Sumber Gambar: https://jaazaidun.com/coretan-opini/opini/gizi-buruk-cyberdemocracy/
Oleh Friski Yuliansyah (Mahasiswa Universitas Brawijaya)
Pasca runtuhnya era orde baru tahun 1998, Indonesia terus melakukan transisi menuju negara yang lebih demokratis. Rezim orde baru yang memerintah selama 32 tahun dengan berbagai kebijakan yang otoriter telah menghilangkan makna demokrasi yang telah dicita-citakan oleh founding fathers kita. Sistem otoriter yang diterapkan rezim orde baru telah menutup akses-akses dalam bertukar informasi dan berkomunikasi maupun menyampaikan pendapat di muka umum. Selama 32 tahun itulah Indonesia terpental dari jalan menuju konsolidasi demokrasi. Era reformasi yang menggantikan era orde baru diharapkan mampu mendukung transisi demokrasi di negeri ini.
Seiring dengan berjalannya era reformasi, proses transisi demokrasi menuju konsolidisasi demokrasi di Indonesia mendapat tantangan baru ketika Indonesia menghadapi era media baru. Terbukanya kran kebebasan kemudian mempermudah masyarakat dalam memperoleh maupun menerima informasi atau berkomunikasi serta bebas menyampaikan pendapatnya di muka umum.
Era media baru ditandai dengan bergesernya model komunikasi dan pertukaran informasi yang dulunya secara langsung maupun melalui sarana dan prasarana yang bersifat konvensional kini telah beralih melalui media dalam jaringan (daring)/internet dalam bentuk platform, media online maupun media sosial. Masyarakat Indonesia pun turut serta menyambut era ini secara antusias, terbukti dengan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018, bahwa pada tahun 2018 terdapat 171,17 juta jiwa dari 264,16 juta orang total populasi penduduk Indonesia atau setara 64,8 persen masyarakat Indonesia yang telah terhubung ke dalam jaringan internet (Laporan Survei APJII, 2018).
Gambar 1. Ilustrasi Jaringan Internet di Indonesia |
(Sumber: http://apkomindo.info/target-pemerintah-2019-seluruh-indonesia-terjangkau-internet/)
Kini, masyarakat dengan leluasa mengakses sarana komunikasi dan pertukaran informasi maupun menyampaikan pendapatnya di muka umum. Hal tersebut sejatinya telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28F yang berbunyi: “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal tersebut merupakan elemen pendukung dari pondasi awal negara Indonesia sebagai negara demokrasi.
Cyberdemocracy dan Kehadiran Netizen
Pesatnya perkembangan teknologi media baru telah menciptakan ruang publik baru dalam bentuk digital, atau yang dikenal dengan istilah cyberspace. Di tengah proses demokrasi yang berlangsung hingga hari ini, cyberspace telah memperluas jangkauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam ruang publik sehingga menciptakan sebuah konsep baru tentang berdemokrasi yaitu cyberdemocracy. John Hartley (2012) dalam bukunya “Cultural and Media Studies: The Key Concepts” menggambarkan cyberdemocracy sebagai sebuah konsep yang melihat jaringan internet sebagai teknologi yang memiliki pengaruh untuk meningkatkan partisipasi serta memperluas demokrasi dalam ruang sosialnya sendiri maupun dalam masyarakat secara luas. Cyberdemocracy sangat bergantung pada keterbukaan akses dan pertukaran informasi secara gratis.
Internet terlihat sebagai ruang demokrasi yang ideal di mana setiap orang dapat berkomunikasi dan berpartisipasi secara bebas dalam forum sosial. Hal tersebut karena internet memiliki sifat yang dapat diakses dan partisipatif. Melalui platform-platform maupun aplikasi-aplikasi yang berada dalam jaringan internet, netizen (sebutan untuk pengguna internet yang aktif) dapat berkomunikasi, bertukar informasi, serta dapat menyuarakan pendapatnya di ruang publik digital ini (cyberspace).
Berbagai isu mengenai sosial-politik pun tak turut ketinggalan menjadi dirkusus netizen pada ruang publik digital. Netizen diberikan akses untuk beropini, menyatakan dukungan, bahkan mengkritik pemerintah maupun politisi yang tidak disukainya. Partisipasi publik pada internet semakin meningkat semenjak Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Kini, kontestasi politik di Indonesia bukan hanya diwarnai dengan kontestasi praktik politik yang dimainkan oleh elit saja, persaingan opini antar netizen di internet pun menjadi sorotan memenuhi ruang-ruang dalam media sosial.
Kegagalan Netizen Memanfaatkan Cyberdemocracy
Idealnya, peningkatan partisipasi publik dalam dirkusus mengenai politik melalui internet membawa angin segar dalam proses demokrasi di Indonesia. Secara positif kita dapat melihat bahwa munculnya opini-opini netizen mengenai politik merupakan bentuk ekspresif sebagai respon pasca lenyapnya tindakan represifitas dan keterbatasan akses pada era orde baru. Namun, hal yang menjadi perhatian ialah bentuk keberanian untuk mengemukakan opini di ruang publik dengan menciptakan perang opini antar netizen kemudian menuju pada fanatisme buta.
Keberanian publik menyampaikan opininya di internet semakin nampak karena isu yang sedang dihadapi adalah isu politik. Kontestasi Pemilihan Umum telah mengalami perluasan dari persaingan elit menuju persaingan publik. Persaingan publik tersebut didasari atas dasar voluntarisme dan fanatisme politik. Opini-opini yang dianggap menentang kubunya, akan segera direspon oleh netizen sebagai bentuk dukungan pada sang “junjungan” (Wadipalapa, 2015).
Media sosial telah memperluas kontestasi politik di Indonesia. Selain perang opini antar netizen, media sosial juga dipenuhi oleh persaingan antar elit, public figure, dan pakar. Opini-opini berseberangan yang disampaikan oleh notabene orang yang ahli di bidangnya atau para pakar kemudian di-counter atau ditentang oleh kubu pendukung dengan berbagai argumentasi diikuti data dan fakta belum tentu terbukti kebenarannya. Kredibilitas kepakaran para ahli bahkan diserang oleh para netizen pendukung. Netizen kerapkali memandang opini yang disampaikan oleh kedua pakar tersebut dalam menyikapi suatu isu bukanlah semata-mata suatu bentuk kepakaran yang mereka tekuni, melainkan hanya sebuah opini yang dibangun atas dasar kepentingan politis saja.
Sebagai contoh pada gelaran Pilpres 2019, dua pakar dari dua bidang dan isu yang berbeda yaitu Prof. Mahfud MD dan Dr. Rizal Ramli kerapkali mengalami serangan oleh netizen karena dianggap mewakili kubu tertentu. Prof. Mahfud MD, seorang pakar hukum tata negara yang sekaligus akademisi, politisi, dan hakim konstitusi. Meskipun dirinya tidak pernah secara eksplisit menyatakan dukungannya terhadap kubu tertentu dan lebih sering mengambil sikap sebagai negarawan, kerap mendapatkan serangan netizen dalam beberapa opininya karena namanya sempat terkait dengan salah satu calon sejak masa pencalonan. Sementara itu, Dr. Rizal Ramli, seorang pakar ekonomi yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman pada tahun 2015 dan Menteri Keuangan pada tahun 2001, memang secara gamblang mendukung salah satu calon dan sering menyatakan kritik nya pada pemerintah terutama pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil.
Diskriminasi Terhadap Kepakaran dalam Pilpres 2019
Kemunculan-kemunculan netizen pada dirkusus mengenai politik di media sosial semakin meningkat semenjak Pilpres 2014. Pilpres 2019 menjadi salah satu contoh dari sebuah kontestasi politik dengan dinamika yang cukup panjang dimulai dari menguatnya perpecahan antar kubu, strategi politik identitas, berbagai pertentangan hingga drama-drama yang mewarnai kontestasi politik ini. Dengan selesainya proses pencoblosan hingga diumumkannya pemenang Pilpres kali ini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak membuat drama-drama terkait Pilpres berhenti.
Yang disayangkan, meskipun kini siapapun dapat menyuarakan pendapatnya, namun kerap kali muncul opini dan analisis berbasis cocoklogi yang berpotensi menimbulkan kebuntuan berpikir. Para pakar dadakan mendadak muncul menggantikan ahli-ahli yang memang kompeten di bidangnya. Netizen berfanatisme buta pun dengan mudah mengedepankan emosi ketika menyebarkan informasi yang didapat tanpa melakukan kroscek data dan fakta. Terlebih dengan adanya diskriminasi-diskriminasi terhadap pakar yang mencoba menyampaikan opini pada bidang yang ia tekuni.
Gambar 2. Cuitan Prof. Mahfud MD pada akun twitter miliknya @mohmahfudmd |
Gambar 3. Balasan netizen terhadap cuitan Prof. Mahfud MD |
(Sumber: https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1131882782156656642)
Salah satu kasus yang menarik untuk dianalisis yaitu ketika Prof. Mahfud MD, pakar hukum Tata Negara, menyampaikan pendapatnya mengenai tensi yang terjadi pasca Pemilihan Presiden melalui akun twitter miliknya @mohmahfudmd. Prof. Mahfud MD berpendapat bahwa keputusan pihak sebelah untuk menggugat KPU yang dianggap melakukan kecurangan melalui jalur hukum ke MK merupakan cara yang elegan. Dirinya juga berpendapat bahwa MK dapat menjernihkan kesalahan penetapan jumlah suara dan kecurangan dalam pelaksanaan dengan mengadu bukti-bukti dokumen seperti form C1 dan merupakan jalur yang tepat dalam menentukan siapa yang menang dalam Pilpres 2019. Pandangan tersebut ternyata mendapat beberapa sanggahan oleh netizen pada kolom balasannya. Selain mendapatkan sanggahan berupa pandangan pribadi netizen, dirinya juga mendapatkan cemoohan dengan sebutan prof cebong, tidak pantas dipanggil prof, dan menyebut bahwa akal yang dimilikinya tidak sampai.
Gambar 4. Postingan akun instagram Rizal Ramli (@rizalramli.official) mengenai kenaikan harga tiket pesawat |
Gambar 5. Komentar netizen terhadap video yang diunggah akun instagram @rizalramli.official
(Sumber: https://www.instagram.com/p/BxBz87pnD7B/)
Kasus kedua yang menarik untuk dianalisis yaitu ketika Rizal Ramli melalui akun instagram nya @rizalramli.official menggunggah potongan klip dirinya saat mengomentari kenaikan harga tiket pesawat di Indonesia. Video tersebut diambil dari akun Youtube Sahabat Rizal Ramli yang memuat ulang cuplikan di TVOne. Dalam video tersebut, Rizal Ramli menyampaikan kritik soal kenaikan harga tiket pesawat di Indonesia karena kebijakan harga yang dibuat pemerintah tidak sesuai dengan konteks industri penerbangan Indonesia yang duopoli dan masih menerapkan kebijakan harga untuk industri yang kompetitif. Cuplikan video tersebut ternyata terdapat beberapa respon negatif pada kolom komentar, beberapa komentar yang dilontarkan netizen jauh dari konteks pembahasan mengenai industri penerbangan dan mengarah pada cemoohan terhadap Rizal Ramli. Beberapa diantaranya ialah menteri pecatan, hoax, dan bandot tua.
Merujuk pada Laurence Whitehead (1988) dalam “The Consolidation of Fragile”, ciri dari negara yang telah mencapai konsolidasi demokrasi ialah ketika sistem politik pada suatu negara dapat memenuhi kriteria hadirnya kompetisi yang sehat dengan meluasnya partisipasi publik serta kebebasan dalam menyampaikan opini, ide, dan pikirannya tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi. Jika merujuk pada ciri negara yang telah mencapai konsolidasi demokrasi menurut Laurence, kondisi perpolitikan hari ini belum mampu untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat, diskriminasi dan intimidasi dengan berbagai cacian serta hinaan yang dilontarkan seseorang saat menyampaikan opininya.
Tom Nichols (2018) dalam bukunya “Matinya Kepakaran” mengungkapkan bahwa internet mengubah semua orang jadi ahli secara instan. Lebih lanjut menurut Nichols, internet tidak hanya membuat semua orang makin bodoh, tapi juga membuat orang menjadi lebih kejam. Meningkatnya emosi di ruang publik, penolakan terhadap temuan ilmiah, serta kaburnya perbedaan antara fakta, pendapat, dan hoax merupakan tanda dari fenomena matinya kepakaran. Fenomena tersebut bahkan semakin menguat di Indonesia apalagi disertai drama perpolitikan yang tak kunjung usai. Perang kepentingan, gagasan, dan ide yang muncul dan memenuhi ruang digital kita hari ini tak bisa lepas dari persaingan yang sehat tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi. Hilangnya kepakaran, legitimasi ilmiah, propaganda yang diaminkan, berita hoax, dan intoleransi hanya membuat kita terjatuh dalam jurang kebodohan (Editor Ranny Rastati).
__________________________
*) Penulis adalah mahasiswa program magang di PMB LIPI pada 11 Juni-11 Juli 2019 di bawah bimbingan Ranny Rastati, peneliti PMB LIPI
__________________________
Referensi
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2018). Laporan Survei Penetrasi dan Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia
Hartley, J. (2012). Communication, cultural and media studies: The key concepts. Routledge.
Nichols, T. (2018). Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya . Jakarta: Gramedia.
Wadipalapa, R. P. (2015). Meme Culture & Komedi-Satire Politik: Kontestasi Pemilihan Presiden dalam Media Baru. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 12, Nomor 1, 1-18.
Whitehead, L. (1988). The Consolidation of Fragile Democracies. European Consortium for Political Research.
_____________________________
Tentang Penulis
Frizki Yuliansyah, is an undergraduate student of Political Science (concentration in Political Culture), Faculty of Social and Political Science (FISIP) Brawijaya University. He was doing an internship during June-July 2019 at the Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). He can be contacted at frizki.y@gmail.com.
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Berita2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya
Berita2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam
Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Berita2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam