Dani, begitu ia biasa disapa, yang ditemui Tempo di kantornya di Jakarta, Senin lalu, bercerita tentang penelitian yang masih dianggap kasta rendah. “Beribu penelitian dilakukan, namun sedikit yang diimplementasikan,” ujarnya, geram. Padahal, ia menambahkan, di antaranya ada persoalan rakyat miskin atau nasib kelompok marginal.
Dia melihat kesadaran bangsa ini masih lemah karena belum mengoptimalkan penelitian untuk kemaslahatan umat, kepentingan rakyat, dan mendukung kebijakan publik.
Padahal, ia memastikan, dari sisi sumber daya manusia, peneliti Indonesia tidak kalah dari peneliti asing. “Kendala utama bidang ini, ya, soal kebijakan anggaran,” ia melanjutkan. Dilihat dari pendapatan bersih, peneliti kita tertinggal jauh dari negara lain. Di MARDI, Malaysia, misalnya, pendapatan bersih peneliti setidaknya sekitar Rp 25 juta per bulan, dan di PhilRice, Filipina, Rp 20 juta. “Peneliti Indonesia hanya menerima seperempatnya dari Filipina.”
Toh, Dani tetap memaknai penelitian sebagai dunia yang mengajarkan banyak tentang kehidupan. Upaya dalam menyingkapkan dan memperoleh misteri tentang kebenaran memungkinkan dia bertemu dan bersentuhan langsung dengan subyek penelitian. “Saya belajar banyak dari sana, berbagai hal,” ujar Dani, yang juga aktif mensosialisasi penelitiannya di Facebook.
Dia yakin profesi peneliti bermakna kejujuran. Peneliti dituntut memaparkan fakta terselubung. Ketika memeriksa realita dan menginvestigasi fenomena, semua prosesnya membutuhkan kejujuran, yakni tidak memanipulasi data, kejujuran untuk disiplin dalam metode kerja yang disepakati, serta kejujuran terhadap hasil penelitian. “Adagium peneliti boleh salah, tapi tidak boleh bohong.”
Memang tidak dimungkiri, “Saat ini posisi peneliti memang seksi, lantaran dapat dipakai untuk melegitimasi kebenaran berdasarkan keahliannya.” Tapi, ia melanjutkan, kalaupun kecenderungan itu ada, jangan dijadikan alasan untuk menggeneralisasi semua akademisi dan peneliti begitu. “Baginya, di mana pun tempatnya, kemandirian, kemampuan, dan integritas pribadi menjadi taruhan.”Menurut ibu dua putri ini, peneliti harus berpihak pada hati nurani. Memang sah-sah saja seseorang menginginkan kehidupan lebih baik. Yang perlu dikritisi adalah caranya. “Bila sebuah penelitian atau sebuah kajian dilakukan dengan cara manipulasi data untuk kepentingan politik tertentu, misalnya, atau menggadaikan keahliannya untuk secuil kekuasaan, saya pikir ini pengkhianatan intelektual yang serius,” dia menegaskan.
Ia memang sosok yang tegas dan lugas. Sikap itu adalah warisan dari orang tuanya yang mendidik dengan sikap disiplin, namun berbalut cinta dan kesederhanaan. Sebagai sulung dari lima bersaudara, ia selalu diajarkan oleh bapaknya untuk bersikap keras, teguh dalam prinsip, dan tidak ada kompromi, walaupun berisiko.
Ia lahir dari keluarga guru dan tentara. Ibunya, Soediarti, adalah guru, sedangkan ayahnya, Asmadhi Bramasthagiri, seorang marinir. “Saya belum pernah melihat seseorang yang mencintai pekerjaannya seperti yang bapak saya lakukan. Beliau pekerja keras dan sangat teguh dengan prinsipnya. Sikap ini mungkin yang tertular dalam diri saya,” kata Dani.
Ia bangga diberikan nama oleh ayahnya, yang diambil dari semboyan TNI AL, “Jalesveva Jayamahe”, yang berarti di laut kita berjaya, sementara kata “ishwari” artinya putri. Adapun Pramodhawardani adalah nama pendiri Candi Borobudur.Sehari-hari Dani sering berpenampilan rapi dan fashionable. “Kan tidak ada hubungannya dengan apa yang saya pikirkan dan lakukan. Sederhana saja, saya ingin tampil nyaman dengan diri saya sendiri dan menghargai orang lain.”
Judul : Jaleswari Pramodhawardani Posisi Peneliti Memang Seksi
Sumber : Tempo
Tautan Gambar : http://www.tempo.co/read/news/2011/06/14/078340552/Kandidat-KASAD-Harus-Bersih-dari-Pelanggaran-HAM
Jenis : Berita/Profil
Tanggal : 6 Januari 2010
Penulis : HADRIANI P
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial