Oleh: Henny Warsilah (Peneliti PMB LIPI)

Minggu-minggu ini jagat media sedang diramaikan oleh ‘pertarungan’ soal kebenaran yang masing-masing diklaim sebagai kebenaran yang mutlak, namun tanpa upaya untuk mencari tahu kebenaran itu sendiri dalam perpektif ilmu pengetahuan. Hasilnya, kritik yang disampaikan dengan pedas oleh Jerinx-SID dan Pandu Riono terhadap pengelolaan informasi dan kebijakan penanganan  covid malah dianggap ‘memusuhi’. Alih-alih mengupas kebenaran yang ditawarkan pihak lain, justru hotel pordeo sebagai hadiah yang haus diterima Jerinx, dan untuk pandu Riono meski tidak sesial Jerinx, tetapi akun pribadinya diretas.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela masalah yang menimpa Jerinx-SID (Group Band Sperman is Dead) atau pengkritisi lainnya (Pandu Riono), terkait dengan pernyataan yang sangat kontroversial tentang virus COVID Corona-19. Jerinx menyangsikan covid 19, dan menganggap IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai kacung WHO. Jerinx malah dituduh sebagai penganut teori konspirasi. Kasus Jerinx dan Pandu Riono sangat menarik kita perbincangkan, karena sebagai konsekuensinya Jerinx berhadapan dengan hukum. Tulisan ini lebih ingin mencoba mengupas makna di balik “kebenaran” yang dipertaruhkan oleh setiap orang yang mencintai keadilan sendiri dan gonjang ganjing soal rapid test covid.

Rapid Test Covid dan Kematian Bayi

Seperti telah dimuat oleh Kompas.com (21-8-2020) soal kematian bayi dalam kandungan seorang ibu di Mataram-NTB yang bernama  Gusti Ayu Arianti (23), warga Pejanggik, Kota Mataram. Arianti harus kehilangan bayinya yang meninggal dalam kandungan karena terlambat mendapatkan pertolongan pada hari Selasa (18/8/2020). Padahal, ibu yang malang ini telah berupaya dan memohon agar segera ditangani tim medis di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Wira Bhakti Mataram. Namun, petugas rumah sakit memintanya melakukan rapid test Covid-19 terlebih dulu. Padahal, air ketubannya telah pecah dan banyak mengeluarkan darah. “Ketuban saya sudah pecah, darah saya sudah banyak yang keluar dari rumah, tapi saya tidak ditangani, kata petugas saya harus rapid test dulu, tapi di RSAD tidak ada fasilitas rapid test, saya diminta ke puskesmas untuk rapid test,” kata Arianti kepada Kompas.com di rumahnya, Rabu (19/8/2020) malam. Menurutnya, “tak semua ibu hamil yang hendak melahirkan mengetahui aturan tersebut (harus ikut rapid test), Ibu-ibu yang akan melahirkan kan tidak tahu aturan ini, karena tidak pernah ada pemberitahuan ketika kami memeriksakan kandungan menjelang melahirkan”. Sebetulnya, aturan itu tak akan memberatkan jika diberitahu sejak awal.

Musibah kematian bayi karena terlambat mengikuti rapid test seharusnya tidak boleh terjadi di era keterbukaan ini, terlebih pada faktanya Menteri Kesehatan RI Terawan telah mencabut ketentuan rapid test tersebut untuk seluruh wilayah Indonesia sejak bulan Juli tahun 2020. Masalahnya, mengapa demikian terlambat pencabutan aturan tersebut sehingga harus jatuh korban karenanya. Memang tidak ada hubungan lurus antara apa yang dikatakan oleh Jerinx-SID dengan kematian bayi dari Arianti, tetapi dari beberapa fakta sungguh harus kita cermati kebenaran yang terkuak setelahnya.

Apa sih yang dimaksud dengan rapid test untuk COVID-19 itu? Rapid test atau tes cepat, merupakan langkah awal identifikasi apakah seseorang sedang terinfeksi virus, termasuk SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, menggunakan antibodi yang diambil dari sampel darah. Rapid test atau tes serologis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengambil sampel darah dari ujung jari. Setelah itu, sampel darah akan diteteskan ke alat rapid test untuk mengetahui apakah darah mengandung antibodi yang menandakan orang tersebut sedang atau pernah mengalami infeksi suatu virus atau tidak. Rapid test COVID-19 dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang pernah atau sedang terinfeksi virus Corona atau tidak. Bila hasilnya negatif, ada kemungkinan Anda tidak tertular virus ini. Lantas, bagaimana bila hasil pemeriksaan rapid test COVID-19 positif? Ternyata, Rapid test tidak bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus Corona atau SARS-CoV-2 di tubuh Anda. Oleh karena itu, pemeriksaan ini tidak bisa menjadi patokan untuk mendiagnosis penyakit COVID-19. Maka, tindakan Menteri Kesehatan Terawan sudah pada posisi yang benar, yakni mencabut ketentuan rapid test.

