Oleh Muhammad Luthfi (Kandidat Peneliti PMB LIPI)
Beberapa waktu lalu, sebuah film Hollywood bertemakan superhero, berjudul Black Panther baru saja dirilis. Di Indonesia, masih ada kesan bahwa film superhero identik dengan anak-anak. Namun, film ini memiliki batas usia untuk penonton di atas 13 tahun, sama seperti film-film superhero Marvel lainnya. Jadi, anak-anak di bawah usia 13 tahun harus mendapat dampingan orang tua bila ingin menonton film ini. Film Black Panther ini merupakan bagian dari kesatuan rangkaian cerita film-film yang diadaptasi dari komik Marvel (Marvel Cinematic Universe), salah satu produsen komik besar di Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1939. Komik Marvel memulai ekspansinya secara serius ke dunia film sejak tahun 2007 saat Marvel Studio berdiri, dipimpin oleh Kevin Feige, yang memproduksi Iron Man (2008) sebagai film pertamanya. Kesuksesan Iron Man dan akting apik dari Robert Downey, Jr, membuat Marvel Studio berani melanjutkan ekspansinya melalui Iron Man 2 (2010) yang lagi-lagi mendapat sambutan yang baik dari para pencinta film dan komik. Sejak itu, berturut-turut Marvel Studio mengulangi kesuksesannya melalui Captain America: The First Avengers (2011), Thor (2011), The Avengers (2012), Iron Man 3 (2013), Thor: The Dark World (2013), Captain America: The Winter Soldier (2014), Guardians of the Galaxy (2014), Avengers: Age of Ultron (2015), Ant Man (2015), Captain America: Civil War (2016), Doctor Strange (2016), Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017), Spider-Man: Homecoming (2017), Thor: Ragnarok (2017), dan Black Panther (2018) yang saat ini sedang diputar.
Black Panther bercerita tentang seorang putra mahkota Suku Wakanda di Afrika bernama T’Challa, yang ditinggal mati oleh ayahnya, Raja T’Chaka, saat menghadiri konferensi perdamaian dunia yang diceritakan di film Captain America: Civil War. Diperankan oleh Chadwick Boseman (T’Challa) dan Lupita Nyong’o (Nakia), Suku Wakanda di dalam film ini diceritakan sebagai suku pertanian miskin yang tidak melakukan hubungan ekonomi dengan wilayah lain, namun nyatanya semua itu hanyalah kedok untuk menutupi keadaan Wakanda yang sebenarnya memiliki peradaban yang maju dengan teknologi di luar nalar. Gedung-gedung pencakar langit yang berkelap-kelip, kereta dan mobil terbang, pesawat yang bisa menghilang, teknik pengobatan regenerasi sel cepat, serta pakaian adat yang tahan peluru, berhasil divisualisasikan secara elegan dan futuristik dalam film ini. Semua kemajuan tersebut berasal dari sebuah batu meteorit sebesar gunung—bernama Vibranium—yang jatuh ke Benua Afrika jutaan tahun yang lalu. Kemudian ketika generasi pertama manusia purba menemukannya, mereka membentuk peradaban di sekeliling Vibranium dan menjadi leluhur Suku Wakanda. Suku Wakanda yang khawatir dengan potensi konflik yang muncul dari sumber daya tersebut membuat mereka memilih menyembunyikan identitasnya dan tidak berhubungan dengan wilayah lain selama ribuan tahun.
Isu yang diangkat dalam film ini menarik untuk dicermati. Suku Wakanda bisa dibilang melakukan kebijakan proteksionisme yang ekstrim. Dalam konteks film ini, Wakanda tidak hanya menolak perdagangan internasional, tetapi juga menolak bersosialisasi dengan bangsa lain. Bisa dibilang mereka melakukan isolasi diri. Bahkan, demi merahasiakan sumber kesejahteraan mereka, Raja T’Chaka siap menghukum warganya yang mungkin akan membocorkan rahasia tersebut. Namun di sisi lain, film ini juga menyampaikan bahwa kebijakan proteksi tidak selalu salah untuk dilakukan terutama mengingat tanggung jawab seorang pemimpin untuk menjaga keamanan serta kesejahteraan rakyatnya. Bahkan sesungguhnya sang raja secara tidak langsung ikut menjaga keamanan dunia dari ancaman perang yang mungkin bisa terjadi. Karena energi dari Vibranium tidak hanya dapat digunakan untuk kebaikan dan ilmu pengetahuan, tetapi juga dapat disalahgunakan menjadi senjata pemusnah massal (mass weapon destruction) yang sangat berbahaya. Terbukti dengan adanya sosok Ulysses Klaue (Andy Serkis) yang terkenal sebagai pencuri Vibranium dan menjualnya kepada pihak-pihak yang ingin menggunakannya sebagai senjata.

Seperti yang kita ketahui bahwa realitanya di dunia ini, sebagian besar masyarakat Afrika masih hidup di bawah standar kesejahteraan. Dalam konteks tersebut film Black Panther menjadi unik karena membalik keadaan dengan imajinasi mengenai golongan masyarakat Afrika yang sangat maju, bahkan lebih maju dari bangsa lain. Namun ternyata, kemajuan yang dialami Wakanda tidak banyak membawa perubahan terhadap penderitaan masyarakat Afrika lainnya. Seakan-akan memberi pernyataan bahwa manusia itu sama saja! Masyarakat kulit hitam Afrika yang sering dianggap golongan yang tertindas pun, bila berada di posisi penguasa ternyata akan menutup mata juga dengan penindasan yang terjadi kepada masyarakat Afrika di luar Wakanda. Sang Raja Wakanda lebih memilih kepentingan orang-orang yang ada di dekatnya daripada kepentingan orang banyak. Itulah salah satu poin yang saya tangkap ketika saya menonton film arahan Ryan Coogler ini.
