[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 16, Maret 2022]
oleh Fachri Aidulsyah (Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN)
“…Tinggal di sini juga saya senang… Kami mau bersekolah di sini. Kita punya kampung itu sekolah-sekolah di kampung kami sudah terbakar… Di kampung kami juga (ada) perang. Kita punya Bapak dan Mama itu sudah (meninggal)…”, ucap Yustina Belau, gadis belia asal Intan Jaya kepada BBC News di penghujung tahun 2021.
Ungkapan penuh haru. Yustina adalah satu di antara belasan anak lainnya yang kini diungsikan ke Panti Asuhan Jayapura, akibat konflik yang terjadi di kampung halamannya, Intan Jaya. Intan Jaya, adalah satu di antara belasan kabupaten lainnya di Papua yang masih terjerembab dalam konflik, kekerasan, dan isu separatisme yang tak berkesudahan. Yustina adalah satu di antara ribuan anak Papua lainnya yang didera kesendirian dan kesengsaraan.
“Konflik”, “kekerasan”, dan “separatisme” adalah kata yang belum jua musnah di Tanah Papua. Sejak bergabungnya Papua ke dalam naungan NKRI tahun 1969, tiga kata tersebut terus terngiang dalam imajinasi “berbangsa” dan “bernegara” hingga hari ini. Apa yang diharapkan dari pengimplementasian Otonomi Khusus (OTSUS) sejak dua dekade lalu guna mereduksi tiga kata “traumatik” tersebut, justru yang terjadi ialah sebaliknya.
Papua, NKRI, dan Keamanan Negara
Meskipun Papua terus-menerus dibayangi konflik dan kekerasan, namun bukan berarti Papua mendapatkan tempat yang adil untuk “dipedulikan”. Istilah “Sebangsa” dan “Setanah air” yang selama ini didengungkan, nampaknya tidak terlalu serius untuk menempatkan orang Papua -sebagai warga negara- berada di dalamnya. Lebih jauh, di tengah polarisasi politik identitas antara kelompok “pro” dan “oposisi” pemerintah, kedua kubu tersebut bersepakat bahwa dalam doktrin “NKRI harga mati”, kedua kubu tersebut cenderung melihat “suara” Papua sebagai suatu hal yang “lain”—“pembuat onar”, dan terkungkung dalam stigma “separatisme” yang tak berujung.
Tentunya, simplifikasi protes masyarakat Papua terhadap negara yang dimasukkan dalam kardus “pembangkang” dan “separatisme” merupakan “keberhasilan” segelintir elite kepentingan yang bermain dalam melakukan framing terhadap masyarakat Papua, yang terus-menerus mengambil “keuntungan” di dalam stigma-stigma tersebut. Mereka, elite kepentingan tersebut telah berhasil membangun narasi bahwa Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua adalah suatu hal yang “sama” dan “setara”. Kita diajak untuk mengimajinasikan bahwa kehidupan di Jakarta sama saja dengan kehidupan di Jayapura, kehidupan di Yogyakarta sama dengan kehidupan di Nduga. Sehingga, ketika melihat terjadinya protes masyarakat Papua di sana-sini, alam bawah sadar kita langsung merespon bahwa “demonstrasi” dan “anarkisme” di Papua adalah suatu hal yang “diada-ada”.
Padahal, secara historis, kita akan melihat fakta bahwa “Jawa” dan “Papua” adalah suatu hal yang tidaklah apple to apple. Ben Anderson (1999) menggambarkan, di tahun 1970-an, di saat Jawa, Sumatra, dan Kepulauan lainnya tengah membangun common project dalam menentukan konsep berbangsa dan bernegara, justru Papua yang baru seumur jagung bergabung dengan Indonesia terus dibayang-bayangi oleh senjata. Sejak tahun 1977, Papua telah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM), pertama dalam sejarah Indonesia. Sejak berstatus DOM, fondasi “nasionalisme” ke-Indonesia-an di Papua berbanding terbalik dengan semangat ber-kebangsa-an yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi. “Negara” dan “Bangsa” yang semestinya dimaknai sebagai asas “pembebasan”, di Papua justru berubah menjadi “pengungkungan” (Kusumaryati, 2018).
Memasuki era Reformasi dan Desentralisasi, alih-alih Papua keluar dari “cengkraman” militer, yang terjadi adalah justru sebaliknya. Hingga tahun 2013, tercatat bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan daerah dengan jumlah personil aparat keamanan negara terbanyak dibandingkan provinsi lainnya. Di kedua provinsi tersebut, jumlah antara penduduk Provinsi Papua dan anggota aparatur keamanan negara ialah 97:1, di mana rata-rata antara jumlah penduduk di provinsi lainnya dengan jumlah polisi/tentara ialah 296:1. Jika diestimasi, maka jumlah aparat keamanan negara di Papua mencapai 37.070 personil, 22.220 personil di antaranya ialah anggota TNI, dan sisanya ialah anggota Kepolisian (Supriatma, 2013: 97-98).
