[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 8, Juni 2022]

Oleh Widjajanti M. Santoso, Ubaidillah, Rusydan Fathy, dan Jalu Lintang Y.

 

Harian Kompas (2022) mengulas tengang nilai penting internationalisasi bahasa Indonesia. Internationalisasi bahasa adalah keinginan Indonesia untuk mengangkat bahasa Indonesia menjadi bahasa di panggung dunia. Keinginan tersebut terdapat di dalam UU no Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, Lagu Kebangsaan, dan pasal 32 menyatakan bahwa Bahasa Indonesia dipergunakan dalam ruang nasional dan internasional, sedang pasa 44 menyatakan tentang internasionalisasi bahasa. Hurip Danu Ismadi, dalam situs resmi badan bahasa memaparkan isi pasal tersebut antara lain adalah “(1) Pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan; (2) Peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional”.

Sumber Kompas menekankan pada isu proses “bertahan, sistematis dan berkelanjutan” yang seyogyanya mendukung keinginan dan cita-cita ini, dengan menunjukkan beberapa agenda yang dapat dikembangkan seperti belum ada peta jalan/strategi implementasi/peran lembaga atau stakeholders yang mampu mendukungnya. Lebih lanjut Kompas menunukkan bahwa secara umum, realitasnya adalah eksistensi bahasa Indonesia masih lemah, yang terlihat di dalam sinergi antar lembaga. Di dalam diskusi dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dikenal sebagai “bahasa”.

Tulisan ini mengulas situasi yang dihadapi oleh jurnal akademik di Indonesia, yang dikategorikan menjadi Sinta 1 (yang terindeks Scopus), Sinta 2 (akreditasi nasional), dan Sinta 3 hingga Sinta 6 (akreditasi nasional). Banyak perdebatan tentang hal tersebut, namun yang akan difokuskan adalah dalam penggunaan bahasa Inggris, karena terdapat program untuk meningkatkan level menjadi Sinta 1, dengan tujuan untuk eksistensi akademik di tingkat internasional yang umumnya menggunakan bahasa Inggris (walaupun kenyataannya terdapat bahasa lain yang juga tercantum dalam indeks Scopus). Mengapa harus Scopus itu adalah pertanyaan lain untuk kajian yang berbeda yang berkaitan dengan kapitalisasi dalam dunia akademik.

Tantangan yang dihadapi oleh aglomerasi BRIN adalah jurnal ilmiah menjadi salah satu yang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan. Perubahan kelembagaan tentunya mengubah landscape pengelolaan jurnal. Kini pengelolaan jurnal juga tidak lagi mendapatkan pendanaannya, dengan perubahan fungsi keuangan, yang menghasilkan kebingungan untuk membiayai kegiatan editing atau proofread bahkan review dan mitra bestari. Salah satu yang dianjurkan adalah berkolaborasi dengan asosiasi yang membuat jurnal yang tadinya tidak berbayar terpaksa mencantumkan APC (Article Processing Charge). Terlepas dari situasi ini landscape lainnya adalah jurnal yang perlu bertansformasi menjadi jurnal dalam bahasa Inggris demi terindeks dalam Scopus.

Dalam keinginan ini tentu terdapat beberapa hal yang terpaksa dikorbankan diantaranya adalah penulis dan pembaca dalam bahasa Indonesia dan berbayar. Barangkali diasumsikan bahwa akademisi adalah kelas yang mampu mendapatkan hal tersebut, mengingkari adanya proses dimana penulis dan pembaca dalam bahasa Indonesia membutuhkan jurnal. Memang ada yang berkilah bahwa pembaca dan penulis jurnal jumlahnya terbatas, tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan bentuk teks lainnya. Selain itu juga sebuah kenyataan berdasarkan catatan Kemendagri, berdasar rangking indeks literasi Indonesia berdasar pada Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, menyebutkan bahwa literasi Indonesia terletak pada rangking 62 dari 70 negara. Rendahnya indeks tersebut berkaitan dengan minat baca yang masih rendah, sehingga tentu tidak tepat untuk memojokkan keberadaan jurnal-jurnal tersebut terkesan sebagai pemborosan akademik.

