[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 15, Maret 2022]
Oleh Apria Ningsih (Almuni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Malang)
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Esensi makanan bagi sebagian besar masyarakat bukan hanya persoalan gizi semata. Kaitan antara makanan dan aspek budaya salah satunya dapat ditunjukan pada masyarakat Jawa. Mereka mengunakan makanan tradisional sebagai salah satu simbol dalam beberapa acara adat. Makanan tradisonal juga dapat menjadi simbol identitas dan ciri khas daerah tertentu (Adiasih,2015). Makanan tradisonal berkaitan erat dengan adat yang diwariskan dari generasi ke generasi hingga mungkin memiliki nilai kesakralan. Kesakralan makanan diabadikan dalam beberapa naskah Jawa Kuno, seperti Serat Centhini, Serat Goenandrija, Serat Wilujengan, Jumenengangan, Kraman, Mangkunegaranan, dan Primbon Lukmanakim Adammakna (Dewi,2011). Naskah tersebut merupakan salah satu bukti nyata keterkaitan antara makanan dengan kebudayaan masyarakat khususnya di kelompok masyarakat beretnis Jawa.
Kepercayaan masyarakat dipadukan dengan kearifan lokal merupakan perpaduan yang harmonis. Eksistensi adat masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi, juga memberinkan sumbangsih terhadap kelestarian makanan tradisional. Salah satu acara adat yang menyajikan makanan tradisonal adalah bancaan weton. Bancaan weton merupakan peringatan hari kelahiran yang dipada Saptawara dan Pancawara. Tradisi ini dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati hari kelahiran berdasarkan kalender Jawa yang belangsung selama 35 hari (Rusdiana,A 2015).
Tradisi bancaan weton merupakan salah satu tradisi yang masih eksis hingga saat ini di beberapa wilayah Jawa. Khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Eksistensi bancaan weton hanya dapat dinikmati di beberapa tempat yang menganut kejawen. Kondisi in muncul akibat meningkatnya pengetahuan agama dan teknologi. Dampak arus teknologi yang semakin pesat mengikis minat kaula muda terhadap makanan tradisional. Pada sisi lain meningkatnya pengetahuan agama membuat mereka meyakini bahwa beberapa acara adat adalah tindakan yang menjurus pada perbuatan syirik (Pradanta, 2015).
Hakikat dari pelaksanaan bancaan weton bagi anak adalah untuk membentuk keseimbangan yang harmonis antara lahir dan batin. Bancaan weton sendiri merupakan wujud dari syukur atas rahmat yang diberikan Tuhan, serta sebagai permohonan atas keselamatan diri dari segala marabahaya pada hari-hari berikutnya (Pradanta, 2015). Bancaan weton memuat nilai-nilai budaya yang secara simbolis disajikan dalamt uga rampe.
Simbol-simbol dalam uga rampe tradisi bancaan weton menunjukan pengendalian terhadap hawa nafsu, pengendalian diri, renungan terhadap yang Maha Kuasa dan kepatuhan terhadap nilai-nilai adat, spiritual, tradisi masyarakat dan lingkungan (Pradanta, 2015). Jika kita cermati dari uga rampe (perlengkapan) bancaan weton terdapat berbagai makanan tradisonal yang menjadi simbol tuntunan hidup masyarakat Jawa. Makanan tradisional berasal dari bahan domestik yang dapat dipeoleh mudah di alam. Makan tradisional juga merupakan simbol dari kearifal lokal “local wisdom”. Kearifan lokal dapat dimakanai sebagai “hasil karya” atau pemikiran nenek moyang msayarakat Jawa tetang makanan tradisonal. Pemikiran ini menjadi sebuah pandangan hidup, ilmu pengetahuan, serta strategi masyarakat dalam menjawab tantangan kehidupan (Dewi,2011).
Uga rampe (perlengkapan) pada acara bancaan weton terdiri dari makanan pokok, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan pasar, kembang setaman, dan uang koin. Masing-masing uga rampe memiliki makna tersendiri. Nasi putih yang dibuat tumpeng dengan bentuk menyerupai gunung berarti bahwa adanya doa yang dipanjatkan kepada yang Maha Kuasa. Tebu menyimbolkan anteping kalbu (mantapnya hati) kepada Tuhan yang Maha Esa. Gudangan atau kuluban yang merupakan sayur-sayuran rebusyang terdiri atas bayem (adem ayem) yang bermakna ketentraman, dan kacang dawa (yuswa dawa) yang bermakna permohonan umur panjang (Aziz, 2020). Kemudian, cambah (tansah semrambah) bermakana selalu menerbar kebaikan, kluwih (luwih-luwih) bermakna hidup yang bersahaja dengan tetap menjunjung nilai kesederhanaan sebagai prinsip hidup orang Jawa, dan kangkung (jinangkungan dening Gusti Kang Murbeg Dumadi) bermakana permohonan untuk memperoleh perlindungan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Orang Jawa juga mensimboliskan kangkung sebagai tatanan hidup untuk senantiasa tidak tergesa-gesa. Secara keseluruhan makna dari Gudangan “Wong urip yen tansah adem ayem, bakal e yuswane dawa lan tansah sunrambah lan bisa luwih-luwih, apa-apa tansah jinangkungan dening Gusti”. Arti dalam bahasa Indonesia yaitu “apabila dalam menjalani hidup dengan tenang dan tentram, maka akan berumur panjang, selalu berkembang dan berkecukupan, serta apapun yang dikerjakan akan mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa (Pradanta, et all 2015).
Selain uga rampe diatas masih terdapat uga rampe lain yaitu telur rebus, bumbu urap atau sambel gudangan, jajanan pasar, bubur tujuh rupa, kembang setaman dan uang koin. Telur rebus merupakan simbol dari rezeki untuk dibagi-bagikan. Sambel gudangan yang terdiri atas sambel tidak pedas untuk anak sampai usia sewindu (8 tahun) dan sambel pedas. Hal ini bermakna bahwa pendidikan kedewasaan pada anak dimulai pada usia 8 tahun setelah memasuki usia diatasnya anak harus belajar tentang kehidupan sebenarnya yang berasa manis, pahit dan getir. Jajanan pasar yang ada dalam acara bancaan weton terdiri dari wajik (wani tumindak becik) yang berati berani berbuat kebaikan, pisang hijau atau dalam bahasa Jawa gedhang ijo (gaweo sengeng anak lan bojo) bermakana memberikan kebahagian bagi anak dan istri. Lalu, sukun bermakana hidup rukun, nanas ( wong urip ojo ngragas) bermakna bahwa orang hidup tidak boleh serakah. Kemudian, buah dhondong (ojo gedhen omong) bermakana orang hidup tidak boleh sombong atau besar omongan. Jambu (ojo ngudal barang sis mambu) jangan melalukan sesuatu yang buruk, dan jeruk (jaba jeru kudu manthuk) diluar dan didalam harus sesuai dengan lahir dan batin. Bubur tujuh rupa bermakna jangan sampai kita menghianati orang tua dan menjadi anak yang durhaka (Pradata, et all 2015).
Makna makanan selain pemenuhan gizi sudah selayaknya untuk dilestarikan. Generasi muda sebagai generasi penerus hendaknya memiliki pemaknaan yang luas dan dalam pada setiap symbol-simbol kebudayaan. Keragaman budaya merupakan salah aset terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Melestarikannya adalah kewajiban bagi seluruh anak bangsa. Hendaknya eksistensi budaya yang masih ada terus digulirkan agar setiap generasi berikutnya dapat terus merasakan indahnya nilai-nilai yang terkadung dalam suatu budaya. Salah satunya sepeti melestarikan bancaan weton dimana dalam tradisi ini memiliki nilai-nilai yang penting bagi kehidupan manusia. (Editor: Jalu Lintang Y.)
Referensi:
Ilustrasi: Shutterstock
Adiasih, P., & Brahmana, R. (2015). Persepsi Terhadap Makanan Tradisional Jawa Timur: Studi Awal Terhadap Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya. Jurnal Kinerja 19 (2)
Aziz,A.Z. (2020). Tradisi Wetonan di Desa Segaralangu Kecamatan Cipatari Kabupaten Cilacap. Skripsi: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Dewi, T.K. (2011). Kerarifan Lokal “Makanan Tradisional” Rekontruksi Naskah Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat. Jurnal Manassa 1(1)
Pradan ta, S.W., Surdadi,B., & Subiyantoro,S. (2015). Kajian nilai-nilai Budaya Jawa dalam Bancaan Weton di Kota Surakarta (sebuah kajian simbolisme dalam budaya jawa). Jurnal Lingua 12(2).
Rusdiana.,A. (2014). Pola Komunikasi Masyarakat Dalam Menggunakan Budaya Weton (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Kanugrahan Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan). Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Apria Ningsih adalah seorang Alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Malang. Saat ini Ia aktif sebagai pengerak organisasi Pemuda Indonesia Bisa. Penulis dapat dihubungi melalui email : aprianingsih299@gmail.com.
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial