Oleh Maulida Illiyani (Peneliti PMB LIPI)

Dulu Indonesia adalah paru-paru dunia. Kini setiap menitnya menurut Ketua Forest Watch Indonesia (FWI) Togu Manurung, Indonesia kehilangan hutan seluas tiga kali lapangan sepak bola. FWI juga mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul “Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013” bahwa dalam kurun waktu tersebut Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6 juta hektar atau seluas provinsi Sumatera Barat (Rosana, Satuharapan, 11 Desember 2014). Penghilangan hutan alam dilakukan dengan beberapa cara seperti penebangan liar dan alih fungsi lahan. Bahkan kebakaran yang disengaja merupakan salah satu bentuk deforestasi yang harus segera diselesaikan oleh Indonesia.

Oleh karena itu, di-era pemerintahan Jokowi, gerakan nasonal reboisasi hutan dan lahan diaktifkan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menjelaskan kepada wartawan Metrotvnews.com di kantor wakil presiden pada Senin 20 maret 2017 bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mulai memperbaiki hutan yang gundul di beberapa daerah, dengan beberapa teknik salah satunya  penanaman kembali secara konvensional atau melalui udara. Pemerintah menganggarkan dana reboisasi sebesar Rp4 triliun. Namun menurut Jusuf Kalla, dana sebesar itupun belum cukup untuk memperbaiki hutan. Lebih lanjut,  Jusuf Kalla menyatakan  bahwa pemerintah akan memanfaatkan anggaran lain dan bantuan masyarakat (Agriesta, Metrotvnews, 21 Maret 2017).

Hutan Kalimantan terus terkikis akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Foto tahun 2014: Lili Rambe (Sumber: http://www.mongabay.co.id/2014/03/09/foto-kerusakan-hutan-kalimantan-terkini-akibat-ekspansi-perkebunan-sawit/)

Bantuan masyarakat bisa melalui berbagai skema, salah satunya melalui gerakan swadaya masyakat. Ada banyak  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan di Indonesia, salah satunya adalah Hutan Wakaf yang sudah berdiri sejak 2012. Sebenarnya Hutan Wakaf  tidak melegitimasi diri mereka sebagai LSM atau komunitas berbadan hukum. Mereka hanya menyebut diri sebagai grup yang berinisiatif untuk melakukan konservasi berbasis wakaf. Hutan Wakaf  bermarkas di Aceh, namun menurut Akmal salah satu inisiator Hutan Wakaf di Aceh  pada 16 Juli 2017, mereka akan sangat terbuka untuk menyebarluaskan konsep Hutan Wakaf ini untuk diterapkan di wilayah

Hutan Wakaf merupakan gerakan inovasi pelestaran lingkungan yang diawali dengan penggalangan dana sukarela dari masyarakat yang hasilnya dibelikan lahan kritis untuk dihijaukan kembali menjadi hutan (Azhar, Tt).  Menurut Akmal di Aceh pada 5 Agustus 2017, salah satu inisiator, setelah lahan kritis kembali hijau dan memiliki nilai ekologis, akan diwakafkan untuk masyarakat desa dengan syarat hutan tersebut harus tetap dijaga dan tidak boleh dirusak Hutan Wakaf  tidak hanya menjawab permasalahan kerusakan alam, namun juga membawa manfaat secara ekonomi. Hal ini karena lahan yang dijadikan hutan wakaf akan ditanami aneka pohon bernilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan masyarakat.

Rekomendasi dari hasil kajian ini bahwa gerakan yang diinisiasikan oleh para pemuda Aceh tersebut patut ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah. Sebab Hutan Wakaf  adalah gerakan positif dengan pendekatan bottom up yaitu kegiatan yang di-inisiasikan dari bawah atau oleh masyarakat sendiri. Hal ini sangat sesuai dengan konsep pembangunan masyarakat menurut T.R Batten, seorang pelopor pengembangan masyarakat di Afrika, (1960)  bahwa pembangunan  masyarakat adalah suatu  proses dimana warga masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan bersama untuk memenuhi keinginan tersebut. Sehingga pemerintah tidak perlu repot untuk memobilisasi masyarakat. Maka dalam konteks Hutan Wakaf, pemerintah dapat memberikan dukungan dalam bentuk dana untuk pembelian  lahan dan operasional, serta mempermudah proses legitimasi sertifikat tanah wakaf.

Sumber: http://liza-fathia.com/hutan-wakaf/

Hingga saat ini, Hutan Wakaf terus mengintensifkan penggalangan dana baik melalu donasi maupun penjualan merchandise. Pada tahun 2017 bulan Januari, setelah lima tahun menggalang dana, Hutan  Wakaf  berhasil membeli satu hektar lahan kritis di wilayah Jantho Aceh Besar (hutan-tersisa, 2017) . Hal ini memperlihatkan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Dengan gotong royong, mimpi besar akan menjadi nyata. Maka, untuk saat ini mari kita dampingi gerakan baik dari Hutan Wakaf. Semoga lahan  kritis dengan konsep Hutan Wakaf  nantinya akan benar-benar dapat menjadi hutan lestari. (Editor: Ranny Rastati)

Daftar Pustaka:

Agriesta, Dheri, Pemerintah Aktifkan Kembali Gerakan Penghijauan Hutan, metrotvnews.com, 21 aret 2017, http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/JKRRQG7K-pemerintah-aktifkan-kembali-gerakan-penghijauan-hutan ( diakses pada tanggal 28 Agustus 2017)

Rosana, Francisca Christy,  Hutan Seluas Lapangan Bola Hilang Setiap 20 Detik, Kamis 11 Desember 2014 http://www.satuharapan.com/read-detail/read/hutan-seluas-lapangan-bola-hilang-setiap-20-detik (diakses pada tanggal 28 Agustus 2017)

Batten, T.R (1960). Communities and their Development. London: Oxford University Press.

Akmal, Afrizal, Hutan Tersisa, 2017, http://www.hutan-tersisa.org/p/blog-page.html (Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017)

______________________________________

Tentang Penulis

Maulida Illiyani, saat ini merupakan seorang kandidat peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penulis merupakan peneliti di bidang hukum, khususnya terkait lingkungan dan masyarakat adat. Tamat Sarjana Hukum dari Universitas Islam Indonesia pada tahun 2012. Menulis beberapa Karya Tulis Ilmiah dan kompetisi debat selama masa perkuliahan, antara lain: PKM GT Dikti “ Hak Belajar Napi anak di LP Kutoarjo” pada tahun 2010;  PKMP Dikti “ Over Capacity melanggar Hak Napi di LP Cipinang” pada tahun 2010;  Juara 3 Debat Konstitusi SeJawa Tengah di UKSW pada tahun 2010;  Menulis opini  “Pengamatan Ospek FH UII Tahun 2011” dimuat di LPM Keadilan FH UII; Menulis opini “Pertanggungjawaban UII untuk Jilbab” dimuat di LPM Keadilan FH UII Pada tahun 2011; dan  Buku “Akhwat Jalanan” tercatat ISBN pada tahun 2012. Semasa bekerja di LIPI, pernah bergabung dalam Tim penelitian kerjasama antara LIPI dengan Aliansi Petani Indonesia (API) dengan judul “Dari Petani Lokal ke Pasar Global (Model Usahatani Beras Organik di Boyolali dan Tasikmalaya”. Saat ini masuk dalam Tim Kelti Hukum dan Masyarakat dalam pembahasan Revisi KepMenpan No 128 Tahun 2004. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui email maulidaillyani@gmail.com)