 

Agenda bagi BRIN

Aglomerasi BRIN menghadirkan harapan yang perlu dipikirkan beberapa hal untuk menyempurnakan reorganisasi lembaga penelitian yang ada. Memikirkan tentang eksistensi jurnal penting untuk tidak hanya sebagai konsekuensi logis dari reorganisasi yang terjadi, dimana lembaga penelitian yang ada memiliki satu atau beberapa jurnal dengan berbagai tingkatan. Selain itu ragam tingkatan yang berbeda-beda tersebut sebenanrnya memiliki fungsi juga yang sesuai dengan kebutuhan dan peran peneliti atau akademisi untuk menyuarakan pandangannya dan berharap memberikan dampak akademis bagi masyarakat. Jurnal tidak hanya sekedar corong untuk menyuarakan hasil pemikiran para peneliti dan akademisi pada umumnya, jurnal juga adalah eksistensi dari masyarakat akademisi Indonesia.

Memosisikan jurnal sebagai eksistensi masyarakat akademisi Indonesia berkaitan dengan keinginan dan cita-cita internasionalisasi bahasa Indonesia. Salah satu caranya adalah membuat jurnal menjadi dua bahasa, untuk tetap memberikan akses dan manfaat, partisipasi dan juga kesempatan pada masyarakat. Sejalan dengan perkembangan dunia akademis di Indonesia, terutama mahasiswa pascasarjana yang diharapkan memasukkan karya mereka dalam bentuk naskah jurnal sebagai syarat kelulusannya. Dengan demikian menggarap jurnal yang ada, menaikkan skala mereka sesuai dengan standart Sinta adalah salah satu hal yang penting.

Menjadikan jurnal menjadi bilingual tentu membutuhkan beberapa penyesuaian seperti adanya kebutuhan editor yang tidak hanya berbahasa Indonesia tetapi dalam Bahasa Inggris. Hal lainnya adalah apakah perlu penerjemahan dalam Bahasa Inggris. Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan Jurnal Masyarakat Budaya (selanjutnya disebut JMB), reach out atau memberikan akses kepada penulis serius atau pemula sama pentingnya. Bahkan JMB juga melakukan webinar di dalam rangka launching tiap edisi dengan menghadirkan beberapa dari para penulisnya. Kegiatan diskusi dengan para penulis yang tidak banyak jurnal melakukannya adalah apresiasi kepada dunia akademisi yang tidak hanya sekedar menjadi penulis.

Kembali pada isu transformasi jurnal menjadi Sinta 1 yang kelihatannya bertolak belakang dengan internasionalisasi bahasa Indonesia. BRIN memiliki fungsi dan peran yang sangat besar di dalam proses ini, dengan menerbitkan jurnal yang dalam proses transformasi tersebut dalam dua bahasa. BRIN adalah salah satu stakeholder penting di dalam internasionalisasi bahasa, sehingga tidak sekedar upaya tersebut dalam bentuk bahasa lisan tetapi juga dalam bahasa tulis. Selain itu masuknya jurnal Indonesia dalam dunia global dengan memosisikan peran penting reproduksi pengetahuan Indonesia untuk masyarakat global. Barangkali hal ini adalah agenda yang perlu dipertimbangkan di dalam pengelolaan jurnal di BRIN sebagai hub akademik yang penting (Santoso, 2018). Perkembangan ini akan meningkatkan posisi kegiatan akademis yang tidak berhenti di sebagai hub akademik tetapi juga menyumbang perkembangan diskusi akademik ilmu sosial sebagai paradigma, atau school of thought.

 

Tetap Mendayung Antara Dua Karang

Perkembangan kekinian patut diinsyafi yang mengarah ke corak asimilasi. Bahwa jurnal yang berkualitas harus mengubah bahasa pengantarnya menjadi bahasa Inggris untuk mengejar indeksasi internasional. Bila demikian apa alasan yang membuat bahasa internasional untuk konteks dunia ilmiah?

Seperti panduan dan contoh baik dari Mohammad Hatta (1952) mengenai posisi Indonesia di antara dua kekuatan dunia saat itu, selain berkiprah mengikuti kompetisi dan kolaborasi dengan standar internasional yang ditetapkan raksasa akademik. BRIN perlu mempelopori pemembentukan ekosistem riset yang mumpuni dan unggul dengan Bahasa Indonesia sebagai medium komunikasinya.

Perlu ada faktor ekstralingual yang menopang status Bahasa Indonesia di dunia internasional. Bila kita mengambil contoh bahasa Arab dan bahasa Inggris. Keduanya memiliki faktor yang khas: bahasa Arab dipelajari di pesantren-pesantren karena dianggap syarat dasar mempelajari ilmu Agama Islam; bahasa Inggris yang tersebar bersama kolonialisme Inggris kini menjadi lingua academia dan bahasa politik internasional karena ditopang agensi dominan, baik universitas, negara, sampai lembaga global.

Tidak pernah ada bahasa digunakan di luar wilayah penutur jatinya tanpa ditopang faktor sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang kokoh. Bila internasionalisasi Bahasa Indonesia berarti pula pemartabatan bahasa dalam pergaulan ilmiah, BRIN adalah aktor kunci yang diharapkan dapat merancang peta jalan untuk menuju tujuan tersebut. Langgam ilmiah ini bisa mengokohkan martabat bangsa yang tidak hanya sekadar dipandang sebagai pangsa pasar potensial sebagaimana menjadi salah satu alasan Bahasa Indonesia dipelajari di banyak negara. Di masa mendatang orang-orang global diharapkan perlu mempelajari bahasa Indonesia bila hendak mengakses pengetahuan berkualitas seperti yang terjadi dan saat ini kita lakukan dengan berbondong-bondong mempelajari bahasa Inggris dan mengakses jurnal-jurnal internasional. (Editor: Dicky Rachmawan)

 

Referensi:

Hatta, Mohammad. 1952. Mendajung Antara Dua Karang: Keterangan Pemerintah Diutjapkan Oleh Drs. Mohammad Hatta di Muka Sidang BPKNP di Djokja Pada Tahun 1948. Djakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia.

Harian Kompas. 2022. Peta Jalan Internasionalisasi Bahasa Indonesia disiapkan. Edisi 29 April 2022.

Ismadi, Hurip Danu. (2022). INTERNASIONALISASI BAHASA INDONESIA. Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan, 11 Mei 2020 yang diakses dari https://balaibahasakalteng.kemdikbud.go.id/internasionalisasi-bahasa-indonesia/

Santoso, W. M. (2018). Kajian Awal Analisis Hub-Pengetahuan: Studi Tentang Puslit Kemasyarakatan Dan Kebudayaan (P2Kk-Lipi). Jurnal Masyarakat & Budaya, 20(1), 143–148.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Prof. (r). Widjajanti M Santoso adalah sosiolog yang tertarik pada isu gender dan media, kajiannya beragam termasuk Syariah Islam yang dengan fesyen dan kelas sosial. Kegiatan lainnya adalah sebagai pengajar tidak tetap di Pusat Studi Kajian Gender – SKSG Universitas Indonesia, dan ketua dewan redaksi Jurnal Masyarakat dan Budaya, kontaknya adalah widjasantoso@gmail.com

Ubaidillah adalah peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, LIPI yang menekuni kajian budaya, agensi, perubahan sosial yang tercermin dalam bahasa. Secara teoretik, lebih sering menggunakan pendekatan interdisipliner antara analisis wacana, pragmatik, linguistik antropologis, linguistik kognitif, serta sosiolinguistik. Ia menyelesaikan Program S1Sastra Indonesia di Universitas Jenderal Soedirman pada 2013 dan S2 di Program Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada pada 2018. Penulis dapat dihubungi via 23ubaid@gmail.com

Rusydan Fathy adalah peneliti Sosiologi Perkotaan di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI. Fokus kajiannya meliputi isu-isu tentang pembangunan sosial di perkotaan. Untuk korespondensi, Rusydan dapat dihubungi melalui surel: rusydanfathy@gmail.com

 

 

Jalu Lintang Y.A. adalah penliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN. Ia tertarik pada kajian yang berfokus pada isu-isu Identitas, Etnisitas, Budaya. Ia dapat dihubungi melalui email: jalulintang44@gmail.com

 

 

 

 

 

 

 

 

1 KOMENTAR