Tentunya, maraknya jumlah aparat keamanan negara di Papua hingga kini telah memunculkan banyak persoalan. Alih-alih menciptakan “keamanan” dan “perdamaian”, justru seringkali aparat keamanan negara berperan dalam melanggengkan “ketegangan”, berakrobatik dalam military-police rent-seeking operation dengan menjalankan “bisnis keamanan” bagi korporasi-korporasi ekstraktif. Sejak tahun 1970-an, PT. Freeport merupakan salah satu konsumen jasa “keamanan” tersebut (Chairullah, 2021). Sepanjang tahun 2014-2016, PT. Freeport mengeluarkan biaya hingga US$68 Juta (atau setara dengan Rp.969 Miliar) untuk mendapatkan jasa “keamanan” dari militer dan polisi Indonesia (United States Securities and Exchange Commission Report 2017).
Menguatnya military-police rent-seeking operation dibarengi dengan security approach di Papua juga telah berdampak pada “pembungkaman” media dan dunia akademik yang cukup lama. Hal tersebut dibuktikan bahwa sejak tahun 1970-an hingga hari ini, penelitian mau pun peliputan media -khususnya peneliti asing atau wartawan media internasional- seringkali sulit mendapatkan izin, mendapatkan pembatasan peliputan, mau pun pelarangan ke Papua (Human Rights Watch, 2015).
Tentu, dengan banyaknya penutupan akses penelitian dan peliputan seakan menjadi “tanda tanya besar” tentang apa yang sejatinya tengah ditutup-tutupi di Papua. Di tengah ketertutupan tersebut, di era Reformasi, Papua pernah mengalami Biak Berdarah 1998, Abepura Berdarah 2000, Paniai Berdarah 2014, kelaparan hebat di Yahukimo yang menewaskan ratusan orang, dan bahkan di tahun 2018 negara pernah membiarkan 37 ribu rakyatnya terlunta-lunta kelaparan tanpa tempat tinggal, 240 orang meninggal akibat kelaparan dengan jumlah yang belum teridentifikasi mati di luar proses hukum (Wahyuningroem, 2020).
Papua, Transmigrasi, dan Identitas Kultural
Kesengsaraan Papua sebagai “warga negara” tidak hanya berhenti persoalan militerisasi. Justru sebaliknya, “militerisasi” juga telah berimplikasi diskriminasi politik, ekonomi, mau pun kultural terhadap masyarakat Papua.
Di tahun 1970-an, dengan dalih “memperadabkan” Papua, Pemerintah dan Militer melakukan Operasi Koteka, merazia koteka (penutup kelamin laki-laki), sale (rok jerami bagi perawan), dan yokal (rok Jerami bagi istri) milik masyarakat Papua dan menggantinya dengan baju dan celana. Sayangnya, proses pengenalan baju dan celana tersebut justru dilakukan dengan “pemaksaan” sembari melakukan “judging” dan “intimidasi” terhadap identitas kultural masyarakat Papua, sebagai petanda keluar dari “keterbelakangan” (Martin Sitompul, 2017).
Bagai gayung bersambut, “keterbelakangan” dan “tidak bisa bekerja” menjadi justifikasi bagi korporasi-korporasi asing untuk melakukan tindakan semena-mena terhadap Bangsa Papua. Newsweek (1974: 34 dalam Gietletz, 1989: 204) merilis, di tahun 1970-an, di area pertambangan dekat Sorong, buruh transmigran mendapatkan upah lebih besar dibandingkan buruh masyarakat asli Papua. Alih-alih mendapatkan upah tinggi, buruh Papua justru mendapatkan perlakuan intimidasi, dimana lebih dari dua pertiga gaji mereka dikelola oleh militer.
Di saat yang bersamaan, perusahaan tidak memberikan fasilitas pendidikan, pelatihan keterampilan, kesehatan, mau pun fasilitas-fasilitas publik lainnya bagi orang asli Papua. Tanah adat Papua yang “di caplok” oleh korporasi asing hanya mendapatkan ganti rugi dalam bentuk tembakau, pernak-pernik, dan barang-barang lainnya yang tidak seberapa (Gietletz, 1989). Sejak saat itulah, masyarakat Papua hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Gemerlap kontribusi keuangan yang besar bagi Indonesia dibandingkan provinsi lainnya berbanding terbalik dengan nahasnya kehidupan masyarakat Papua.
Sialnya lagi, program transmigrasi ala Orde Baru ke tanah Papua -sebagai dalih pemerataan dan asimilasi budaya- justru harus berakhir jua pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Saat ini, transmigran telah menguasai hampir seluruh sektor ekonomi rente di tanah Papua. Di tahun 1980-an, di saat masyarakat Papua menuntut adanya kesamaan hak dengan pendatang berupa pemberian permodalan, Pemerintah siap memberikan modal jika masyarakat Papua merubah pola tanam dan makan dari sagu ke beras (Gietletz, 1989).
Hingga saat ini, meski pun OTSUS telah memberikan angin segar terhadap pengakuan “identitas kultural” dan privilege yang lebih bagi masyarakat Papua, namun bukan berarti OTSUS telah berhasil dalam menciptakan “keamanan”, “kenyamanan”, dan “kebebasan” bagi masyarakat Papua. Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2020, baik Papua mau pun Papua Barat masih ditempatkan dengan indeks kebebasan hak-hak politik terendah di Indonesia.
Berangkat dari realitas ini, tentu semestinya kita bertanya-tanya, apalah arti dari “berbangsa” dan “bernegara” -dengan segala fasilitas mewahnya- jikalau kita masih dibayang-bayangi rasa takut dan kecemasan yang tak berkesudahan.
Yustina
Yustina adalah gambaran kecil dari kompleksitas Papua hari ini. Yustina, yang semestinya bergembira di hari natal dan penghujung pergantian tahun lalu dengan berkumpul bersama keluarga, terpaksa harus melemparkan senyum di antara beban luka yang harus diterimanya.
Sampai kapan “kita” sebagai “bangsa” dan “negara” terus menerus menciptakan Yustina yang lainnya? Sampai kapan Papua harus menanggung beban “ketakutan” dan “kecemasan” yang terus menerus. Sudah semestinya, menghadirkan “NKRI Harga Mati” di tanah Papua berarti menghapuskan “intimidasi” dan “kokangan senjata”. Menghadirkan negara “Se-Bangsa” dan “Se- Tanah Air” di Papua berarti menghadirkan “kedamaian”, “keadilan”, “kesetaraan”, “kebebasan”, dan “kemakmuran” bagi sesama dalam bingkai kesatuan dan persatuan.
Di tahun ini, dan di tahun-tahun kedepannya, kita berharap tidak ada lagi yang menjadi ‘Yustina-Yustina” lain yang menjadi korban “kebrutalan” dalam bernegara di tanah Papua selanjutnya. Duka Papua adalah tanggung jawab kita bersama. Dan bahagia Papua adalah bahagia kita bersama! (Editor: Rusydan Fathy)
Referensi:
Ilustrasi: Shutterstock
Buku dan Jurnal
Anderson, B. R. O’G. 1999. Indonesian Nationalism Today and in the Future. Indonesia, No. 67 (Apr., 1999), pp. 1-11
Chairullah, E. 2021. Indonesia’s Failure in Papua: The Role of Elites in Designing, Implementing and Undermining Special Autonomy. New York: Routledge
Gietzelt, D. 1989. The Indonesianization of West Papua. Oceania, Vol. 59, No. 3 (Mar., 1989), pp. 201-221
Kusumaryati, V. 2018. Ethnography of a Colonial Present: History, Experience, and Political Consciousness in West Papua. Doctoral dissertation, Harvard University, Graduate School of Arts & Sciences.
Supriatma, A. M. T. 2013. TNI/Polri in West Papua: How Security Reforms Work in the Conflict Region. Indonesia, No. 95 (April 2013), pp. 93-124
Survey dan Laporan
Badan Pusat Statistik. 2020. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Menurut Aspek dan Provinsi. www.bps.go.id. Link: https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/599/sdgs_10/1 diakses pada 10 Januari 2022
Human Rights Watch. 2015. Something to Hide?: Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua. USA: HRW
United States Securities and Exchange Commission. 2017. Annual Report Pursuant to Section 13 or 15(d) of the Securities Exchange Act of 1934 for the fiscal year ended December 31, 2016: Freeport-McMoRan Inc. Commission File Number: 001-11307-01
Internet
BBC News Indonesia. Natal anak Papua: ‘Saya senang di sini, di kampung ada perang’. Youtube, di upload pada 25 Desember 2021. Link: https://www.youtube.com/watch?v=GEQ8aWNrkuc diakses pada 10 Januari 2022
Wahyuningroem. 6 Januari 2020. Gagalnya Nasionalisme NKRI di Papua. Indoprogress.com. Link: https://indoprogress.com/2020/01/gagalnya-nasionalisme-nkri-di-papua/ diakses pada 10 Januari 2022
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Fachri Aidulsyah, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN. Saat ini Ia tengah menempuh studi Master pada jurusan Languages and Cultures of Southeast Asian Studies, Universität Hamburg, Jerman.