[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 14, Juli 2020]

***

Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)

Pada awal Juli 2020, mantan personil AOA bernama Kwon Mina, menghebohkan jagad media sosial setelah mengunggah beberapa postingan di Instagram mengenai bully (perundungan) yang ia terima dari rekan satu timnya, Shin Jimin. Dalam postingannya ia mengaku mendapat perlakuan tidak pantas selama satu dekade belakangan. Siksaan mental yang ia alami bahkan membuatnya sempat ingin bunuh diri. Mina sendiri telah meninggalkan grup sejak tahun 2019 tanpa memberikan alasan yang jelas kepada penggemar. Namun, karena postingan ini, fans berasumsi bahwa Mina keluar karena tidak tahan dengan bully yang ia terima sejak masa trainee (pelatihan) hingga debut. Imbas dari kasus ini membuat Jimin hengkang dari AOA pada awal Juli 2020.

AOA atau Ace of Angels (에이오에이: dibaca ei.o.ei) sendiri adalah grup idola perempuan asal Korea Selatan yang berada di bawah naungan FNC Entertainment. Memulai debut secara resmi pada Juli 2012, grup ini beranggotakan delapan orang yaitu Kim Seolhyun, Shin Hyejeong, Kim Chanmi, Seo Yuna, Park Choa, Kwon Mina, Seo Youkyoung, dan Shin Jimin sebagai leader atau pemimpin. Grup ini pun dibagi lagi menjadi tiga sub-unit yaitu AOA black (beranggotakan Jimin, Yuna, Choa, Mina, dan Youkyung), AOA White (beranggotakan Hyejeong, Seolhyun, dan Chanmi), dan AOA Cream (beranggotakan Yuna, Hyejeong, dan Chanmi). Yang menarik dua member lain dari AOA Black memutuskan mundur yaitu Youkyung (2016) dan Choa (2017). Alasan mundur Choa dari AOA karena depresi dan insomnia pun diduga sebagai akibat bully yang juga dilakukan oleh Jimin.

Kasus perundungan yang dialami Mina sesungguhnya hanyalah puncak gunung es dari industri K-Pop. Publik mungkin masih mengingat kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Goo Hara mantan personel Kara pada November 2019. Hara memutuskan mengakhiri hidupnya setelah menerima ancaman yang dilakukan mantan kekasihnya terkait video syur mereka, ditambah berbagai komentar bernada kebencian dari netizen di internet. Kematian Hara pun disinyalir sebagai puncak kesedihan karena satu bulan sebelumnya sahabatnya, Sulli, juga ditemukan tewas bunuh diri.

Sulli mengalami depresi berat akibat cyberbullying yang dialami di media sosial. Mantan personel grup f(x) itu menerima berbagai hujatan dan komentar jahat sebagai akibat dari pilihan berpakaian, pemikiran, dan percintaannya. Berbeda dengan bintang K-Pop lain yang bersikap manis dan menawan, Sulli termasuk idol yang blak-blakan dalam menyampaikan pendapat (Tan dan Kim, BBC, 2019). Secara terbuka Sulli menceritakan perjuangannya menghadapi masalah cyberbullying yang berujung pada depresi dan masalah mental. Ia bahkan menjadi salah satu pemandu acara bincang-bincang The Night of Hate Comments (악플의 밤: dibaca agpeul-ui.bam) di JTBC yang mendiskusikan komentar kebencian, desas desus jahat, cyberbullying, dan tata krama dalam berinternet.

Korea Selatan memang relatif konservatif terkait isu depresi dan kesehatan mental (Kim, Hypebae, 18 Oktober 2019).  Negara ini memiliki masalah kesehatan mental yang tinggi namun banyak orang yang mengabaikan gejalanya. Bahkan, sebanyak 78% orangtua di Korea Selatan menganggap seseorang yang depresi berarti orang itu lemah (Watkins, Ozy, 9 Februari 2018). Kasus Sulli kemudian membuat selebritas dan masyarakat Korea Selatan mulai meminta perhatian lebih terhadap cyberbullying dan kesehatan mental. Imbasnya, Majelis Nasional Korea Selatan pun mulai membicarakan Sulli’s Act yang berisi RUU untuk mengatur dan mencegah cyberbullying pada awal Desember bertepatan dengan peringatan 49 hari kematian Sulli (Lim, Korea Times, 25 Oktober 2019).

Industri K-Pop dikenal kerap memberikan tuntutan tinggi agar para idol memiliki citra sempurna dan ideal sehingga layak disebut idola. Sejumlah agensi bahkan melarang bintang K-Pop untuk terlibat asmara demi tidak membuat fans kecewa. Tekanan ini dimulai sejak mereka masih dalam fase trainee atau sebelum debut ke dunia hiburan (Wareza, CNBC Indonesia). Tidak hanya mendapat tekanan dari agensi, banyak fans pun ikut memberikan tekanan terhadap idolanya mulai dari penampilan fisik, cara berpakaian, hingga cara berbicara.

Tidak hanya netizen Korea Selatan, netizen Indonesia juga kerap diberitakan melakukan cyberbullying kepada artis baik dalam maupun luar negeri. Beberapa artis Indonesia pun pernah menerima komentar pedas dari penggemar K-Pop karena postingan terkait idolanya di Instagram. Sebagai contoh Raline Shah yang pernah diserang oleh fans K-Pop terkait postingan Instagramnya tentang Big Bang. Pada tahun 2017, Raline mengunggah Instagram story saat menonton konser Big Bang di Jepang bertajuk The Last Dance dengan caption “Craziest concert ive ever been to! Sad they are breaking up” yang berarti “Konser terkeren yang pernah aku datangi! Sayangnya mereka mau bubar”. Kolom komentar Raline pun penuh dengan protes dari para fans karena dianggap salah. Menurut fans, Big Bang hanya akan rehat bukan bubar.

Gambar. Tangkap layar Instagram story Raline Shah saat menonton konser Big Bang
Sumber: https://www.liputan6.com/showbiz/read/3205693/anggap-big-bang-bubar-raline-shah-diserang-fans-k-pop

Dikutip dari Liputan6 (Nurin, Liputan6, 24 Desember 2017), salah satu netizen menuliskan komentar “Lau mau bikin gosip sama salah satu member ya sebodo amat sih, tapi mbok jan sembrono nulis capt “breaking up”, sotoy banget jadi orang… yaelah ahjumma,” (akun Instagram @xxeh_xxpie). Dalam komentar tertulis kata ahjumma (아줌마) dari bahasa Korea yang berarti wanita yang sudah menikah dan berusia paruh baya. Di Korea Selatan, kata ini sensitif digunakan khususnya kepada orang yang belum dikenal. Dalam konteks Indonesia pun, penggunaan kata ini tersirat sebagai bentuk ejekan karena Raline tidak termasuk kategori tersebut.

Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun tidak serta merta dapat menghilangkan kasus cyberbullying. Apalagi saat ini adalah era di mana masifnya penggunaan media sosial sehingga pengawasan terhadap komentar negatif menjadi tantangan yang berat. Beberapa selebritis memilih untuk menonaktifkan kolom komentar di akun media sosial demi mengurangi dampak psikologis setelah membaca komentar jahat. Selain itu, upaya untuk tidak membaca komentar di akun hiburan dan berita online, mengurangi pencarian daring tentang diri sendiri, dan melaporkan komentar yang bermuatan cyberbullying ke pihak berwajib dapat menjadi beberapa solusi.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 tentang kesehatan jiwa, dari 16 juta penduduk Indonesia yang mengalami depresi, namun hanya 9% yang menjalani pengobatan medis (Kemkes RI, 2018). Untuk itu, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat untuk memahami pentingnya mengatasi kesehatan mental. Stigma negatif terhadap seseorang yang mengalami masalah mental pun memiliki andil terhadap sulitnya penanganan kesehatan mental (Zahra dkk, Economica, 4 Oktober 2019).  Sebab, baik bullying maupun cyberbulling sama-sama memiliki dampak ekstrim terhadap kesehatan fisik dan mental seseorang. Oleh karena itu, anggapan bahwa depresi hanya dialami oleh seseorang yang lemah jiwa dan lemah iman perlu diluruskan agar tidak membuat orang ragu untuk mencari pertolongan profesional seperti psikolog dan psikiater (Editor Maulida Illiyani).

_______________________________

Referensi

Kemkes RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf

Kim, Ye Eun. “What Yet Another K-Pop Star’s Death Tells Us About Social Media and Mental Health”. (Hypebae, 18 Oktober 2019), https://hypebae.com/2019/10/sulli-k-pop-fx-death-suicide-mental-health-social-media-cyberbullying-feminism-depression

Lim, Jason. Sulli’s Law. (Korea Times, 25 Oktober 2019), https://www.koreatimes.co.kr/www/opinion/2020/06/352_277559.html

Nurin, Fajarina. Anggap Big Bang Bubar, Raline Shah Diserang Fans K-Pop”. (Liputan6, 24 Desember 2017), https://www.liputan6.com/showbiz/read/3205693/anggap-big-bang-bubar-raline-shah-diserang-fans-k-pop

Tan, Yvette dan Kim Wonsang. “Sulli: The woman who rebelled against the K-pop world”. (BBC, 18 Oktober 2019), https://www.bbc.com/news/world-asia-50051575

Wareza, Monica. “Sulli F(x) Bunuh Diri, Netizen Julid & Kejamnya Industri Kpop”. (CNBC Indonesia, 19 October 201), https://www.cnbcindonesia.com/news/20191019172434-4-108342/sulli-f-x–bunuh-diri-netizen-julid-kejamnya-industri-kpop

Watkins, James. “South Korea’s Mental Health Problem That Koreans Don’t Admit”. (Ozy, 9 Februari 2018), https://www.ozy.com/around-the-world/south-koreas-mental-health-problem-that-koreans-dont-admit/83629/

Zahra, Nadhifa A, Anelis, Syskia, dan Dian, Gabriella. “Melawan Stigmatisasi Kesehatan Mental”. (Economica, 4 Oktober 2019), https://www.economica.id/2019/10/04/melawan-stigma-gangguan-kesehatan-mental/

___________________________________

TENTANG PENULIS

Ranny Rastati, often called Chibi, is a Researcher at Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). She received her bachelor’s in Japanese Studies at University of Indonesia and master’s in Communication Studies at University of Indonesia. Publications include popular books such Ohayou Gozaimasu (2014) and Korean celebrity: Daehan Minguk Manse (2015) ; articles journal on hijab cosplay (2015), cyberbullying (2016), Islamic manga (2017), media literacy (2018), halal tourism (2018), cosplay as creative dawah (2019), and cosplay tourism (2020). Her research interests include cosplay, Japan and Korean pop culture, also media studies. Her current research topics are hijab cosplay as preaching Islam, cosplay as contents tourism and halal tourism that have been presented in the USA, Japan, and Southeast Asia. She also manages a nonprofit organization for social activity and voluntary service, Chibi Ranran Help Center (www.chibiranranhelpcenter.com), since 2013. Her works can be viewed via personal blog rannyrastati.wordpress.com. She can be contacted at ranny.rastati@gmail.com.