Pertanyaannya, mengapa begitu terlambat menjalankan perintah Menkes tersebut, tidakkah ini merupakan kesalahan sistem atau struktur birokrasi seperti yang diprotes Jerinx itu atau belakangan muncul kritik tentang ini dari Pandu Riono seorang pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia?. Tentu gejolak pertanyaan berkecamuk di benak kita meminta klarifikasi dari apa yang telah terjadi dan menjadi perbincangan banyak orang, karena pada era modern dan keterbukaan dimana insfrastruktur fisik, teknologi digital tersedia toh keputusan penting itu tidak serta merta diketahui oleh beberapa daerah, sehingga tidak terjadi lagi korban kematian bayi seperti yang dialami ibu Arianti di Mataram-NTB.

Menyikapi Kebanaran ala Sosiologi Soal Rapid Test Covid 19

Jerinx-SID, dilaporkan oleh IDI Provinsi Bali terkait kasus dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian pada tanggal 16 Juli 2020 lalu. IDI merasa dihina oleh Jerinx karena IDI dan rumah sakit disebut menjadi kacung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sehingga, Jerinx resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hari Rabu (12/8/2020).  Polda Bali telah menahan Jerinx atas laporan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait kasus dugaan ujaran kebencian, tanpa dilakukan pembahasan terlebih dahulu untuk mengetahui pernyataan kebenaran dan tingkat kebenarannya itu sendiri.

Kasus Jerinx bukanlah kasus pertama yang mengkritisi tentang penanganan covid oleh pemerintah. Selain Jerinx, ada Pandu Riono seorang epidemiologi dari Universitas Indonesia dan pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat universitas Indonesia (UI) yang juga sering melemparkan kritik terhadap pemerintah tentang kebijakan penanganan covid 19. Pandu Riono mengkritisi obat buatan kolaborasi Unair, dan BIN yang harusnya diregistrasi terlebih dahulu di WHO, dan pihak Unair harusnya melaporkan temuan risetnya ke BPOM bukan ke TNI dan BIN. Selan itu,  Pandu Riono juga meributkan soal protokol Covid 19 di kantor buatan Menteri Kesehatan, sampai kepada Inpres protokol kesehatan yang tidak inklusif alias tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan soal ketentuan rapid test (lihat gambar).

Berdasarkan pemantauan melalui media sosial, akun milik pakar epidemiologi ini malah diretas oleh tiga oknum tidak bertanggung jawab. Pada posisi ini, penulis setuju dengan prof Tamrin Amal Tomagola yang berpendapat bahwa ‘kritik profesional oleh otoritas kesehatan publik, seharusnya didengarkan dan dijadikan pertimbangan untuk memperbaiki yang sudah ada’. Bukan malah, diretas dan disudutkan bahkan dipenjara seperti Jerinx. Jika kita ingin memperbaiki dan meningkatkan cara penanganan covid untuk keselamatan masyarakat Indonesia harusnya para pengambil kebijakan berbesar hati dengan cara membuka ruang kritik, sehingga proses berdemokrasi di bidang kesehatan masyarakat bisa berjalan dengan baik.

Sumber: Grafis Tempo. Tempo.co

Belajar dari kasus Pandu Riono dan kasus Jerinx, semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi perbaikan penanganan covid oleh pemerintah Pusat maupun Daerah serta organisasi kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan World Health Organization (WHO).

Pada posisi ini penulis ingin menempatkan kritik sosial itu ke dalam bagian dari ‘keberanaran’ yang coba diungkapkan dan dibedah oleh orang-orang yang cukup memliki kapabilitas. Karena, pada umumnya, manusia di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti sempitnya adalah sebuah keputusan yang benar dan pasti. Penganut pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran itu sendiri (antara knowledge dan truth). Pembahasan dalam epistemologi itu sendiri lebih terfokus pada sumber pengetahuan  dan teori tentang kebenaran (the theory of truth) pengetahuan.

Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata,  pengalaman indera, kritik atau intuisi manusia itu sendiri. Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah “kebenaran” pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis. Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.

Hendrik Rapar, mengemukakan bahwa jenis pengetahuan itu dibagi tiga. Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan sebagai common sense, dan sering diartikan sebagai good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah. Kedua, pengetahuan ilmu (science). Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenarannya, yang dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Ketiga, pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, dan penilaian. 

Menarik memperbincangkan ‘kebenaran’ dari sisi keilmuan. Secara sosiologis, heterogenitas manusia dan masyarakatnya, memberikan ruang yang longgar bagi ilmuwan sosial untuk mencari kebenaran ilmiah. Ada kerangka ilmiah yang dibangun di dalamnya untuk menemukan kebenaran tersebut. Untuk sampai menemukan kebenaran ilmiah dalam sosiologi, kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang konsep kebenaran, kebenaran ilmiah, teori-teori kebenaran ilmiah, sikap-sikap ilmiah dan akhirnya bisa menemukan kebenaran ilmiah. Kebenaran itu sendiri sesungguhnya adalah fidelity to objective reality (kesesusaian pikiran dengan kenyataan).

Dalam konsep tersebut terdapat asas-asas atau pola pikir yang dipergunakan seseorang, sehingga bisa mencapai kesimpulan yang sah dan benar. Terdapat dua pola umum berpikir dalam sosiologi: a. Deduksi : proses berpikir dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang khusus, ada gerak berpikir dari yang umum ke khusus. b. Induksi; proses berpikir dengan mempergunakan premis-premis khusus kemudian bergerak menuju premis umum. Atau kita dapat menggunakan pola lainnya, yakni: a. Pola berpikir analogis; yakni proses berpikir yang dilakukan pada seseorang yang menyatakan bahwa dalam dunia terdapat hal-hal atau segala sesuatu yang memiliki sifat kemiripan satu sama lain. Karena dianggap mirip maka kemudian hal-hal sesuatu dianggap memiliki sifat-sifat yang sama. b. Pola berpikir komparatif; yakni proses berpikir yang dilakukan seseorang yang segala pengalamannya yang sedang terjadi dibandingkan pengalaman yang terjadi sebelumnya. Kebenaran ilmiah menuntut empat sikap dasar berikut: rasional-logis, empiris, dapat diterapkan dan pragmatis.

Kritik Sebagai Kebenaran Sosiologis

Jika kita ikuti alur, untuk mengetahui tingkat kebenaran pengetahuan seperti terurai dalam epistemologi ilmu maka sudah selayaknya dilakukan pembahasan tentang pernyataan kebenaran yang dilontarkan individu maupun kelompok masyarakat, untuk memperoleh tingkat kebenaran yang hakiki sesuai dengan metode ilmu pengetahuan.

Untuk maksud mengungkap ‘kebenaran’ versi sosiologis atas kasus Jerinx digelar acara @hotroommetrotv yang dipandu oleh @hotmanparisofficial, ada beberapa pernyataan menarik dari M Nazzer, Dewan Pakar PB IDI, sebagai berikut:

1. Laporan terhadap @JRXSID dilakukan oleh @idibali.dps tanpa sepengetahuan @ikatandokterindonesia.

2. M Nazzer meyakini bahwa laporan IDI tidak menggunakan pasal 28 ayat (2 ) UU ITE karena menurut M Nazzer IDI tidak ingin membuat orang sengsoro.

Jika dikaitkan dengan pernyataan M Nazzer di TV swasta lainnya, M Nazzer juga menyatakan bahwa penahanan terhadap JRX berlebihan. 

Menurut hemat penulis, apa yang telah dilakukan para aktivis, relawan dan akademisi adalah untuk mencari kebenaran ilmiah yang bersifat sosiologis dan pluralis, dan itu yang harus dimaknai oleh aturan hukum yang terlalu rigid. Perangkat hukum, seyogianya sebelum menjatuhkan keputusan hukum terlebih dahulu membuktikan kebenaran itu secara sosiologis, dengan melihat apakah pada posisi rasional, logis, empiris dan bisa diuji sesuai fakta empirisnya. Jadi tidak terburu-buru dan ‘gebyah uyah’ memvonis bahwa kebenaran yang disampaikan para pengkritisi itu salah adanya. Tugas kita semua dari pelbagai lapisan masyarakat untuk dapat ikut menyampaikan kebenaran yang hakiki. Dan kita berharap, pemerintah dan organisasi kesehatan tidak bersifat refresif dan mau membuka diri serta menampung kritik-kritik yang disampaikan. Bagaimana kita tahu apa yang kita lakukan sudah betul, dan baik tanpa mendengarkan atau mempertimbangkan masukan dalam bentuk kritik membangun yang disampaikan oleh publik. Ini yang disebut manajemen pengelolaan kesehatan masyarakat secara inklusif, melibatkan partisipasi masyarakat.

Sudah saatnya, kita bergandengan tangan untuk memerangi virus covid 19 dan selayaknya pemerintah ikut melibatkan partisipasi publik dalam membedah pengetahuan tentang virus covid melalui berbagai wacana sehingga tercipta pengeloaan kesehatan berbasis masyarakat atau manajemen kesehatan yang inklusif.

Referensi

Jan Hendrik Rapar, 2014. Pengantar Filsafat, hlm. 38. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014 , Penerbit Kanisius.

JH Turner, 2001. Handbook of Sociological Theory. Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Pickering, Peg. 2001. How to Manage Conflict. Jakarta : Erlangga

Ritzer,George and Douglas J. Goodman,”Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan  Mutakhir Teori Sosial Postmodernisme”.Yogyakarta: Kreasi Wacana.2004. Ritzer,George,”Teori Sosiologi Modern: Edisi Ketujuh”.Jakarta:Kencana.2014.

Ilustrasi: www.wisdomquotes4u.com

***

Catatan: Artikel ini adalah republikasi dari Kajanglako.com atas permintaan dan ijin penulis. Redaksi tidak melakukan perubahan apapun terhadap isi artikel. Artikel asli dapat diakses melalui https://kajanglako.com/id-11423-post-jerinxsid-dan-pandu-riono-menyoal-kebenaran-sosiologis-soal-rapid-testcovid-19.html