Poin lainnya yang saya tangkap adalah adanya film ini sendiri sesungguhnya merupakan bentuk gugatan dari sineas muda Amerika Serikat terhadap persoalan SARA yang ada di negaranya. Sudah menjadi rahasia umum bila negara maju seperti Amerika Serikat masih melakukan rasisme di abad 21 ini. Masalah tersebut juga berlaku dalam industri film Hollywood. Umumnya, film Hollywood hanya menempatkan satu atau dua aktor/aktris kulit hitam (Afrika-Amerika) sebagai pemain pendukung dari aktor/aktris kulit putih yang menjadi pemain utama di dalam film-film yang diproduksinya. Sedikit sekali film yang menampilkan aktor/aktris Afrika-Amerika sebagai pemain utamanya. Namun, sejak terpilihnya Barack Husein Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 pada tahun 2009, sineas Amerika Serikat yang berani memberikan porsi lebih kepada aktor/aktris Afrika-Amerika dalam produksi filmnya semakin bermunculan. Kemenangan Obama ketika itu yang membantah asumsi soal syarat menjadi presiden Amerika Serikat yang mencakup identitas W.A.S.P (White, Anglo-Saxon, Protestant), membuka jalan luas bagi penerimaan identitas Afrika, tidak terkecuali bagi industri Hollywood.
Film-film seperti Captain Phillips (2013), 12 Years a Slave (2013), dan Moonlight (2016) sangat diapresiasi oleh masyarakat dunia. Film-film tersebut diakui tidak hanya karena menampilkan aktor/aktris Afrika-Amerika yang menjadi suguhan alternatif dari dominasi aktor/aktris kulit putih, tetapi juga karena alur cerita yang disajikan memang bagus. Keberhasilan sineas tersebut dalam memberi ruang bagi identitas Afrika menjadikan ketiga film tersebut banyak meraih penghargaan bergengsi di industri perfilman. Black Panther pun yang saat ini masih diputar banyak disebutkan akan meneruskan kesuksesan tersebut. Dalam konteks komersial terbukti bahwa hanya dalam seminggu penayangannya sudah menjadi peringkat satu box office Amerika Serikat.

Apresiasi masyarakat dunia juga memberikan dampak positif secara pribadi kepada para aktor/aktris Afrika-Amerika. Lupita Nyong’o misalnya, setelah debut aktingnya memukau para penikmat film di 12 Years a Slave (2013), tawaran bermain banyak mendatangi aktris berusia 35 tahun ini. Sebut saja Non-stop (2014), Star Wars: The Force Awakens (2015), Jungle Book (2016), dan Black Panther (2018). Lupita bahkan akan kembali memerankan Nakia di dalam film Avengers: Infinity Wars yang akan tayang pada pertengahan tahun 2018 nanti. Ketika permintaan pasar akan cerita golongan minoritas meningkat, maka produsen film Hollywood yang masih didominasi aktor/aktris kulit putih, tidak akan bisa menolaknya. Mau tidak mau, mereka akan memanjakan penikmat film dengan potensi cerita-cerita baru yang akan menampilkan aktor/aktris Afrika-Amerika. Hal ini tentu saja menjadi angin segar bagi golongan minoritas di negeri Paman Sam untuk bisa memperbaiki nasibnya.
Melalui film-film yang mengangkat cerita golongan minoritas, sebagian masyarakat dunia ada yang melihat Amerika Serikat telah memasuki era “post racial”, sebuah negara yang disebut tidak memiliki perbedaan ras dan diskriminasi. Tapi, benarkah Amerika Serikat telah memasuk era “post racial”? Apakah Amerika Serikat benar-benar sudah terbebas dari isu SARA? Ataukah trend banyaknya film yang menggunakan aktor/aktris Afrika-Amerika tersebut justru hanyalah sebuah komodifikasi dalam industri film untuk menarik penonton lebih banyak? Kita lihat saja nanti perkembangannya. (Editor: Ibnu Nadzir)
Daftar Pustaka
http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2009/11/091123_obama_race, diakses 21 Februari 2018
http://www.dw.com/id/diskriminasi-kulit-hitam-di-amerika-serikat/g-18091393, diakses 21 Februari 2018
http://www.imdb.com/name/nm2143282/bio?ref_=nm_ov_bio_sm, diakses 21 Februari 2018
http://variety.com/2018/film/news/black-panther-box-office-highest-tuesday-mcu-1202706436/, diakses 21 Februari 2018
______________________________________________
TENTANG PENULIS
Saya, Muhammad Luthfi, adalah CPNS LIPI 2018, Kandidat Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI. Saya menyelesaikan S1 jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia. Selama berkuliah, sejak tahun 2013 – 2015 saya aktif menjadi pengajar mata pelajaran Ilmu Sejarah tingkat SMA untuk Bimbel Rupin KSE UI. Tahun 2015 saya pernah menjadi tenaga ahli sejarah untuk proyek Desain Ulang Museum DPR RI, dan di tahun 2016 saya juga menjadi tenaga ahli sejarah untuk proyek Pembangunan Museum BPK RI. Untuk korespondensi, saya bisa dihubungi di alamat surel ananda.aprilian@gmail.com.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah