Oleh Fauzan Jamal (Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah)

 

Ramadan di tengah pandemi sungguh menyesakkan dada. Aktivitas spiritual semacam tarawih dan i’tikaf pada sepertiga akhir bulan suci yang kerap dijalani berkurang nuansa khidmatnya. Di sisi lain, hobi warga berkumpul menjelang buka puasa tak dapat tersalurkan. Ngabuburit terasa hampa, rencana buka puasa bersama (bukber) pun berantakan. Anjuran social distancing ‘kudu’ ditaati oleh semua orang jika ingin kondisi tubuhnya sehat. Kendala tak keluar rumah sejatinya tidak meredupkan gelora Ramadan di Indonesia.

Acara hiburan baik di televisi maupun media sosial berupaya meredam ke-mati-gaya-an kala karantina. Namun, ada satu yang tak pernah luput ketika bulan puasa tiba yaitu alm. Olga Syahputra. Walaupun ia telah tiada, namun eksistensi Olga Syahputra beberapa tahun belakang seolah menjadi refleksi praktik komersialisasi Ramadan di layar kaca Indonesia

 

Komersialisasi Ramadan di Layar Streaming Amerika

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentu menantikan datangnya bulan Ramadan.  Berbagai kebiasaan sebelum dan selama Ramadan seperti berbelanja kebutuhan pokok hingga konsumsi berbuka puasa jelas jadi magnet bagi para pencari keuntungan.

Tren komersialisasi seperti ini tak hanya terjadi di Indonesia. Pasca peristiwa 9/11, geliat pemeluk Muslim bertambah di penjuru dunia. The Pew Forum on Religion & Public Life Analyzed Statistics menyebutkan bahwa proyeksi populasi Muslim di tahun 2013 yang berjumlah 2,6 juta, bakal bertambah hingga 6,2 juta jiwa pada tahun 2030 (https://www.huffpost.com/entry/ramadan-business_n_3559321). Data tersebut menjadi pijakan bagi pelaku pasar untuk menggaet konsumen muslim Amerika yang jumlahnya cukup besar.

Catatan angka tersebut tampaknya menggoda Hulu, salah satu platform digital OTT (Over-the-top) atau media streaming, yang bergerak pada penyediaan tayangan televisi online di Amerika untuk meraih pasar konsumen Muslim. Sekitar dua pekan menjelang Ramadan 2019, Hulu merilis serial komedi berjudul ‘Ramy’.

Ramy’ mengisahkan tentang pria lajang muslim di New Jersey berdarah Amerika-Mesir yang sedang mengalami gejolak emosi pasca kebangkrutan bisnis start-up tempat ia bekerja. Rasa frustasi semakin membuncah ketika ia mendapat cemooh dari karibnya tentang kebotakan rambut sebagai pertanda Ramy telah menua namun belum jua mendapatkan jodoh. 

Komedi berbalut kegalauan akan pasangan makin dipertebal dengan bingkai nilai dan tradisi Muslim yang bagi sebagian orang Amerika dipandang tradisional. The New York Times bahkan dengan bangga memberi judul utama serial ini sebagai ‘Ramy is a quitely revolutionary comedy’ (https://www.nytimes.com/2019/04/18/arts/television/ramy-youssef-hulu.html). Hal ini jelas beralasan, ‘Ramy’ mampu memukul balik stigma karakter Muslim selalu lekat dengan citra teroris di lanskap layar kaca Amerika. Lalu bagaimana dengan praktik industri layar kaca Indonesia selama Ramadan?

 

Ingat Puasa, Ingat Olga

Berbeda dengan Amerika yang telah mengkonsumsi platform digital tayangan hiburan secara masif, cengkraman industri televisi di Indonesia masih sangat menggurita, berbagai aspek tayangan betul-betul masih dikuasai oleh korporat media televisi baik konsumsi informasi maupun hiburan. Praktik tersebut makin kentara ketika Ramadan tiba.

Situasi tersebut tidak terlepas dari peleburan industri layar kaca dengan tradisi ke-Islaman yang telah terjalin cukup lama di Indonesia, dibanding dengan situasi orde baru dimana citra keislaman jarang muncul di layar kaca atau perfilman sebagai bentuk represi terhadap elemen masyarakat yang mampu menggoyahkan kemapanan pemerintah. Periode pasca reformasi cenderung acap menampilkan identitas keislaman baik di film maupun televisi (Heeren, 119:2012) .

Program acara yang mengudara terlihat bertransformasi sesuai kondisi bulan Ramadan. Hampir semua saluran televisi swasta beradu program utama (prime time) saat waktu sahur maupun buka puasa (Heeren, 126:2012). Terlepas dari jenis acaranya, program selama bulan Ramadan dibuat sesuai dengan tren pertelevisian yang ada pada satu waktu (Heeren, 126:2012).

Genre komedi jelas yang paling diminati. Banyak komedian yang tampil untuk mengisi program hiburan selama Ramadan. Namun, bagi penulis tak ada yang lebih melegenda selain alm. Olga Syahputra.

Alm. Olga Syahputra melejit berkat aksi lawaknya bersama Adul dan Komeng dalam program Saatnya Kita Sahur di Trans TV (2008-2011). Format acara tersebut sesungguhnya sama dengan acara sahur pada saluran televisi lain, yaitu komedi situasi dan candaan khas kala segmen kuis. Meleburnya segmen kuis pada program hiburan Ramadan memang menciptakan karakter tersendiri. Van Heeren menyebut segmen kuis selalu ada di tiap jenis pertunjukan hiburan dan sinetron di program Ramadan di televisi Indonesia (Heeren, 126:2012).

Bagi penulis, candaan alm. Olga Syahputra pada program Saatnya kita Sahur sangat tidak bisa dilupakan. Seringkali Olga melakukan trik impersonate atau meniru karakter lain seperti Suzanna, sosok ibu-ibu, dan banci yang memancing gelak tawa para penonton.  Namun, konsekuensi akibat impersonate itu kemudian membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur acara Saatnya Kita Sahur atas tuduhan menonjolkan identitas banci dalam sebuah komedi situasi  (https://majalah.tempo.co/read/televisi/128209/bredel-banci-di-televisi).

Komedian lain seperti Kabul (dikenal juga sebagai Tessy) yang terlibat juga pada program Saatnya kita Sahur mendapat teguran serupa karena kerap menggunakan atribut perempuan seperti kemben dan menyelipkan bola di bagian dadanya. Setelah teguran itu, stasiun televisi kemudian meniadakan karakter banci dalam program acaranya.

Sikap yang ditunjukkan KPI makin melanggengkan stigma ‘State Straightism’ yang telah lama melekat pada negara. Dalam tulisan berjudul Against State Straightism: Five Principle for Including LGBT Indonesians (https://www.e-ir.info/2016/03/21/against-state-straightism-five-principles-for-including-lgbt-indonesians/), Tom Boellstorff menegaskan ‘State Straightism’ merujuk pada sikap negara yang hanya mengakui gender heteroseksual, imbasnya identitas seperti banci tidak dihitung sebagai warga negara.

Inkonsistensi televisi terhadap hal ini memperlihatkan sifat tulennya sebagai sebuah media. Bagi Herbert Schiller, media tak lebih dari institusi yang berupaya mencari pelanggan, memperkuat dan memapankan sistem ideologi, menjaga utuhnya aturan negara, terakhir dan tak kalah penting adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (Schiller, 275:1978).

Eksistensi alm. Olga Syahputra beberapa tahun silam khususnya pada tayangan bulan Ramadan sesungguhnya mencerminkan praktik komersialisasi dan watak media yang memandang momentum sebagai ladang keuntungan (Editor Maulida Illiyani).

 

Referensi

Buku

Heeren, K. van. (2012). Contemporary Indonesian film: spirits of reform and ghosts from the past. Leiden: Brill.

 Jurnal

Media and Imperialism. (1978). Revue Francaise D’etudes Americaines, 275–276. Retrieved from https://www.persee.fr/collection/rfea

Website

Ramy’ Is a Quietly Revolutionary Comedy. (2019, April 18). Retrieved May 30, 2020, from https://www.nytimes.com/2019/04/18/arts/television/ramy-youssef-hulu.html

 bredel banci di televisi. (2008, September 15). Retrieved May 25, 2020, from https://majalah.tempo.co/read/televisi/128209/bredel-banci-di-televisi

 Against State Straightism: Five Principles for Including LGBT Indonesians. (2016, March 21). Retrieved May 25, 2020, from https://www.e-ir.info/2016/03/21/against-state-straightism-five-principles-for-including-lgbt-indonesians/

 Ramadan Business A Boon In Islamic Market As Muslims Talk Of Growing Commercialization. (2013, July 9). Retrieved May 24, 2020, from https://www.huffpost.com/entry/ramadan-business_n_3559321

Ilustrasi 1: https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fpbs.twimg.com%2Fmedia%2FD5_XAWgUIAAq9E5.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Ftwitter.com%2Fcoffebit%2Fstatuses%2F1125976980921257985&tbnid=KBWsPE9Zflu0KM&vet=12ahUKEwjS0vH30OTpAhVknEsFHS_RBnMQMygUegQIARAs..i&docid=lwhRybOiIMpUqM&w=399&h=380&itg=1&q=olga%20syahputra%20saatnya%20kita%20sahur&ved=2ahUKEwjS0vH30OTpAhVknEsFHS_RBnMQMygUegQIARAs

Ilustrasi 2: https://www.imdb.com/title/tt7649694/

 ______________________________________________

TENTANG PENULIS

Fauzan Jamal ialah Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Angkatan 2014). Sembari menyelesaikan tugas akhirnya, ia bekerja di perusahaan ed-tech terbesar di Indonesia. Jika ingin berkomunikasi dapat melalui Fauzanjamal55@gmail.com.