[Masyarakat & Budaya, Volume 15, Nomor 6, Maret 2021]

 

Oleh Arif Hilmawan (Peneliti PMB LIPI)

Lahirnya Undang-Undang (UU) No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil pada bagian Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) merupakan bukti nyata bahwa Pemerintah mengakui eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat/Kearifan Lokal untuk dijadikan acuan pengembangan wilayah pesisir dengan tetap menjaga kelestarian kawasan pesisir. Selain itu juga, UU ini menjadi langkah awal untuk penguatan dan pengakuan kembali nilai Kearifan Lokal yang telah pudar bahkan mulai hilang di masyarakat. Menurut masyarakat Lombok Utara berdasarkan wawancara dan diskusi kelompok kecil, lahirnya Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2014 disambut baik karena Undang-Undang ini mengakui keberadaan masyarakat adat beserta nilai kearifan lokalnya.

Walaupun UU ini belum diterapkan di Lombok Utara, namun muncul pernyataan tentang kelemahan UU ini. Menurut Tokoh Adat setempat berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, lahirnya UU ini dikhawatirkan akan menggusur keberadaan nelayan tradisional/ masyarakat adat dan rawan timbulnya konflik sosial. Mereka khawatir ketika IP-3 dipraktikkan kelak, maka tragedi penggusuran nelayan setempat dari wilayah penangkapan ikan akan terjadi di perairan pesisir seperti yang terjadi ketika implementasi hak pengusahaan hutan dan taman laut yang menggusur rakyat. Berikut petikan wawancara yang dilakukan kepada salah satu Ketua Kelompok Nelayan dan Ketua Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU)

“Seandainya diterapkan, takutnya kita sebagai nelayan dirugikan, para nelayan menaruh sampan dipesisir saja dilarang karena mereka menganggap sudah menguasai semuanya, kalau didiamkan secara terus- menerus, lama-lama nelayan tidak ada tempat untuk menaruh sampan. Sudah banyak kejadian jauh sebelum UU ini diterbitkan, kita sudah banyak pengalaman (Hatnadi, Nelayan/Ketua Kelompok Nelayan Patuh Angen Dusun Kandang Kaok, Desa Tanjung Kec.Tanjung/Pembudidaya karang. Wawancara dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2016)”.

“Iya umum (ruang pesisir dan laut), itu milik publik, dulu ada nelayan yang diusir saat melakukan kegiatan didepan tempat usaha pemegang hak pengelolaan tersebut, padahal nelayan ini kan posisinya dilaut, yang kita harapkan dari pemerintah adanya ketegasan tentang pembagian zona pengelolaan. Masa lautnya juga mau dikuasai, kan lucu namanya. (Syamsul Muhyin, Ketua LMNLU Kab. Lombok Utara. Wawancara dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2016)”.

Kekhawatiran juga muncul mengenai pemberian IP-3 ke badan usaha. Konsekuensinya adalah masyarakat adat bisa mengalihkan izin pemanfaatan perairan pesisirnya (IP-3) ke badan usaha yang berakibat pada terbukanya peluang akumulasi penguasaan perairan pesisir oleh badan usaha tertentu[1].  Akibatnya terjadi eksploitasi secara masif terhadap sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan keberlanjutan ekosistem serta sumberdaya yang ada di wilyah pesisir.  Salah satu contoh yang dikemukakan oleh tokoh adat setempat, apabila IP-3 ini dikuasai oleh badan usaha yang bergerak di bidang pariwisata, maka akan memungkinkan badan usaha ini menggunakan lahan yang diberikan oleh pemerintah sebagai lahan pariwisata yang berakibat pada akses nelayan dan masyarakat ke sempadan (garis batas luar) pantai ditutup untuk kepentingan pariwisata dan yang paling memprihatinkan, masyarakat adat tidak boleh melintasi lokasi tersebut. Pernyataan ini berdasarkan pada pengalaman yang ada jauh sebelum UU No.1 Tahun 2014 diterbitkan. Selain itu juga mekanisme perizinan ini semakin mempersulit keberadaan nelayan tradisional yang sudah lama hidup dan menetap di wilayah tersebut. Nelayan tradisional diharuskan mengurus izin  kegiatan penangkapan dan memiliki dokumen resmi yang diterbitkan oleh Badan Perizinan Terpadu Provinsi. Dari sisi sumberdaya, mereka memiliki keterbatasan terhadap pengetahuan, sehingga mekanisme perizinan menjadi kendala bagi nelayan tradisional yang pada akhirnya nelayan tradisional tidak bisa melakukan kegiatan penangkapan dan keberadaannya pun semakin tergusur dan terpinggirkan.

“Seandainya diberikan ke pengusaha untuk dikelola, pasti akses ke sempadan ditutup, karena sempadan menurut mereka merupakan hak milik bagi para pengelola, itu yang salah. Peran pemerintah juga kurang bahkan tidak pernah ada, padahal sudah ada pembagian zonasi yang jelas, artinya sekian meter dari pesisir baru ada bangunan. Tapi ya mau gimana lagi, kita sebagai nelayan hanya bisa diam saja (Hatnadi, Nelayan/Ketua Kelompok Nelayan Patuh Angen Dusun Kandang Kaok, Desa Tanjung Kec.Tanjung/Pembudidaya Karang. Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2016)

Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, apabila nelayan tradisional tidak memiliki izin dalam kegiatan pemanfaatan di wilaya pesisir, akan dikenakan sanksi berupa kurungan penjara selama tiga tahun dengan denda mulai dari Rp. 500.000.000, (Lima Ratus Juta Rupiah) sampai dengan Rp. 2.000.000.000, (Dua Milyar Rupiah). Hal ini semakin mempersempit keadaan dan menggusur keberadaan nelayan tradisonal dan masyarakat yang akan memanfaatkan wilayah pesisir. Dalam izin lokasi disebutkan adanya ‘pertimbangan nelayan tradisional’ dalam pemberian izin lokasi. Hak nelayan tradisional berpotensi akan dilanggar kembali karena terjadi “penurunan derajat hak”. Derajat “hak” tidak serta merta dapat dikurangi menjadi ‘pertimbangan’ sebuah izin dikeluarkan/diterbitkan. Sebab, hak tersebut telah melekat dan telah menentukan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengelola. Hak nelayan tradisional merupakan hak yang telah diperoleh secara turun-temurun bahkan sebelum negara ini lahir dan telah diakui oleh Konstitusi.

Selain itu, kekhawatiran dari implikasi dari IP-3 adalah terkikisnya nilai-nilai lokal Awig-Awig sebagai aturan adat yang mengatur tata kelola kegiatan masyarakat wilayah pesisir di Kabupaten Lombok Utara. Masalah krusial yang dihadapi khususnya mengenai Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) yaitu, pertama, adanya klausul yang memperbolehkan korporasi yang didirikan berdasarkan hukum di Indonesia dapat mengajukan ijin. Pasal ini mengandung makna bahwa korporasi yang dimaksud dapat dimiliki oleh orang Indonesia ataupun oleh orang asing yang berkehendak berinvestasi di pulau-pulau kecil (PPK). Pemberian ruang investasi asing di PPK akan menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan budaya bagi masyarakatnya akibat penetrasi kapital hingga perubahan status kepemilikan sumberdaya (lahan dan ekosistemnya). Apalagi dalan ketentuan ini, Pemerintah Provinsi dalam hal ini Gubernur yang mengeluarkan izin pengelolaannya. Sebagai bahan evaluasi bahwa perilaku penguasa di era otonomi daerah hingga kini terbukti gagal mengelola sumberdaya alamnya secara berkelanjutan dan justru semakin memperparah eksploitasinya termasuk di wilayah pesisir. Kedua, revisi UU ini juga secara tersirat mengusung prinsip akses dan benefit sharing. Walaupun tidak tersurat dalam konsiderannya, prinsip ini berpotensi mengambil alih hingga menguasai sumberdaya kekayaan perairan pesisir hingga pulau kecil di Indonesia. Di satu sisi, Undang-Undang ini mengakui dan menghormati hak masyarakat adat dan lokal yang semestinya demikian. Tapi, di sisi lain pemilik modal (perorangan hingga badan usaha) diberi akses luas untuk memanfaatkan sumberdaya perairan pesisir.

Bila mendapatkan resistensi dari masyarakat adat dan lokal, mereka akan diberi ganti rugi (Pasal 60 Undang-Undang No.1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Hal ini akan menimbulkan cara pandang masyarakat pesisir berubah dari non-materialisme (nilai, aturan adat, maupun sistem sosial) menjadi materialisme (kompensasi, dan pembagian keuntungan). Hal ini akan berpengaruh signifikan bagi perilaku masyarakat pesisir dari homo habitus menjadi homo economicus. Sebagai contoh, perilaku mereka yang kerap melindungi sumberdaya kekayaan perairan pesisir dengan sistem social dan habitusnya. Berubah jadi manusia yang individualis dan berorientasi bisnis (free fight liberalism) yang berpotensi mengeliminasi kearifan dan kebajikan lokal. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip gotong royong dan azas kekeluargaan dan hal semacam ini bertentangan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945.  Konsep IP-3 juga semakin ”mempergiat” pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumber daya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut. Tidak ada lagi ruang bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan, petani ikan, pelaku UKMK kelautan dan buruh nelayan melakukan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir. Semua akses sumber daya kelautan praktis akan dikuasai pemilik modal. Hanya merekalah yang mampu memenuhi segala persyaratan yang diatur dalam UU ini. Masyarakat pesisir yang menjadi semakin miskin, hanya bisa menyaksikan eksploitasi dan degradasi sumber daya kelautan dan perikanan serta lingkungan pesisir yang tiada terkendali.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mengusulkan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali dan melakukan transformasi serta merekonstruksi kembali Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) agar tidak mengabaikan eksistensi nilai-nilai lokal yang telah lama berkembang. Dengan mengakomodir kepenitngan masyarakat lokal secara utuh, penulis meyakini setiap kebijakan yang lahir di wilayah pesisir akan sangat mudah diterima dan tidak mendapat pertentangan dari masyarakat lokal (Editor Ranny Rastati).

[1] Sudirman Sa’ad, Mengavling Laut, Menggusur Nelayan

 

Referensi

Ilustrasi: Shuttertock

Hilmawan, Arif.  2018. Rekonstruksi Kebijakan Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) Berbasis Kearifan Lokal Awig-Awig (Studi  Kasus Masyarakat Hukum Adat Lombok Utara), Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang.

Saad, Sudirman. 2000. Perkembangan Politik Hukum Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Jurnal Hukum Clavia, Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar, Vol.1

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Atas Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

__________________________

Tentang Penulis

 

 

 

Dr. Arif Hilmawan, S.Pi, M.P adalah peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI. Lulusan Program Doktor Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya Malang tahun 2018 ini aktif dalam penelitian mengenai kearifan lokal masyarakat pesisir serta kebijakan Pemerintah mengenai pegelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Email: arif.melonk@gmail.com.