[Kolom No.5, 2022]
Oleh Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti Sosial Independen)
Mengenang Gavin Jones berarti mengenangnya sebagai guru, pembimbing disertasi dan sekaligus sahabat. Agak lama setelah beliau pindah dari Singapura ke Perth saya tidak mendengar kabarnya. Saya hanyalah salah satu murid beliau yang tidak sedikit jumlahnya. Esai ini adalah esai yang bersifat pribadi, kenangan atas jasa-jasa beliau saat membimbing penulisan disertasi saya. Gaya tulisan tangannya sangat khas, mencoret dan mengubah kalimat demi kalimat menjadi jelas. Beliau adalah pembimbing yang sangat efisien, tidak banyak bicara namun terasa dalam setiap lembar draft disertasi yang dikoreksinya.
Gavin Jones (1940-2022) (sumber: https://researchers.anu.edu.au/researchers/jones-gw)
Berita wafatnya Pak Gavin, begitu kami biasanya memanggil beliau, saya terima melalui WA yang dikirim Mbak Roosmalawati, katanya dapat berita itu dari Pak Terry Hull. Saat menerima kabar duka itu, Minggu sore, 28 Agustus 2022, saya baru saja check in di sebuah hotel yang tidak terlalu besar (Grand Visir Hotel) di Khiva, sebuah kota tua di Uzbekistan, Asia Tengah Saya tidak memiliki simcard lokal selama melakukan perjalanan di Asia Tengah, jadi baru bisa terhubung jika ada WiFi gratis, biasanya setelah check in di sebuah hotel. Keesokan harinya saya WA Pak Terry, dan diberitahu Pak Gavin mendapat serangan jantung jam 2 pagi di Perth, Australia Barat, tempat bermukimnya setelah pensiun. Berita wafatnya Pak Gavin agak mengejutkan karena semua yang mengenalnya tahu beliau sangat fit, rutin berolah raga, dimanapun dia berada.
Ada banyak guru dalam perjalanan hidup saya, tapi hanya sedikit guru yang bisa dikatakan sebagai guru resmi, dari yang sedikit itu adalah Pak Gavin Jones, karena dia adalah pembimbing disertasi doktor saya di Department of Demography, Research School of Social Sciences, Australian National University (ANU) di Canberra, Australia. Beliau membimbing cukup banyak mahasiswa program doktor, tidak saja dari Indonesia tapi juga mahasiswa yang berasal dari negara ASEAN lain maupun negara-negara lain. Dalam sejarah departemen demografi di ANU, posisi dan senioritasnya, sudah sangat mapan untuk menjadi pewaris kepala departemen setelah dua generasi pendahulunya, Profesor Mick Borrie dan Profesor Jack Caldwell. Ketika saya mulai menjadi mahasiswa bimbingannya tahun 1986, Pak Gavin Jones tampaknya sudah mulai mengawali menggantikan kedudukan Professor Jack Caldwell sebagai kepala Departemen Demografi, meskipun secara resmi baru diangkat tahun 1988.
Sejak presentasi proposal dihadapan anggota komite disertasi saya, saya sudah merasakan sentuhan kebijaksanaan seorang guru, tidak sekedar sebagai pembimbing. Pak Gavin sudah melihat ada masalah yang serius dalam proposal disertasi saya. Dia sudah memberitahu bahwa proposal disertasi saya berada dalam wilayah yang menurutnya “borderline” antara demografi dan politik. Judul proposal disertasi saya “The center-regional contexts of transmigration policy: The case of Riau and South-Kalimantan provinces”. Apa yang dikatakan oleh Pak Gavin tentang proposal disertasi yang berada dalam wilayah “borderline” itu kemudian terbukti memang menjadi masalah bagi saya. Kenyataan pahit itu terjadi saat saya diuji dalam seminar dimana substansi proposal itu saya presentasikan. Seminar yang dihadiri oleh Profesor Mick Borrie, Professor Jack Caldwell dan lain-lain itu juga menghadirkan Dr. Patrick Guinness, seorang ahli antropologi yang bersama Professor Masri Singarimbun dari Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada (PPSK-UGM), meneliti program transmigrasi. Saat itu Dr. Patrick Guinness menjadi dosen di Fakulty of Arts, ANU. Dalam komentarnya terhadap proposal disertasi saya, Dr. Patrick Guinness mengatakan bahwa proposal saya tidak tepat diajukan ke Departemen Demografi, menurutnya lebih tepat diajukan ke Department of Political and Social Changes, salah satu departemen dibawah Research School of Pacific Studies (RSPacS), ANU.
Dalam situasi yang dilematis itu, saya melihat tangan dingin Pak Gavin Jones dalam menyelesaikan masalah saya. Pak Gavin menyarankan bahwa untuk bisa meneruskan menulis disertasi di Departemen Demografi, saya harus memiliki seorang pembimbing dari ilmu politik. Beruntung saya telah mengenal seorang ahli ilmu politik di Faculty of Arts, yang memang ahli dalam analisa kebijakan, yang telah saya ikuti kuliah dan baca tulisannya, Dr. Thomas Smith. Ketika diminta untuk menjadi pembimbing disertasi saya, Tom Smith, menyatakan kesediaannya. Sebuah masalah krusial dalam perjalanan awal penulisan disertasi telah dapat diatasi berkat tangan dingin dan kebijaksanaan guru saya, Pak Gavin. Dalam kesempatan ini saya juga perlu berterimakasih pada Dr. Paul Meyer, guru yang terus menjadi pembimbing saya sejak program master hingga doktor. Selain Dr. Paul Meyer saya juga harus mengucapkan terimakasih pada Dr. Lorraine Corner yang banyak membantu saya sejak di LIPI dalam penelitian transmigrasi dan ketika tahap penulisan disertasi di ANU. Menjelang akhir penulisan saya beruntung dengan kedatangan Dr. Geoffrey McNicoll di ANU, seorang ahli demografi dari Population Council, editor Population and Development Review, yang pernah membantu periode awal Bappenas; yang sempat memberikan masukan pada disertasi saya.
Saat itu menjadi mahasiswa program doctor di ANU tugasnya hanya riset dan menulis. Sebagai pembimbing Pak Gavin seperti mengikuti saja apa yang saya tulis, tentu memberikan koreksi dan kriti disana sini, seingat saya beliau tidak pernah mendiktekan kemauannya. Koreksinya lugas dan hampir selalu mempertajam kalimat saya yang sering bertele-tele. Ketika disertasi itu selesai saya tulis tibalah saat yang paling menentukan yaitu ujian disertasi. Ujian disertasi di ANU dilakukan dengan cara mengirimkan draft disertasi ke tiga orang penguji dari luar (eksternal examiner). Keuntungan cara ujian disertasi seperti ini adalah kita bisa memilih penguji sesuai dengan isi disertasi dan keinginan kita.
Setelah mendiskusikan nama-nama yang bisa menjadi penguji, terpilih tiga nama: Dr. Graeme Hugo, Dr. Collin Mac Andrews dan Dr. Joan Hardjono. Menurut Pak Gavin dan Paul Meyer, saya tidak mungkin tidak memilih Dr. Graeme Hugo yang saat itu menjadi dosen di Universitas Adelaide, sebagai penguji karena dia satu-satunya ahli demografi yang ahli tentang migrasi dan transmigrasi di Indonesia. Profesor Collin Mac Andrews, dipilih karena merupakan ahli ilmu politik dari MIT yang disertasi doktornya tentang FELDA di Malaysia dan bersama Dr. Ichlasul Amal, dari UGM, menulis buku tentang hubungan pusat daerah di Indonesia. Dr. Joan Hardjono seorang ahli ekonomi pertanian yang meneliti dan menulis buku tentang transmigrasi di Indonesia. Karena Professor Collin Mac Andrews sedang menjadi Visiting Felllow di Department of Political and Social Change, RSPacS, ANU; dan Dr. Joan Hardjono sedang menjadi Visiting Fellow di Indonesia Project, Department of Economics, RSPacS, ANU.
Oleh karena dua orang penguji sedang berada di ANU, disepakati bahwa ujian dilakukan secara oral, artinya secara langsung tatap muka, di ANU. Dalam waktu yang ditetapkan tibalah saat yang mungkin paling menegangkan dalam proses menyelesaikan program doktor saya. Meskipun sebelumnya telah setuju untuk hadir dan menguji secara oral, Dr. Graeme Hugo ternyata tidak bisa hadir dan mengirim pertanyaan tertulis yang kemudian dibacakan secara lisan oleh Dr. Joan Hardjono. Ujian disertasi secara langsung bersama dua penguji, Profesor Collin MacAndrews dan Dr. Joan Hardjono, dan pertanyaan tertulis dari Dr. Graeme Hugo, rasanya telah saya jawab dengan lancar. Saya juga merasakan susana persahabatan dan simpatik dari dua penguji terhadap jawaban dan isi disertasi saya. Namun ketika beberapa hari kemudian Pak Gavin dan Paul Meyer, dalam sebuah pertemuan di ruang kerja Pak Gavin di Coombs Building; kepala saya seperti tersambar petir ketika Pak Gavin memberitahukan bahwa Dr. Graeme Hugo menyatakan saya tidak lulus dan meminta disertasi saya ditulis dan diuji ulang. Sementara dua penguji yang lain,Profesor Collin MacAndrews dan Dr. Joan Hardjono, menyatakan saya lulus dengan sedikit koreksi (minor correction) pada beberapa bagian dari disertasi. Keluar dari pertemuan dengan kedua pembimbing saya itu, rasa sedih bercampur marah, menyesakkan hati saya. Sedih karena harus mengulang ujian dan marah karena merasa diperlakukan tidak adil oleh Dr. Graeme Hugo yang saya anggap telah berlaku tidak fair, berjanji hadir tapi tidak hadir dan meminta saya diuji ulang. Rasa sedih ternyata dikalahkan oleh rasa marah saya, dan saya bertekad mengajukan surat protes ke pihak universitas karena telah diperlakukan tidak adil dalam ujian itu.
Orang yang menjadi tempat saya mengadu adalah Dr. Terry Hull, guru dan pembimbing tidak resmi saya selama di ANU. Pak Terry, biasa kami memanggilnya, adalah staf di Departemen Demografi, yang mengikuti penulisan disertasi saya dan diminta atau tidak sering memberikan nasehat dan juga bahan-bahan yang dianggapnya relevan dengan tema disertasi saya. Saya merasakan selama berada di ANU ada suasana kolegialitas yang mendalam diantara guru dan murid. Cukup banyaknya ahli Indonesia di ANU saat itu yang menjadikan membuat hubungan kami, mahasiswa dari Indonesia dengan mereka terasa dekat dan akrab. Hampir setiap minggu ada diskusi tentang indonesia yang diadakan oleh Indonesia Studi Group, membahas berbagai isu yang berkaitan dengan Indonesia. Diantara yang selalu hadir adalah Professor Jamie Mackie dan Professor Harold Crouch dari Departement of Political and Social Changes, Prof James Fox, dari Department of Anthropology, Professor Anthony Reid, dari Department of History, Professor Hal Hill dan Dr. Chris Manning dari Departement of Economics, dan masih banyak lagi yang lain. Saat itu juga ada beberapa pengajar dari Indonesia di Faculty of Asian Studies, seperti Dr. Supomo, Dr. Soebardi dan Dr. Soewito Santoso., Pak Achdiat Kartamihardja yang sudah pensiun tapi masih aktif ikut diskusi; juga menjadi bagian komunitas epistemik yang sangat kolegial di ANU.
Pak Terry, dan istrinya Bu Valerie Hull; adalah kolega dari Departemen Demografi, seperti Pak Gavin dan Pak Peter McDonald yang dekat dengan mahasiswa Indonesia seangkatan dengan saya seperti Bu Toening, Bu Tatiek, Pak Budi Utomo, Mbak Roosmalawati dan lain-lain. Dengan Pak Terry saya ceritakan rencana saya untuk mengajukan protes atas tindakan yang saya nilai tidak adil dari penguji saya Dr. Graeme Hugo. Pak Terry menyarankan saya untuk membuat kronolologi proses jalannya ujian secara rinci. Dalam waktu singkat saya tuliskan kronologi proses ujian yang saya alami, dan saya berikan ke Pak Terry yang kemudian memberikan koreksi disana-sini.
Saya menduga pastilah Pak Terry menceritakan rencana protes saya dengan Pak Gavin Jones dan Paul Meyer selaku pembimbing saya. Karena belum sempat saya kirimkan surat protes itu ke pihak universitas, Pak Gavin meminta saya untuk bertemu di kantornya. Inilah untuk keduakalinya Pak Gavin membuat sentuhan kebijaksanaan yang tidak mungkin saya lupakan sepanjang hidup saya. Dalam pertemuan empat mata itu Pak Gavin mengatakan kalau pihak universitas telah memutuskan bahwa saya tidak perlu menulis ulang dan ujian lagi. Menurut Pak Gavin karena dua penguji hanya meminta koreksi kecil, permintaan Dr. Graeme Hugo yang meminta ujian ulang kalah suara. Apa yang disampaikan Pak Gavin sangat melegakan dan membuat saya urung menyampaikan surat protes yang sudah saya siapkan. Cara Pak Gavin menegosiasikan dengan pihak universitas yang kemudian membuat keputusan tidak perlunya saya diuji ulang dan cukup membuat perbaikan yang hanya perlu disetujui pembimbing merupakan sebuah kualitas pribadi yang khas Pak Gavin. Dalam kualias yang bersifat sangat khas Pak Gavin itu bisa ditambahkan kehalusannya dalam menyampaikan kritik. Mungkin itu pula mengapa sangat penting perannya sebagai konsultan ahli yang sangat dibutuhkan pendapatnya oleh berbagai negara dan lembaga internasional di bidang kependudukan. Pada tanggal 23 Agustus 2022, berarti hanya selang 5 hari sebelum serangan jantung yang mendadak itu, Pak Gavin baru mempresentasikan hasil penelitiannya tentang dampak Covid 19 terhadap mortalitas di Asia. Sebagai ahli demografi senior perhatiannya sangat luas. Ketelitian dan ketajaman analisnya terhadap data demografi disertai pengalamannya yang panjang sebagai konsultan lembaga pemerintah maupun organisasi internasional menjadikan kepergiannya yang mendadak merupakan sebuah kehilangan besar bagi dunia akademia.
Setelah menyelesaikan program doktor dan kembali ke LIPI tahun 1990 hubungan kolegial dengan Pak Gavin terus berlanjut, antara lai melalui proyek kerjasama penelitian Penduduk dan Pembangunan yang dibiayai AusAiD di lima propinsi di Indonesia bagian Timur selama tiga tahun (1992-1995). Saat itu lima provinsi itu adalah Papua, Maluku, Timor Timur, Nusatenggara Timur dan Nusatenggara Barat. Berbagai pengalaman menarik bersama Pak Gavin saya alami ketika kami berempat (saya, Bu Yulfita Rahardjo, Pak Gavin dan Dr. Adrian Hayes) secara maraton melakukan kunjungan ke lima provinsi itu tanpa jeda. Saya mengenal lebih dekat Pak Gavin saat wawancara dengan pejabat, dengan kolega akademik di daerah; juga saat duduk menunggu pesawat atau saat makan bersama di hotel atau restauran. Banyak pengalaman yang mungkin suatu saat saya harus tulisakan sebagai bagian dari memoar atau otobiografi saya.
Setelah pensiun Pak Gavin cukup lama menjadi peneliti senior di Asia Research Institute, yang menjadi bagian dari National University of Singapore (ARI-NUS). Saat itu dia bekerjasama dengan Professor Brenda Yeoh yang memimpin klaster penelitian (research cluster) migrasi. Saya tidak ingat bagaimana persis prosesnya, tapi hampir pasti, saya kemudian mendapatkan fellowship untuk tinggal selama tiga bulan tahun 2008 sebagai senior researcher, karena uluran tangan Pak Gavin. Selama tiga bulan itu saya berhasil menyelesaikan sebuah draft buku yang merupakan kumpulan dari paper-paper saya, yang kemudian diterbitkan oleh LIPI Press tahun 2016, dengan judul “On the politics of migration: Indonesia and beyond”. Buku ini dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama berisi 6 bab tentang migrasi internal, dan bagian kedua, juga 6 bab, tentang migrasi internasional. Buku ini bisa dikatakan wujud dari minat saya tentang kaitan antara demografi dan politik, sebuah minat yang sejak awal telah diperhatikan oleh guru dan pembimbing saya, Gavin Jones, sebagai sebuah wilayah “borderline”.
Ketika masih berupa draft, saya beranikan untuk dapat komentar dari Professor Graeme Hugo, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu sahabat saya. Dalam komentarnya tentang buku itu, Graeme Hugo menulis sebagai berikut:
“…I strongly support the publication of this book. Migration is becoming an increasingly important element, not only in politics but also in its economic, social, and demographic implications. Yet the literature is meager, especially lacking work like Riwanto’s that looks critically at conventional patterns and explanations and asks important questions. There is a considerable audience for the book. This is a book driven by ideas, not data, and is welcome partly for this reason. Riwanto is able to effectively and appropriately use numbers when they are needed…”
Buku itu pada tahun 2018 diterbitkan ulang setelah beberapa revisi yang saya lakukan, oleh Penerbit Springer, dengan judul sedikit berubah, menjadi “The politics of migration: Indonesia and beyond”. Sayang Pak Graeme Hugo wafat sebelum melihat buku itu terbit. Dalam mengenang Pak Gavin yang baru wafat, saya sungguh baru menyadari betapa dengan caranya yang khas, beliaulah orang yang pertamakali membukakan pintu bagi saya untuk memasuki wilayah “borderline”. Sebuah wilayah abu-abu yang saat itu belum banyak dirambah orang, hubungan timbal balik antara demografi dan politik.
Selamat jalan menuju keabadian Pak Gavin !
Incheon, Seoul, 31 Agustus 2022
Sumber gambar:
Gambar dari Emeritus Professor Gavin Jones di laman National Australia University. Diakses pada link: https://researchers.anu.edu.au/researchers/jones-gw
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Riwanto Tirtosudarmo belajar psikologi di Fakultas Psikologi UI. Setelah lulus, bekerja di Leknas LIPI, dan melanjukan studi Pascasarjana di Research School of Social Sciences Australian National University dan mendapatkan master dan doctor dalam bidang demografi sosial. Penulis dapat dihubungi melalui tirtosudarmo@yahoo.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial