut kondisi tersebut sudah berulang kali terjadi.”Mereka pada mau tanggung jawab enggak? Enggak pernah kan?” ujar Ahok di Balai Kota, Jumat (14/10/2016) malam. Kondisi taman di median Jalan Medan Selatan, Jakarta Pusat, tepat di depan Balai Kota DKI Jakarta terpantau rusak. Diduga rusaknya taman tersebut akibat terinjak-injak demonstran anti-Ahok yang sebelumnya berunjuk rasa di lokasi tersebut. Pantauan Kompas.com, area taman yang rusak mencapai sekitar 10 meter persegi. Di berita ini, Kompas menonjolkan dampak lingkungan dari aksi bela Islam. Dengan kata lain, disaat Ahok terpojok oleh massa, namun Kompas lebih tertarik mengambil sisi lain dari akibat yang ditimbulkan oleh massa sebagai kubu yang kontra dengan Ahok.

Kondisi taman di median Jalan Medan Selatan, Jakarta Pusat, tepat di depan Balai Kota DKI Jakarta terpantau rusak. (Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/14/21480971/ahok.apa.mereka.mau.tanggung.jawab.tanaman.yang.rusak.setelah.demo)

Kemudian salah satu berita di Republika berjudul “Harusnya Pemerintah Berikan Perhatian pada Kasus Penistaan Agama” ditulis oleh Umi Nur Fadhila pada 7 November 2016. Dengan mengambil perspektif dari Muzakir, seorang pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII)  dijelaskan bahwa seharusnya pemerintah sudah memberikan perhatian sejak mencuatnya kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Jakarta Ahok. Alasannya, target materi kasus tersebut berpotensi memecah belah NKRI. “Seharusnya sejak kemarin atensinya sudah ada. Bukan karena tekanan publik,” kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (6/11). Pada berita berikutnya yaitu dengan judul “Hikmah Dibalik Aksi Damai 212” yang ditulis oleh A Syalabi Ichsan pada 9 Desember 2017. Dari pemilihan kata, Republika lebih menyebut aksi demonstrasi besar tersebut sebagai aksi damai. Dalam berita tersebut, dijelaskan bahwa ada banyak hikmah dari aksi tersebut, yaitu aksi tersebut merupakan buah dari kegigihan para ulama dan umat karena pemerintah dan kepolisian pernah menentang aksi tersebut. Hikmah lainnya yaitu terlibatnya umat lain yang datang dari beragam daerah hingga melakukan long march dan rela menyewa pesawat hingga melunaknya sikap kapolri. Berbeda dengan Kompas yang menekankan dampak dari aksi massa, pemberitaan Republika mengatakan bahwa justru dengan adanya tekanan publik, hukum dapat bertindak tegas terhadap kasus penistaan agama. Republika juga membalikkan sudut pandang Kompas dimana aksi massa justru merupakan aksi perdamaian.

Analisa Framing Robert N. Entman

Tahapan Kompas Republika
Define Problems (Pendefisian Masalah) Ahok dianggap menistakan agama Pernyataan Ahok adalah bentuk penistaan agama
Diagnose Kasus (Memperkirakan masalah atau sumber masalah) Tekanan Massa Basuki Tjahja Purnama (Ahok)
Make Moral Judgement

(Membuat Keputusan Moral)

– Banyak oknum politik dibalik kasus ini

– Demonstrasi bukan hak memaksakan kehendak dan merusak

Aksi demonstrasi merusak lingkungan

– Aksi massa tidak menjamin kedamaian

– Pribadi Ahok yang tidak sensitif, bahkan tidak sadar diri, jika dirinya menjadi pemimpin dari segmen masyarakat yang berbeda secara agama dan etik dari dirinya. Hal ini menjadikannya‘over confident‘, bahkan terlihat arogan.

– Aksi Demonstrasi dinilai tingkatkan keimanan dan parade wujud dari bentuk kebinekaan.

Treatment Reccomendation (Menekankan penyelesaian) Tekanan Massa tidak bisa menjadi alat intervensi – Pemerintah harus memberikan perhatian khusus kepada kasus penistaan agama

 

Dari sekian banyak berita, baik Kompas dan Republika memiliki perbedaan framing dalam memberitakan kasus Al-Maidah. Kompas lebih cenderung fokus pada elemen-elemen lain terutama pada massa yang melakukan aksi bela Islam. Framing Kompas pada massa yang kontra dengan Ahok menunjukkan bahwa aksi massa justru berujung pada tekanan yang memperlatah hukum dan praktisi hukum Indonesia. Aksi bela Islam yang dilakukan massa bukannya menumbuhkan perdamaian, malah memperkeruh konflik. Framing Kompas dalam hal ini ingin menjelaskan bahwa hukum bekerja di bawah tekanan massa sehingga penanganan Ahok merupakan hal yang mengandung intervensi massa. Selain pada dampak konflik, Kompas juga menekankan dampak kerusakan lingkungan akibat dari tindakan massa tersebut. Selanjutnya, Republika lebih condong membahas sisi Ahok dalam konteks bahwa perilaku Ahok memang layak ditindak sesuai proses hukum.

Pemberitaan media Kompas dan Republika, menunjukkan bahwa media massa merupakan alat produksi wacana yang dampaknya dapat mengkontsruksi realita. Baik Kompas dan Republika, sebagai media yang tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut, juga adanya tuntutan pasar, maka kedua media memiliki cara yang berbeda dalam menyajikan beritanya. Meskipun media tidak bisa lepas dari berbagai kepentingan, namun untuk menghindari kesalahpahaman, ada baiknya jika media tidak melupakan beberapa prinsip menurut Nurudin (2009 : 271) yaitu setiap berita harus berdasarkan cover both side, media dan para jurnalis perlu untuk mempresentasikan orang-orang tanpa memberi label yang tidak adil, cenderung emosional, bias kepentingan terhadap objek berita, dalam membuat berita para jurnalis harus tetap memberikan konteks, bukan sekedar liputan peristiwa saja, para jurnalis memberikan tulisan yang mendidik untuk para pembaca, dan mempraktikkan jurnalisme yang bertanggung jawab.

 

*) Penulis bertanggung jawab sepenuhnya atas opini yang ditulis dalam artikel ini.

 

Daftar Pustaka

Eriyanto. 2005. “Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.” LkiS.  Yogyakarta

Fadhila, Nur, Umi. 7-11-2016. “Harusnya Pemerintah Berikan Perhatian Khusus Pada Kasus Penistaan Agama”. Diakses pada 2 Agustus 2017. http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/11/07/og8qaj301-harusnya-pemerintah-berikan-perhatian-pada-kasus-penistaan-agama

Ichsan, Syalabi, A. 9-12-2016. “Hikmah di Balik Aksi Damai 212”. Diakses 15 November 2017. http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam-nusantara/16/12/09/ohx6d2313-hikmah-di-balik-aksi-damai-212

Kuwado, Januarius, Fabian. 9-5-2017. “Harus Diakui, Hakim Bekerja di Bawah Tekanan Gelombang Massa”. Diakses 8 Agustus 2017. http://nasional.kompas.com/read/2017/05/09/23574951.harus.diakui.hakim.bekerja.di.bawah.tekanan.gelombang.massa

Nurudin. 2009. “Jurnalisme Masa Kini”. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta

Pahlemy, Wenny. 2001. “Realitas Simbolik Teks Media: Analisa Framing Kasus Bank Bali dalam Kompas dan Republika.” Universitas Indonesia. Jakarta

Rudi Alsadad. 14-10-2016. “Ahok : Apa Mereka Mau Tanggung Jawab Tanaman Yang Rusak Setelah Demo?”. Diakses 8 Agustus 2017. http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/14/21480971/ahok.apa.mereka.mau.tanggung.jawab.tanaman.yang.rusak.setelah.demo

______________________________________

TENTANG PENULIS

Heny Listiya Febrianti adalah mahasiswa jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya angkatan 2014 yang fokus dengan kajian Sosiologi Pembangunan. Selain menjadi staf BEM FISIP 2015 bagian Kementrian Sosial Masyarakat (SOSMA), ia juga merupakan anggota Divisi Internal Komunitas Pendidikan Anak “Negeri Kurcaci” 2016. Email: henylistiya@gmail.com